Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 6 - Bagaimana Bisa

Chapter 6 - Bagaimana Bisa

Magelang, 20 Desember 2017.

Perjodohan antar Rumi dan Mawar. Saat itu, Rumi seorang anak yang tumbuh di sebuah panti asuhan milik keluarga Kiai Abdullah.

Kiai Abdullah dan istrinya mengelolah panti atas dasar swasembada. Mereka memiliki keinginan agar panti asuhan ini melahirkan anak-anak yang berkarakter dan berakhlaq mulia.

Kiai Abdullah memiliki dua anak dari bu Sri Amanah yaitu Mawar dan Firman. Keduanya didik dengan latar belakang agama yang cukup baik.

Panti Asuhan 'Najwa' juga ada sebuah pondok pesantren yang siap menampung beberapa anak-anak yang ingin memperdalam masalah agama islam atau berhijrah.

Suatu ketika datanglah Adrian Maulana. Seorang anak laki-laki yang badungnya masya ampun. Kerjanya bikin rusuh.

Kiai Abdullah memperingatkan Mawar untuk tidak dekat dengan laki-laki itu, karena ia sudah janji dengan Rumi untuk segera menikahkan mereka.

Malam itu, Mawar mulai dekat dengan Adrian. Mereka mulai jatuh cinta satu sama lain, bahkan kejadian menjijikan itu terjadi di sebuah dapur umum panti asuhan.

Kedua insan itu sedang memadu kasih, hingga terjadinya pergemulan diantara mereka.

"Mas, bagaimana kalau abi tahu?"

"Kamu kan menikmatinya, jadi ngapain kamu khawatir? tenang aku akan tanggung jawab, kalau kamu hamil."

Adrian tersenyum dalam hati, karena ia mampu membuat seorang hafiza cantik itu telah bersetubuh dengannya diwaktu sepertiga malam.

"Mana mungkin aku menikahi gadis kampungan sepertimu. Hah, ternyata kamu juga bisa memuaskanku!" pikir Adrian.

Seminggu setelah kejadian itu, Adrian menghilang dari pondok pesantren. Dan, dua minggu kejadiaan itu Mawar merasakan mual, serta telat datang bulan.

Tangisan Mawar melesat bak anak panah. Janji yang tinggal janji, ia merasa dirinya menjijikan, ia pun menolak khitbah dari Rumi.

Sore itu pukul 17.00.

Rumi datang ke tempat Kiai Abdullah untuk memenuhi permintaan beliau agar menikahi putrinya.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, nak Rumi."

Ustadzah Sri menyambut Rumi untuk mempersilahkan masuk. Di dalam ada Kiai Abdullah duduk di sofa ruang tamu.

Mereka pun duduk bersama, kecuali Mawar yang mengurung diri di kamar.

"War, ada mas Rumi di depan."

Panggilan dari mas Firman diabaikannya. Tak ada jawaban sama sekali.

***

Pov Mawar

Suasana hatiku terbilang sangat menyiksa apalagi sebuah garis biru sebagai tanda kebodohanku. Dia yang ku yakini ternyata berdusta dan meninggalkan sebuah jejak dalam rahimku.

Air mataku mengering, perasaanku juga tertekan. Khitbahan dari mas Rumi sudah tak berarti untukku, sungguh aku tak pantas untuknya.

Abi dan Umi belum tau atas kondisiku yang menyedihkan. Mereka akan menganggapku perempuan tak bermoral, bagaimana tidak aku menyerahkan diriku atas dasar cinta, tapi kini derita bagiku.

"War, ada mas Rumi di depan."

Panggilan dari mas Firman sengaja ku abaikan, karena aku benar-benar tidak siap dengan kondisiku mengandung benih dari mas Adrian.

Aku hanya duduk disudut ranjangku sambil meratapi sebuah kebodohanku atas penawaran cinta berujung perzinaan.

"Apa yang harus aku lakukan?" batinku menjerit, sedangkan janin dalam kandunganku tak berdosa hanya saja diriku dan mas Adrianlah yang berhak atas dosa.

Mataku mulai melingkar bak mata panda. Tangisku sudah tak bisa mengalir air mata.

Malam itu, masih ku ingat kejadian itu.

"War, kamu cinta tidak sama mas?"

Aku menyelipkan anak rambutku sambil tersenyum menatapnya, dan mengangguk menyetujuinya.

Mas Adrian memelukku, bahkan ia mencoba membuat rangsangan hingga aku terlena dalam sebuah perasaan atas dasar cinta. Malam itu, di dapur kami melakukannya. Bahkan, sebuah kenikmatan diantara kami.

Setelah selesai aktifitas ena-ena, dia mengecup ujung kepalaku.

"Thank's, sayang. Kamu memang perempuanku."

Setelah itu, kami sama-sama merapikan baju, dan keluar dapur bergantian, agar tidak ada yang mencurigai apa yang kami lakukan.

Mengingat semua itu, membuat air mata dalam hatiku berlinang, hatiku benar-benar menangis meratapi nasib bodohku.

Aku sadar, semua akan mengetahuinya, bahkan aku harus mempersiapkan diri untuk mendapatkan amarah dari umi dan abi.

Saat ini, aku belum berani mengatakan semuanya, karena umi baru saja keluar dari rumah sakit. Aku tak ingin umi kenapa-napa.

Berpikir untuk pergi dari rumah diam-diam. Aku ingin mengasingkan diri, hingga aku betul-betul siap menghadapi keluargaku. Terutama mas Firman yang selalu posesif terhadapku.

Mas Firman sangat menyayangiku, tapi aku sering saja membuatnya marah. Bahkan, pernah ia memperingatiku agar menjauhi hal yang dinamakan pacaran. Ternyata dia benar kalau kejadian ini membuat hidupku sungguh dalam ambang kehancuran.

***

Di ruang tamu, Sri menyuguhkan kopi hitam manis gula aren untuk Rumi. Sesekali Rumi menyeruputnya sambil bincang-bincang bersama Pak Kiai Abdullah.

"Bagaimana, nak Rumi?"

"Pak Kiai, saya setuju saja, tapi bagaimana dengan Mawar?"

"Mawar itu apa kata saya nak Rumi, bagaimana dia menolak nak Rumi?"

Rumi hanya bisa terdiam.

"Bi, Mawar menolak mas Rumi, karena Mawar nggak cinta sama mas Rumi."

"Mawar?"

Penolakan Mawar begitu menyayat hati Pak Kiai Abdullah, dan Rumi hanya bisa diam.

Suasana berubah menjadi tegang, semenjak beberapa menit penolakan Mawar.

"Huek..."

"Nduk, kamu kenapa?"

Mawar berlari tanpa jawaban, ia terlihat panik dan takut ketahuan. Ia merasa takut kalau ketahuan keluarganya.

Mas Firman mencekal lengan Mawar dan memojokkan ke sebuah tembok, ketakutan sungguh luar biasa, keringat dingin keluar. Perasaan merinding luar biasa.

Muka Mas Firman kalah itu merah, tatapan matanya menyayat pilu. Gelisah hati Mawar luar biasa.

"Dek, kenapa kamu menolak pinangan Rumi, bukannya kamu sepakat untuk menikah dengannya?"

Mawar hanya bisa terdiam kalah itu, bibirnya seakan terbungkam rapat-rapat. Air matanya menetes begitu saja, ia merasa gemetar setengah mati untuk berkata jujur. Ia merasa kehidupannya bak masuk rumah hantu.

"Maafkan aku, mas."

Air mata Mawar mengalir deras, ia tak bisa bersembunyi dalam rasa bersalah. Hatinya sudah tak bisa lagi bertahan.

"Aku hamil, mas?"

Tubuh Mas Firman meringsut seketika, ia ingin marah kepada adik kesayangannya.

"Siapa yang melakukannya?!"

"Jawab!"

Mas Firman mengoyak-goyak tubuh Mawar, ia seakan bungkam.

"Sekali lagi mas tanya, kamu hamil dengan siapa, dek?!"

"Hamil?!

"Umi?!"

Sri memegang bagian dadanya, terkejut mendengar putrinya hamil. Serangan jantung dadakan hingga membuatnya dilarikan di Rumah Sakit. Saat Mawar mendekat, mas Firman menepisnya.

"Pergi kamu!"

Pak Kiai Abdullah terkejut melihat sang istri jatuh pingsan.

"Abi, bagaimana dengan umi?"

"Ini semua salah kamu, dek!"

"Firman, apa yang terjadi?"

"Dia hamil, bi!"

Sebuah tamparan hebat mengenai pipi Mawar. Hanya bisa terisak tangis.

"Bi, maafin Mawar."

Pak Kiai Abdullah menepiskan dan menolak maaf dari putrinya. Rumi berusaha menolong istri Pak Kiai Abdullah.

Sri segera dilarikan ke Rumah Sakit, namun kenyataannya di tengah perjalanan hembusan napas terakhirnya.

Suasana duka dikediaman Pak Kiai Abdullah, sedangkan Mawar diusir oleh mas Firman dari kediaman keluarganya.

Rumi tak bisa menolong Mawar, karena perempuan itu menolak dan memilih pergi.

Sejak kejadian itu, Rumi tidak pernah lagi mendengar kabar Mawar. Kemudian sebuah tawaran beasiswa di Seoul, Korea Selatan, ia dapatkan. Lalu ia menerimanya.

*