Khadijah pun bangun pukul 05.00 pagi, ia pun duduk di atas ranjang sambil menguap.
"Hoam."
Khadijah pun langsung mengambil ponsel di meja sebelah ranjangnya, seperti biasa dia harus cek panggilan dan chat yang masuk.
Mata Khadijah langsung melotot, ia melihat 100 panggilan tak terjawab dari bos pluto. Ia pun mengaruk-garuk kepalanya, lalu menebak-nebak semalam yang ketuk-ketuk pintunya adalah manusia pluto.
"Mampus dach, bagaimana kalau manusia pluto yang tadi malam ketuk-ketuk pintu?"
Khadijah pun langsung turun dari ranjangnya, ia pun menampakkan kedua kakinya di lantai kamar hotel, lalu ia berjalan menuju ke pintu kamar hotelnya.
"Waduh, kalau manusia pluto malam-malam tadi, bagaimana kalau ia potong gajiku?" dumel Khadijah. "Ih, dasar tuh manusia alien!"
Khadijah meraih daur pintu kamar hotel, lalu ia melotot melihat orang tidur di depan pintu hotelnya.
"ISH!!!!!! BANGUNNNNNNNN!!!!!" geram Khadijah.
"Heeemmm."
"Aduh, ini bos udah gede, tapi kelakuannya kayak bayi," Khadijah celingukan, ia merasa malu kalau ada orang lewat disangka bosnya itu suami yang ia sia-siakan.
Khadijah pun mendekat, bau alkohol dari mulut Samuel.
"Ya ampun ini manusia pluto, kenapa pakai mabuk? Astagfirullah!"
"Julia, jangan tinggalin aku...." gumam Samuel.
"Eh, ternyata dia baru aja patah hati,"senyum licik Khadijah. "Sekejam-kejamnya manusia pluto, eh bisa sedih juga!"
Khadijah pun menyeret Samuel masuk ke dalam kamar hotelnya.
"Ya Allah, jangan biarkan ini menjadi fitnah, sungguh hamba hanya menolong manusia pluto, agar tidak terdampar di sana. Amin," ucap Khadijah.
Khadijah pun ngos-ngos an membawa masuk Samuel dengan cara menyeret. Lalu, ia membawanya ke pinggir dekat sofa.
"Sumpah aku nggak kuat Ya Allah, apa mungkin dia kebanyakan dosa jadinya berat banget Ya Allah."
Setelah memasukkan Samuel ke dalam kamar, Khadijah menutup kembali kamarnya.
"Sumpah ini bos bikin pagi-pagi olah raga," dumel Khadijah.
Khadijah pun mengecek kening Samuel dengan punggung telapak tangannya. Ia sudah tak kuat mengangkat tubuh Samuel ke atas sofa maupun ranjang.
"Budu ah, aku taruh sini aja! abisnya badannya gede dan berat, sedangkan tubuhku mungil, kalau nekat bisa-bisa encok kumat," dumel Khadijah.
Khadijah mengambil selimut, lalu ia menaruhnya di bawah lantai, ia pun membawa Samuel di atas selimut itu, lalu ia mengambil bantal untuk alas kepala Samuel.
"Okay, gini aja udah repot. Sumpah ini bos selalu bikin hidup susah!" hela napas kasar Khadijah.
Khadijah mengambil sapu tangan di tasnya, lalu ia mengompres kening Samuel dengan sapu tangan yang sudah dibasahi dengan air dingin.
Saat mengompres kening Samuel, tangan kiri Khadijah dipegang erat oleh Samuel.
"Jangan pergi,"gumam Samuel mengigo berulang kali.
"Iya, aku nggak akan pergi, tapi lepasin," jawab Khadijah, lalu tangan mungilnya terlepas juga dari tangan Samuel.
Khadijah menatap Samuel yang tertidur beralaskan selimut kamarnya.
"Ternyata lucu juga nich bos, mukanya kalau lagi kayak gini mirip banget sama bayi, tapi kalau normal galaknya kayak evil," batin Khadijah, lalu ia memotret bosnya yang sedang tak berdaya.
***
Lantunan surah AL-Mulk di langit London, siapa lagi pemilik suara indah itu kalau bukan Rumi. Setelah, sholat subuh ia selalu menyempatkan membacanya.
Rumi hanya akan tinggal di London selama tujuh hari atas perintah Ms. O. Dia juga harus melakukan serangkaian meeting dengan Samuel mengenai proyeknya. Tapi, tidak disangka ia bertemu kembali dengan Khadijah. Sungguh kejutan di luar dugaannya.
Rumi pun keluar dari kamar hotelnya pukul 08.00, ia berjalan menuju ke lobby sambil keluar mencari makanan sekitar hotel dengan jalan kaki saja.
"Khadijah?" Rumi melihat Khadijah di luar sedang membeli kue.
"Khadijah!!!" teriak Rumi sambil melambaikan tangannya.
"Mas Rumi?"
Rumi pun berjalan ke arah Khadijah, ia pun melihat senyum senja paginya kembali.
"Subhanallah, Mas Rumi. Dengan rencana Allah kita bertemu," batin Khadijah.
Sudah sejam lalu Khadijah meninggalkan kamar hotelnya, ia tidak ingin berdua dengan bosnya, karena ia takut fitnah.
"Eh, apa aku ajak mas Rumi ya buat bantuin bos?" pikir Khadijah.
Rumi pun mendekat ke arah Khadijah yang sedang membawa kue dari penjual di jalanan.
"Mas?"
"Dijah."
Mereka hanya beradu pandangan, lalu saling menatap bergantian.
"Ehem,"
"Iya, Dijah."
"Mas, nginep di hotel itu juga?"
Rumi pun mengangguk mengiyakan.
"Ternyata kita satu hotel, mas."
"Iya, satu hotel."
"Tahu gitu kita bisa jalan dan ngopi bareng, sumpah bosen banget aku di sana. Apalagi punya bos yang nyebelin tingkat dewa!"
"Nggak boleh gitu, dia kan bos mu juga."
"Eh, mas mau nggak bantuin Dijah?"
"Insyaallah, aku akan bantu kamu, kalau aku bisa."
Khadijah mengembangkan senyum di bibirnya.
"Mas, di kamar hotelku ada bosku,-"
"Masyaallah, kamu,-"
"Enggak, mas. Tadi pagi pas subuh aku nemuin dia di depan pintu mabuk juga. Mas, bantuin Khadijah ya, biar nggak jadi fitnah, please."
"Baiklah, aku akan membantu kamu, tapi aku lapar Dijah, boleh nggak kita cari makan sambil cari yang indah-indah."
"Boleh, Mas. Aku juga belum makan."
Mereka berdua pun berjalan beriringan tanpa bergandengan tangan menuju ke resto dekat hotel.
"Mas, aku pengen makan itu nasi kebuli sama iga bakar, kayaknya enak itu, mas."
"Eh, iya. Di situ aja kan ada tulisannya halal."
"Baiklah, aku yang traktir mas."
"Enggak bisa, aku yang traktir kamu. Anggap saja ngerayain kalau aku sudah bekerja."
"Hore aku ditraktir nich? makasih ya, Mas Rum."
"Iya, Dijah."
***
Di kamar hotel bak hiu terdampar, kepala Samuel terasa berat. Ia tidak mengingat kejadian kemarin malam.
Samuel memijat-pijat keningnya,"Aku ada di mana ini?"
Samuel pun ingat kejadian di club malam, terus dia nggak sadar malahan nyasar di depan kamar Khadijah, tapi ia tak melihat tanda-tanda Khadijah di mana.
Samuel mendengar suara dua orang saling ngobrol, lalu ia pura-pura tidur.
"Ayo, masuk, mas."
"What, Khadijah membawa masuk lelaki? Apa dia juga perempuan murahan kayak Julia?" dumel Samuel dalam keadaan memejamkan matanya. "Ternyata semua perempuan sama saja."
Khadijah pun memasuki kamar hotelnya, ia masih melihat Samuel dalam kondisi tertidur di bawah.
"Mas, Rumi. Bantuin angkat dia, aku nggak kuat, karena beratnya sesuai dosanya!"
"Anjirrr, ini perempuan pengen aku kunyah hidup-hidup. Masa aku dibilang berat dosa."
Rumi pun membantu Khadijah mengangkat Samuel ke atas ranjangnya.
"Sumpah, punya bos nyusahin amat! terus tukang bucin!" dumel Khadijah. "Eh, makasih ya mas."
Rumi hanya tersenyum.
"Udah ditraktir makan dan dibantuin angkat manusia pluto eh ralat maksudnya bos aku, mas," ucap Khadijah.
"Iya, sama-sama. Sesama kaum muslim kita harus saling membantu."
"Mas, di sini aja yaa, sampai bos jelek ini bangun," pinta Khadijah.
"Iya," balas Rumi.
Khadijah pun ngobrol seru dengan Rumi, ia pun tak peduli dengan Samuel. Ia pun tertawa bersama sambil membicarakan Seoul. Ia pun saling bertukar nomer, karena sempat terputus.
Pukul 12.00 waktunya sholat dhuhur, Rumi pun izin untuk sholat sebentar di mushola yang disediakan hotel.
"Dijah, aku mau sholat dulu nanti aku akan balik lagi ke sini, sekalian ajak kamu makan siang di bawah."
"Okay, Mas."
"Kamu nggak sholat?"
Khadijah mengelengkan kepalanya,"Lagi dapet, Mas."
"Oh, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Rumi meninggalkan Khadijah berdua dengan Samuel.
Beberapa menit kemudian, Khadijah mulai sebal dengan Samuel yang belum juga sadar. Rasanya ingin ia siram air setimbo biar cepet sadar.
"Aduh, bos macam apa? bikin kesel dan susah bawahan!" dumel Khadijah.
"Bos itu bebas, kamu bawahan?"
Khadijah pun menoleh mendengar gumaman dari Samuel.
"Ihhhhh, ingin rasanya aku berkata kasar!" gerutu Khadijah.
"Kamu itu ya, jadi bawahan nggak usah protes!"
Khadijah pun mulai angkat bicara, ia pun mengambil napas, lalu menghela perlahan-lahan agar bisa menaikan nada menjadi satu oktaf.
"Bapak Samuel yang terhormat, bukannya saya protes, tapi kalau kita sekamar begini bikin fitnah! Iya, meskipun kita tidak melakukan hal menjijikan seperti diotak-otak pria brengsek! ingat ya, Pak. Saya tidak mau, jadi fitnah. Apalagi status kita sebatas atasan dan bawahan, jadi kalau bapak sudah sadar. Silahkan bapak kembali ke kamar bapak sendiri! Saya mau isthirahat!"
"Ta,-"
"Kalau mau bahas kerjaan, kita bisa kan ngobrol di cafe hotel ini, setidaknya nggak jadi fitnah," Khadijah melipat kedua tangan di dadanya sambil menaikan satu alisnya.
"Baiklah, saya akan pergi. Ingat setengah jam lagi kita akan bahas proyek kita di cafe hotel," ucap Samuel sebelum pergi dengan klien kita kemarin.
"Okay," singkat Khadijah.
Samuel pun keluar dari kamar Khadijah.
"Uh, akhirnya aku bisa bobok siang, halah cuman setengah jam pasti cukuplah, telat nggak apa-apa. Dimarahin ya sudahlah."
Khadijah pun segera menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa butuh isthirahat.
***
Ponsel Samuel berbunyi, sebuah panggilan tertera nama PAPA, lalu ia pun mengeser tombol penjawab.
"Halo..."
"Iya, Pa."
"Kamu di London?"
"Iya, Pa."
"Kapan kamu mau kenalin calon istri kamu, nak?"
Jantung Samuel berhenti seketika, karena ia baru saja putus dengan kekasihnya.
"Kamu ingat, papa kamu ini udah sakit-sakitan, dan apa kamu nunggu papa kamu mati?!"
"Ta,-"
"Saya sudah ada di depan kamar hotelmu. Anak bodoh!"
"Apa?"
"Cepet buka Anak Bodoh!"
Samuel membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa, ia melihat lelaki tua dengan tubuh yang masih tegak di hadapannya. Ia melihat wajah yang hampir mirip dengannya.
"Papa!"
"Selamat sore, Boss," ucap Khadijah yang nongol tiba-tiba.
"Siapa dia, Nak?"
"Calon istri saya, Pa."
"Pak bos?" Khadijah mendelik mendengar kata calon istri.
"Cantik," puji Umar menatap wajah kalem Khadijah. "Papa suka, kapan kalian meresmikan?"
"Nggak, Pak. Ini semua,-"
"Ini akan secepatnya," sela Samuel.
Khadijah merasa kesal dengan ucapan Samuel yang ngaku-ngaku jadi calon suaminya.
"Dasar manusia pluto," dumel Khadijah. "Aku cuman cinta dan sayang sama Mas Rumi! bukan manusia pluto nggak punya otak! kenapa aku yang dijadikan sasaran!"
Khadijah mencoba pura-pura tersenyum, meskipun dalam hatinya dongkol masyaampun.
"Gila manusia pluto ini, kenapa harus aku?" dumel Khadijah dengan hati yang sangat dongkol.
"Sam, siapa namanya?"
"Dia Siti Khadijah Puteri Ayass."
"Ayass?" ulang Umar.
"Heem, ada apa, Pak. Dia daddy saya."
"Ya Ampun dia dokter terbaik, dia pernah membantu ayah saat operasi. Sungguh daddy kamu adalah dokter terbaik. Sungguh kehormatan, kalau putrinya bisa menjadi menantu saya."
Khadijah hanya diam, ia mendadak shock mendengarkan ucapan Umar.
"Haduh, kenapa harus begini? Ya Allah...." batin Khadijah.
"Oh, kamu kok nggak bilang sayang, kalau papa kamu dokter?"
"Emang situ nggak baca CV saya?" gumam Khadijah.
"Baiklah, minggu depan undang keluarga kamu ke sini, dan biar kita percepat rencananya," cetus Umar.
"Heeem, Maaf, Pak. Kalau saat ini mommy sedang sakit, jadi nggak akan bisa."
"Ya, biar kita yang ke sana buat sekalian ngelamar kamu, Nak. Pasti Samuel setuju."
"Samuel setuju dan aku nggak akan setuju, orang aku cuman suka sama mas Rumi. Dia cowok macam apa? hobi mabuk? otak agak kongslet? gimana dia mau jadi calon imam? aku aja nggak mau jadi calon makmumnya," dumel Khadijah dalam hatinya.
"Gimana kamu bersediakan, Nak Khadijah?"
Samuel menatap Khadijah, agar menyetujui berpura-pura jadi calon istrinya. Sedangkan, Khadijah tak sudi menjadi calon istri, meskipun pura-pura. Ia tidak suka dengan kebohongan yang menyesatkannya.
"Khadijah?"
"Dia pasti setuju, Pa," sahut Samuel.
"Setuju kepalamu! ihhhhh manusia pluto!" jeritan Khadijah dalam hati.
Serangan jantung mendadak Umar rasakan, lalu mereka berdua membawa ke rumah sakit terdekat di London.
****