"Lantunanmu menyejukan hatiku, dikala rindu keluarga."
*
Kamis malam jum'at legi. Di sebuah masjid kota Seoul. Khadijah selesai menunaikan ibadah sholat isya.
Suara merdu nan indah menghipnotis, bahkan mengetarkan hatinya. Siapa itu? pertanyaan itu terlintas di dalam hatinya.
Ayat demi ayat telah terdengar, tiba-tiba air mata Khadijah menetes begitu saja. Sebuah kerinduan akan seorang ayah yang telah pergi dan tak mungkin kembali, meski ada sesok ayah baru mengantikan sebuah peran ayah kandung, tapi tetap saja berbeda, karena darah yang mengalir tidak dapat ditipu.
"Seandainya, saja ayahku ada di sini?" tetesan air mata itu semakin deras.
Suara ayat-ayat suci itu begitu indah nan merdu.
"Kalau saja dia jodohku, mungkin takkan pernah aku menolaknya" gumam Khadijah.
Khadijah melipat mukenah yang ia pinjam di masjid. Lalu, ia meninggalkan masjid sambil mencangklong tas di pundaknya.
Pria pemilik suara indah itu juga keluar dari masjid tanpa Khadijah ketahui. Mereka sebenarnya berpaspasan.
*
Cuaca panas nan ekstrem, sinar mentari cukup menyengat. Apalagi di siang bolong begini paling enak meneguk es kelapa muda.
"Kalau begini rasanya es paling enak dan seger" batin Khadijah. "Uh, tapi sayangnya lagi puasa begini."
Khadijah selalu rajin menjalankan puasa sunnah daud. Baginya, ibadah itu penting sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Ia ingat apa kata uncle Haqi, kalau kita pengen mengejar akhirat maka kita akan mendapatkan dunia juga.
Haqi itu, selalu memberikan banyak ilmu. Di samping itu, profesinya sebagai dokter bedah profesional. Ia pun juga membuka sebuah yayasan dan rumah sakit di Indonesia untuk membantu banyak orang.
"Aku sangatlah bersyukur, Allah mengantikan peran daddy ke uncle Haqi, tapi tetap saja aku merindukan daddy ku. Aku sangat rindu digendong dalam pelukkannya, mendongeng, dan suara piano daddy. Sayangnya, aku tak mempunyai bakat dari daddy."
Khadijah menatap sendu dalam lamunannya tentang ayahnya yang sudah lama pergi.
"Seandainya saja, ada daddy. Aku ingin sekali ya Allah selalu tertawa dan menghabiskan waktu bersama, serta mencoba tidak nakal."
Khadijah melihat gadis kecil yang usianya sekitar lima tahunan sedang dalam gendongan ayahnya. Gadis itu menjilat es cream rasa coklat, vanilla dan strawberry. Gadis itu, membuatnya memutar sebagian memori yang dialaminya bersama daddy.
"Secara nggak sadar aku merasakan, kehadiranmu, dad. Sungguh aku merindukanmu, dimana pun kamu berada, aku selalu mendoakanmu, dad. Meskipun, aku berharap kau kembali bersama kita."
Ponsel Khadijah berbunyi, ia melihat di layar ponselnya tertera nama Bunda. Ia memang masih merindukan Bundanya, tapi mau bagaimana lagi berpisah demi impian apa salahnya.
Khadijah mengeser papan penjawabnya.
"Assalamualaikum, sayang?"
"Walaikumsalam, Bunda."
"Bagaimana, keadaanmu?"
"Syukur alhamdulillah baik, bagaimana keaadaan, Bunda?"
"Alhamdulillah, baik, nak. Minggu depan Hasan akan menyusulmu ke Seoul."
"Oh, dalam rangka apa, Bun?"
"Hasan mendapatkan tawaran bekerja di sana, dia juga membawa Ridwan."
"Ridwan? anak om Seno?"
"Iya, kamu kenalkan."
"Iya, Bun. Aku kenal Ridwan yang badannya kayak beruang kutub itu, pakai kacamata super tebel."
"Ya, kamu menginggatnya, jangan lupa minggu depan hari senin kamu jemput mereka."
"Bunda dan ayah nggak datang sekalian?"
"Bunda, nggak bisa datang karena harus ke Istanbul bersama ayahmu. Dia akan mengikuti seminar dan mendapatkan pekerjaan di sana."
"O."
Kemudian mereka mengakhiri percakapannya di telepon.
*
Dari ufuk langit begitu Jingga sekali hingga membuat siapa saja jatuh hati. Saat itu senja mulai menjingga. Khadijah duduk di sebuah bangku taman untuk menikmati senja nya bersama dengan luka dan masa lalunya.
"Kenapa apa harus Ayah yang pergi di dunia ini? " Khadijah menggumam dalam hati kecilnya seakan dia mengingat tentang masa lalunya. Dia berharap segera bertemu dengan ayahnya.
Kedua mata Khadijah langsung membidik dalam satu titik. Dia melihat di sana ada sosok lelaki idamannya. Dia ingin sekali mengenal lelaki itu siapa. Dia tidak mempunyai nyali untuk sekedar menyapa atau bertanya kabar.
" Sudikah kamu jika mengenal diriku saat ini?" Khadijah hanya mampu mengalahkan nafas perlahan-lahan. Dia berharap suatu saat nanti bisa mengenal lelaki itu lebih dalam. Walaupun hanya kemungkinan kecil.
"Aku yakin jika ayah aku masih hidup belum meninggal dunia. Dan jasad yang dimakamkan itu bukanlah ayahku karena aku yakin kalau ayahku masih lah hidup di dunia ini. " Khadijah sangat yakin sekali kalau Ayahnya masih hidup walaupun banyak orang yang menyatakan kalau Ayahnya sudah meninggal dunia sejak Dia berumur 7 tahun. Dia benar-benar kehilangan sosok Ayah yang dia rindukan saat itu.
*
Rania sudah menunggu di rumah. Dia sudah menyiapkan beberapa makanan untuk makan malam bersama dengan anak laki-lakinya dan suaminya. Dia sudah memasak menu makanan yang enak-enak. Kebetulan anak perempuannya sedang berada di Seoul Korea Selatan untuk melanjutkan pendidikannya di S2. Dia juga sangat merindukan sosok Khadijah, putrinya.
" Ini adalah makanan kesukaan dari Khadijah. Seandainya saja Dia datang kesini Mungkin dia akan sangat lahap sekali memakan beberapa lauk pauk yang telah dihidangkan di atas meja ini. " Rania mulai mengembang dalam hati kecilnya sambil menunggu dua lelaki yang berbeda generasi. Dia adalah anak dan suaminya yang sampai sekarang belum juga pulang.
*
Hasan masih nongkrong bersama teman-temannya di sebuah restoran. Karena ada salah satu temannya yang sedang berulang tahun. Dia mendapatkan traktiran dari salah satunya.
Hasan sudah menghubungi ibunya agar tidak menunggunya pulang. Karena dia akan pulang sedikit larut malam.
"Hasan, tumben kamu mau ikutan dengan kita," kata salah satu teman Hasan karena lelaki itu sangat sulit sekali untuk diajak sekedar nongkrong bersama. Dia terlalu sibuk dengan beberapa pekerjaan.
Hasan hanya tersenyum sambil menikmati beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Dia tidak peduli dengan omongan banyak temannya mengenai dirinya.
*
Kehidupan Naina begitu sangat rumit sekali hingga dia harus membesarkan putrinya sendirian. Dia merasa dunia tidak akan pernah adil untuknya bahkan dia ingin sekali membuat perhitungan terhadap lelaki Brengsek itu.
Dahlia terlahir tidak sempurna bahkan lelaki yang telah disebut bapaknya itu malah membuang Dahlia saat itu juga karena malu memiliki anak yang cacat sejak lahir. Dia benar-benar baik yang tidak pernah diharapkan di dunia ini saat itu juga.
Naina merasa kehidupannya benar-benar buyar saat itu juga. Dia merasakan betapa kejamnya kehidupan terhadap dirinya yang hanya hidup sebatang kara namun diperlakukan sebagai budak untuk seorang lelaki yang menjadi majikan saat itu.
" Sekali lagi maafkan mama, Dahlia," ucap Naina dengan begitu lirih sambil mengecup ujung kepala Dahlia dengan penuh kasih sayang. "Walaupun Ayah kamu tidak menerima kamu di dunia ini tapi ibumu akan tetap merawat dan menyayangi kamu. Kamulah alasan dari ibu untuk bisa berdiri kembali dengan kedua kaki ini. "