Dua minggu lalu, Mawar telah menikah dengan Adrian, ia pun menemukan bukti atas rencana busuk Rendra.
Sebelum pernikahan itu, Mawar mendengarkan beberapa obrolan dari Rendra dengan seseorang.
"Ya, rencana kita berhasil mengelabuhi perempuan lugu itu! Gila apa aku menikahinya! ini semua ku lakukan untuk balas dendamku terhadap anak pungut papa mama!"
"Ya, kamu memang berhasil. Terus bagaimana setelah kamu menikahi perempuan itu?"
"Perempuan itu adalah alat buat memastikan Adrian lemah, aku tahu semua ini rencanaku untuk menyingkirkan anak pungut itu!"
Mawar mendengarkan semua itu, ia berusaha menahan sesak di dadanya, lalu seseorang membungkam dan menariknya paksa dari sana.
Adrian seseorang yang rela membungkam mulut Mawar, dan rasanya prasangka buruk tentang Adrian terpatahkan.
"Kamu sudah tahu dan dengar semuanya, kan?"
Mawar pun mengangguk sambil menahan air mata yang sempat jatuh. Ia tahu kalau lelaki yang selama ini baik itu hanyalah bajingan. Ia bahkan berencana melenyapkan keturunan Adrian. Siapa lagi kalau bukan Farhan.
"Mas, aku nggak nyangka kalau mas Rendra kejam, bahkan ia berencana menyingkirkan anak kita."
Tangisan Mawar dalam pelukan Adrian.
"Kamu sudah ku peringatkan jauhi Rendra, dia itu seperti bulus!"
"Ehem."
Adrian dan Mawar menoleh, ia melihat Rendra membawa Farhan dalam gendongannya.
Senyuman sengit telah dilemparkan oleh Farhan ke mereka berdua.
"Mas, ku mohoh jangan sakitin anakku?"
Tawa Rendra terlihat bak monster.
"Mas, berikan anakku. Kamu boleh ambil semuanya, asal jangan dia bego!" teriak Adrian.
Senyum sengak yang diberikan Rendra, ia pun seakan ingin membunuh balita itu.
"Mas, ku mohon lepasin anakku!" teriak Mawar.
"Hhaahahaaha, gara-gara anak ini semua rencanaku hancur! ini nggak boleh terjadi!"
Sikap Rendra bak pembunuh berdarah dingin. Mawar hanya bisa menangis hiteris melihat Rendra.
"Ren, kamu boleh ambil apapun, tapi jangan putraku!" bentak Adrian.
"Hahaha"
"Ren?"
"Sekali kamu melangkan anak ini akan mati di hadapanmu," ucap Rendra sambil membawa pisau lipat dengan mengarahkan ke kepala Farhan.
"Anakku!" isak Mawar.
Beberapa menit kemudian, Firman datang lalu merebut Farhan, tapi sayangnya pisau itu menancap tepat di perut Firman. Darah pun mengalir, dan Rendra pun berlari kabur.
Adrian pun tak berhasil menangkap Rendra.
"Shitttt!" umpat Adrian.
Rendra lari dengan mobil sedan merahnya.
Mawar pun menangis melihat kakaknya telah bersimbah darah segar. Lalu, Adrian pun membantu membawa Firman ke Rumah Sakit atau klinik terdekat.
"Mas, aku ikut," pinta Mawar.
"Jangan, kamu jaga anak kita. Berdoalah agar kakakmu baik-baik saja."
Mawar pun merasa gelisah, karena ia takut kalau kakaknya terjadi sesuatu, sedangkan Farhan mulai rewel yang menangis tiada hentinya. Abinya juga tidak tahu, ia sengaja merahasiakan, agar penyakit abinya tidak kambuh lagi.
Ponsel Mawar pun berbunyi, ia mendapatkan kabar kalau kakaknya selamat. Ia merasa sangat lega sekali, lalu ia segera mengambil air wudhu dan sholat atas syukur yang diberikan Allah
Seminggu kemudian Mawar pun menikah dengan Adrian, tapi lagi-lagi Rendra datang menghancurkan pesta pernikahan itu, tapi polisi segera menangkap Rendra atas kasus percobaan pembunuhan.
Setelah mengingat semua itu, Mawar merasakan kalau menilai seseorang tidak boleh sebelah mata. Ia pun merasa bersyukur, karena Allah telah melindunginya.
"War, maafkan aku yang pernah menjadi lelaki brengsek."
"Mas Adrian, ini semua sudah berlalu. Mawar sudah memaafkan, mas."
Adrian pun mengecup kening Mawar.
"Mungkin kita akan membuat double Farhan lagi malam ini, War."
Mawar pun melotot menatap Adrian.
"Mas, ini nakal."
Mawar pun tidur bersama Adrian melakukan aktivitas intimnya. Untuk memenuhi keinginan Adrian.
***
Di Jakarta Sera sedang melakukan penyelidikan tentang Naina. Ia merasa ada yang ganjil dengan kematian ibunya, setelah kedatangan Naina.
"Aku harus cari tahu kenapa mama bisa meninggal? Dan, siapa bibi Naina?" gumam Sera.
"Ser, kamu kenapa?"
"Fab, aku harus menemukan bukti kenapa mamaku meninggal."
"Bukankah mama kamu meninggal, karena sakit?"
Sera pun mengelengkan kepalanya,"Aku juga nggak tahu kenapa mamaku meninggal, Fab."
"Terus?"
"Aku curiga kalau ini semua sabotase dari Naina dan Papa yang tega melenyapkan mamaku, Fab."
"Apa kamu punya bukti untuk menguatkan tuduhanmu?"
Sera hanya mengelengkan kepalanya.
"Lah, terus?"
"Fab, aku baru inget, kalau bibi Naina menyebutkan nama Adnan, siapa ya dia? apa ada hubungannya dengan mamaku?"
"Coba apa mama kamu pernah cerita sama kamu tentang saudaranya?"
Sera hanya mengelengkan kepala.
"Fab, tapi kamu mau kan bantu aku buat cari tahu soal mamaku?"
Fabian tersenyum, "Iya, pasti aku akan bantu kamu, Ser. Karena kita sahabat."
"Iya, kita cuman sahabat, dan nggak akan pernah lebih," batin Sera.
"Eh, kok ngelamun lagi? temenin aku makan aja. Laper banget aku tuch."
"Baiklah, Fab."
"Aku pengen makan yang pedes-pedes, tapi apa ya?"
"Bakso!"
"Ide bagus, kadang kamu agak cerdas ya, Ser."
"Sialan kamu!"
Fabian hanya nyengir.
"Ayok, last go!"
Mereka pun berangkat keluar mencari bakso.
***
Di Rumah Sakit Umar dalam keadaan kritis, sedangkan Samuel hanya dapat memijat kening. Ia merasa cemas akan kondisi Umar.
"Sabar, Bos."
Samuel hanya diam duduk bersama di ruang tunggu UGD. Ia menunggu kabar dari dokter.
"Bos, tenanglah. Jangan takut, karena Allah akan bersamamu."
Samuel pun merasa sesak di hatinya, ia merasakan rasa takut kehilangan kedua kalinya.
"Dijah, aku nggak tahu harus bagaimana?"
"Pak Samuel itu kan muslim? bagaimana kalau kita ke mushola berwudhu, lalu berdoa kepada Allah. Hanya Allah lah yang menakdirkan hidup atau mati."
"Baikah, Dijah. Sudah lama aku meninggalkan Allah, bahkan aku marah karena Allah telah mengambil Mama."
"Pak, jangan menyalahkan Allah, dia telah mengambil mamanya bapak, karena Allah sayang dengan mama bapak."
Samuel pun hanya diam mendengarkan tutur kata Khadijah, ia pun mengikuti saran Khadijah.
"Ayo, Pak ambil wudhu."
Samuel hanya diam saja.
"Kenapa, Pak?"
"Saya tidak bisa berwudhu, Dijah. Saya memang muslim, tapi saya tidak pernah sholat."
Khadijah sejenak hanya diam, ia bersyukur keluarganya bisa mengajarkan tentang sholat dan berdoa kepada Allah SWT. Semua itu, karena Haqi yang selalu mengajarkan tentang pendalaman islam.
"Ayah, semoga kau selalu dalam lindungan Allah SWT," batin Khadijah, ketika menginggat sosok Haqi yang merupakan ayah tirinya.
Haqi seorang ayah tiri yang selalu bisa menjadi kepala keluarga yang baik, sewaktu masih bersama beliau selalu saja menjadi imam dalam keluarga Khadijah.
Keluarga Khadijah selalu memegang teguh akan ilmu agama islam, bahkan ia merasakan rindu akan kehangatan keluarganya.
"Dijah?!"
"Eh, iya Pak. Maafkan saya."
Khadijah baru kali ini melihat senyum ketulusan dari Samuel. Ia melihat kelembutan seorang anak kepada ayahnya. Lalu, ia mengajarkan Samuel untuk berwudhu.
***
Sera menemukan jejak siapa Muhammad Adnan Pradana, dia adalah kakak dari mamanya. Ia juga pernah terlibat kasus penculikan tentang seorang perempuan bernama Rania Medina.
"Rania Medina?"
Sebuah foto tercetak jelas perempuan cantik itu. Ia pun awalnya menebak kalau Rania Medina adalah ibu dari Khadijah sahabatnya, tapi wajahnya tidak sama.
Sera mencoba mengingat tentang Khadijah yang pernah curhat tentang keluarganya. Ia menceritakan pernah berpisah dengan ibunya sewaktu kecil hingga tiga belas tahun kemudian bertemu ibunya.
Sera pun berpikir keras dengan mencocokan puzzle masa lalu Khadijah dengan bukti yang ia dapatkan.
"Ser?"
"Fab, aku sudah mendapatkan informasi tentang hubungan antara mama dengan pria bernama Adnan, Fab. Tapi, dia sekarang sudah bebas dan menghilang entah kemana."
"Oh,"
"Iya, kalau kita ketemu dengan om Adnan bakalan tahu kenapa bibi Naina tega membunuh mama."
"Ser, kita nggak boleh berburuk prasangka, siapa tahu mama kamu memang sakit."
"Nggak mungkin, Fab. Aku denger sendiri, kalau bibi Naina dan papa telah merencanakan membunuh mama, Fab. Sumpah aku nggak ikhlas dan nggak bakalan maafin wanita jahat itu!"
Fabian mendekat ke Sera, ia pun mencoba memeluk Sera untuk menenangkan hati perempuan itu.
"Ser, aku tahu kamu marah dan kecewa dengan kematian mama kamu, tapi semua sudah berlalu dan ikhlaskan."
"Nggak bisa, Fab. Aku belum lega, kalau belum tahu kenyataannya. Karena kamu nggak ngerasain diposisi aku, bahkan aku belum sempat melihat wajah mama terakhir kalinya!" Sera pun mengepalkan kedua tangannya, ia merasa hatinya sangat membara.
"Ser, aku tahu hati sedang panas. Sebaiknya, kamu berwudhu, agar setan tak merasukimu."
Fabian pun melepaskan pelukannya dari Sera.
"Kamu benar, Fab. Aku jadi ingat dengan mama, dia adalah wanita terbaik sebagai guru pertama kali mengajarkanku ilmu agama, tapi aku tetap saja bandel. Aku kangen mama, Fab."
Sera pun tersenyum menatap langit, ia berharap agar ada satu bintang paling terang. Dia adalah mamanya.
***
"Tak ada yang lebih bijak, selain kesabaran dan keikhlasan. Insyaallah, Allah akan memberikan kebaikan di dunia dan akhirat."
-