Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 48 - Masih Dilema

Chapter 48 - Masih Dilema

"Bagaimana bila dia yang tertakdir untukku, tapi aku mencintai pria lain?"

Khadijah pun hanya membatin dalam hatinya, ia merasakan hatinya masih mencintai Rumi. Hanya pria itu yang mampu menyita angan dan pikirannya. Ia merasakan kalau hatinya masih mencintai lelaki itu.

Sudah lama Khadijah tidak bertemu dengan Rumi, setelah di London. Ia merasa begitu merindunya dalam hati sendiri.

"Di mana kamu, Mas? Kenapa harapanku mulai runtuh, ketika aku merasa kau benar-benar menghilang? Apa Allah tidak mengabulkan harapanku untuk berjodoh denganmu?"

Setelah, melaksanakanĀ  sholat isthikarah, Khadijah merasa kalau dia bukan tertakdir untuk lelaki yang ia cintai, karena iman dan ketaqwaannya. Namun, lelaki lain yang selalu membuat dia sebal malah berniat segera menghalalkannya.

Khadijah merasa hatinya benar-benar dalam dilema. Sedangkan, ia harus segera memberikan jawaban atas khitbah dari Samuel.

Samuel memang lelaki tampan dan mapan, sedangkan Rumi hanyalah lelaki sederhana, namun membuatnya jatuh hati karena pesona lantunan ayat suci yang pernah berkumandang.

Rumi calon imam masa depannya, namun harapannya hanya sebatas saja. Ia juga merasa kalau cintanya hanya sepihak saja.

"Apa aku harus menerima sebagai penyempurna imanku?"

Khadijah berada di atas ranjangnya, ia selesai mengerjakan sholat sunnah isthikarah. Ia ingin jawaban yang terbaik dari Allah.

Khadijah memejamkan kedua matanya, lalu ia pun tenggelam ke alam mimpi.

Sebuah cahaya menuntunnya, ia melihat sosok dua orang. Ia merasa dilema, dan penasaran.

Langkah kaki Khadijah menuju ke sebuah sosok, namun saat di dekati. Sosok pria itu menjauh dan menghilang.

"Dijah! bangun, nak!"

"Heem, emang jam berapa sich?" gumam Khadijah.

"Ini udah jam dua belas siang, apa kamu nggak ngantor hari ini?" ujar Rania.

"JAM DUA BELAS?!" ulang Khadijah, ia merasa telat bangun. Ia lupa kalau harus ke kantor.

Khadijah langsung mengambil ponselnya, namun ia mendapati sebuah pesan chat whatsapp dari manusia planet alias bosnya.

"Sebaiknya, kamu nggak usah masuk kantor. Khusus hari ini kamu saya liburkan, karena saya tahu kamu masih berpikir tentang pertanyaan saya. Karena saya bos yang baik hati dan tidak sombong saya kasih kamu libur tiga hari. Tapi, setelah itu kamu harus kasih jawabannya. Saya tidak ingin terlalu lama untuk menunggu."

Ketika membaca pesan chat whatsapp dari Samuel, sebenarnya dia malas. Apalagi membahas soal lamarannya kemarin.

"Ya ampun kenapa tuch cowok nggak amnesia aja sich? biar nggak tagih jawaban. Ish, menyebalkan sekali! masa dia yang nggak aku harapkan malah dia! Ya ampun!"

Khadijah menghela napas, lalu ia mematikan ponselnya. Ia merasa akan lebih baik hidup tiga hari tanpa ponselnya, ia akan mencari udara segar.

Khadijah mulai beranjak dari ranjangnya, ia akan mandi segera. Lalu, ia akan jalan-jalan ke sekitar kota Istanbul. Ia berharap akan lebih tenang sambil mencuci mata, siapa tahu bisa ketemu pria tampan.

Sebuah handuk Khadijah ambil, lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.

Sebuah kran pada bath up ia putar agar air memenuhi isi bath up. Sambil menunggu isi bath up penuh Khadijah mencuci muka dengan sabun, lalu membilas dengan air.

Khadijah menatap sebuah kaca.

"Kenapa bukan kamu aja yang melamarku mas Rumi? Kenapa harus manusia planet duluan yang melamar? Apa kamu nggak denger ribuan doaku yang mengalir, mas?"

Helaan napas panjang Khadijah, ia merasa kenapa masih belum bisa memberi jawaban. Karena, petunjuk dari Allah lewat mimpi masih samar-samar tidak jelas.

"Apa aku harus berhenti merapalkan doaku? Tapi, kenapa hatiku masih saja menyebut namamu? bahkan, otakku masih saja menginginkanmu, bukan dia?"

Khadijah masih saja membayangkan sosok Rumi dalam ingatannya. Bahkan, ia rindu dalam hati semua tentang pria itu yang mampu membuatnya menyita seluruh angannya.

"Kamu di mana? Kenapa kamu tak kunjung datang, Mas? Kenapa aku hanya mendapati sosok lain?"

Pertanyaan itu terus menyeru dalam kepala Khadijah. Ia begitu merindukan dia dalam sepertiga malam hingga tiap doa-doanya.

Bath up terisi penuh dengan air hingga meluber ke lantai kamar mandi, lalu Khadijah melangkah menuju bath up. Ia mematikan kran pada bath up.

Kaki kanannya mulai Khadijah masukkan ke dalamnya diikuti kakiĀ  kirinya. Lalu, ia menengelamkan tubuhnya sambil merenung.

Air dalam bath up merendam seluruh tubuhnya. Pikiran Khadijah mulai terbang ke mana-mana.

"Ya Allah kenapa aku harus jatuh cinta kepada pria yang aku nggak tahu dia suka padaku apa tidak? Apa aku harus terus meraba perasaannya, atau aku melepaskan dan menerima pria lain yang nggak pernah aku cintai?"

"Ya Allah, aku ingin sekali dia menjadi calon imam keluarga kecilku nanti bila engkau merestui. Jika tidak berilah aku pria yang menyayangi dan mampu menyempurnakan cintaku atas cintamu semata Ya Allah."

Khadijah kembali muncul ke permukaan wajahnya, ia langsung mulai mengosok badannya dengan sabun yang telah ia tuangkan ke dalam bath up.

Setelah selesai, Khadijah keluar dari bath up, lalu ia menuju ke shower untuk membersihkan sisa sabun yang menempel pada tubuhnya.

Shower begitu hangat suhu airnya membasahi tubuh Khadijah. Ia merasakan sedikit nyaman.

Lalu, Khadijah berjalan mengambil sebuah handuk yang ia taruh pada gantungan baju di kamar mandi.

Khadijah melilitkan handuk dari bagian tubuh atas hingga ke bagian lutut. Lalu, ia berjalan keluar dari kamar mandi.

Sebuah lemari pakaian Khadijah tuju, lalu ia membuka lemari pakaian. Ia memilih sebuah baju dress panjang berwarna navy, lalu ia mengambil jilbab bermotif abstrak.

Khadijah pun menganti lilitan handuk dengan pakaian yang tadi ia pilih. Lalu, ia memakai jilbab dengan sederhana tanpa memakai model beberapa lapis.

"Baiklah, aku akan mencari udara segar, setelah sekian lama!"

Khadijah pun keluar kamar mendapati mommy dan adiknya. Karena, ia tahu ayahnya sudah mulai sibuk bekerja di rumah sakit kota Istanbul.

"Nak, kamu mau ke mana?"

"Cari angin, Mom."

"Kamu nggak makan siang dulu?"

"Maaf, Mom. Khadijah nanti aja makannya, karena Khadijah masih belum lapar juga," cengir Khadijah, lalu mencium telapak tangan Rania.

"Mom, Khadijah berangkat dulu. Apa mom tidak ada titipan sesuatu?" tanya Khadijah.

Rania mengelengkan kepalannya.

"Baik, Mom. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Khadijah pun langsung pergi.

"Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku masih belum bisa memberi jawaban atas lamaran Pak Samuel, karena hatiku masih saja berharap tentang mas Rumi. Tapi, mas Rumi masih belum tahu di mana dia berada. Apa dia juga mencintaiku atau hanya aku saja. Sungguh aku dilema dalam sebuah rasa. Aku belum bisa memutuskan untuk menerima atau menolaknya Ya Allah. Berikan aku kemantapan hati dan petunjukmu. Karena hamba mengerti kalau engkau tahu apa yang hamba butuhkan, bukan yang hamba inginkan Ya Allah."

---