Pov Khadijah
Hai rintik yang tiap detik mengalir dari langit...
Sebuah kerinduan dalam secerca rindu...
Sebuah kenangan akan dalam tetesan...
Ku mulai bercerita akan sesuatu...
Dimana hatiku telah dikepung oleh perasaanku...
Kamu terlalu indah tuk dilihat....
Kamu memang terindah dalam hidupku...
Namun, sayangnya hanya sebuah nama yang ku kenal...
Hujan terima kasih, karenamu dia berhenti di kamu....
Karena, kamulah yang terindah....
-Seoul, 02-02-2020-
Ku baringkan tubuhku di atas ranjang yang nyaman. Menatap langit-langit kamar, lalu ku pejamkan mataku. Ku lihat sebuah senyum melingkar diwajah kekasih idamanku.
Dia tersenyum bagaikan candu asmara, dulu ku namai Dear Adam, agar aku bisa menjadi seorang Hawa yang selalu setia dicintai Adam.
Kenyataannya aku adalah Khadijah, seorang perempuan yang selalu merapal namanya dalam setiap doa yang ku sembunyikan dalam sujudku.
Hatiku sudah ku gadaikan untuk Allah semata, maka aku akan mengizinkan Allah memilihkan cinta terbaik untukku. Aku hanya ingin cinta yang halal dan bersanding dengan kekasih halalku dalam restu Allah.
Cahaya suci mungkin akan menuntun dalam sebuah tujuan baik, tapi aku sadar diri kalau aku perempuan yang tak sempurna seperti Khadijah atau Aisyah. Semoga saja nama yang diberikan orang tuaku bisa menjadi doa untukku agar aku selalu istiqomah dalam berhijrah.
Ridwan? aku juga tak ingin memberikan harapan terhadap lelaki lain yang jelas tak pernah ada di hatiku, aku hanya ingin Adam yang selalu ku rindukan sebagai belahan jiwaku.
Salahkah aku mencintai dia? atau Allah akan memilihkan kekasih terbaiknya.
Kadang pesan ayah tiriku selalu aku ingat dalam detik ini.
"Sayang, kamu tahu pria mana yang pantas kau pilih?"
"Aku bingung ayah, karena pria itu menarik dari segi fisik. Aku suka sama kak Harlan. Dia ganteng, keren, populer terus kaya lagi, dan dia satu-satunya cowok paling cool di Sekolah. Dijah mau dia, tapi kak Harlan sukanya sama Meira, karena cantik seksi, Khadijah cuman pakaian tertutup gini. Apa Khadijah jadi Meira biar jadi populer?"
"Ya Allah, Nak. Apa kamu mau tubuh kamu dinikmati sama laki-laki terus dijamaah? Apa kamu nggak takut Allah membencimu? Apa kau lebih memikirkan dicintai manusia atau Allah?"
Aku hanya diam sejenak, tapi aku sangat keras kepala, saat SMU, aku mulai melepas hijabku, memakai pakaian ketat, rok pendek, dan memotong rambutku. Biar keren.
Ayah tiriku hanya diam melihat penampilanku, dia nggak banyak komentar sedangkan Hasan mulai posesif.
Ketika aku masih duduk di bangku SMA. Ingatanku masih saja tidak terlepas dari masa itu. Tepat pukul 1 siang hari jam jam pelajaran ku telah usai lalu aku segera berkemas-kemas untuk pulang yang sekolah.
Aku berusaha untuk menghubungi ayahku Tapi tetap saja tidak ada jawabannya. Sedangkan Hasan sedang ada kegiatan ekstrakurikuler basket. Sementara aku enggan untuk menunggu dia.
Aku hanya bisa menunggu di depan pintu gerbang sekolah sambil menghubungi ayah ataupun Ibuku untuk segera menyusulku ke sekolah.
Aku mendengarkan suara klakson sepeda motor, lalu aku pun menoleh.
"HARLAN?!" seruku sambil menatap laki-laki yang sedang duduk kursi kemudi mobilnya.
"Dijah, kamu pulang bareng aku aja" tawar Harlan dengan nada yang begitu lama sekali.
"Dijah!"
"Hasan?"
" Aku antar kamu aja deh daripada kamu bareng Harlan," ujar Hasan dengan sedikit posesif terhadapku.
Bagiku kesempatan tidak datang kedua kalinya untuk pulang bersama dengan seorang Don Juan di sekolah.
"Iya, Harlan aku bareng kamu, aku ingin hidup lebih menikmati masa SMU, daripada harus mononton," aku benar-benar tidak menggubris ke arah Hasan. Karena aku ingin sekali bisa dekat dengan Harlan yang merupakan sosok siswa populer di sekolahku.
Hasan tersenyum kecut, dan aku nekat naik motor bersama Harlan.
Harlan lalu mengajakku ke rumahnya.
"Loh, kok rumah kamu sepi begini?" Tanya kumenatap Harlan tapi aku tidak mencurigai apapun dan aku tetap berpikiran positif.
"Oh, ortuku sedang bisnis ke luar negeri."
"Lan, tapi...."
"Ya elah, ini Istanbul. Bebas."
"Heeem, "
"Harlan!"
Terlihat seorang perempuan cantik dan seksi memakai baju bikini. Bahkan, belahan dadanya terlihat nongol.
"Lan, jadi kan party malam ini?"
Perempuan itu bergelantungan di dada bidang Harlan, sedangkan aku hanya duduk di sofa.
"Oh, tumben anak cupu ini pakai baju kayak gini? apa dia otaknya sudah mulai waras?"
"Ya, dia lebih cantik dari pakaian yang kayak karung."
Kemudian gerombolan Harlan datang, dan aku hanya diam saja. Di sana ada Meira, cewek populer dan selalu ngehitz.
"Dijah, tumben lu ikut ke sini?"
"Heem, "
"Bagus lu ikut party daripada lu harus kayak Hasan kembaranmu yang cupu, padahal dia ganteng, tapi enggak banget dech."
Aku hanya senyum terhadap pernyataan Meira.
"Mei, aku punya minuman red wine, ini produksi yang langkah, bokap gue dapetin waktu di Italia. Sumpah lu kudu coba, Mei."
Gani mulai meracuni Meira dengan minuman red wine satu gelas sloki.
Meira mulai mencium aroma yang enak, lalu meneguknya.
"Wow, Gan. Kamu memang keren soal minuman, ini red wine kualitas terbaik yang pernah aku coba, sayangnya aku cuman bisa minum segelas, apa boleh satu botol jadi milik aku malam ini?"
"Boleh asalkan...." Gani membisikkan tipis-tipis ke telinga Meira malam itu, aku jadi kepo tingkat dewi.
"Dijah, kamu nggak mau coba?" Tanya Harlan.
"Nggak mau, ntar ayah marah, ini juga udah mulai malem, aku mau pulang," jawabku.
"Yaelah, masih jam sebelas kali, lu cupu banget, besokkan libur, sekali-kali lu nginep," sahut Meira.
"Nginep ajalah," ujar Harlan.
"Eh, iya kamu nginep, Dijah, nanti tidur bareng sama aku, tenang aja," ujar Meira.
"Sungguh, Mei?" aku mulai bertanya ulang kepada Meira dengan sangat polos sekali saat itu. Tanpa mencurigai satu sama lain.
"Ehem, kamu kan teman terbaikku sekarang, udahlah ortu kamu pasti pernah muda. Jadi ngapain kamu khawatir?"
Aku mulai meminum jus jeruk, tiba-tiba kepalaku berat, dan rasanya pengen pingsan, aku pun melihat semuanya jadi samar-samar, lalu gelap. Terus aku kehilangan kesadaran diri.
Sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara hantaman, ku masih belum bisa sadar, aku merasa tubuhku kedinginan.
"Dijah, sialan!"
Aku merasa ada yang menjamaah tubuhku, dan meraba-raba bagian pahaku, lalu berhenti.
Sebuah suara berat kemudian membangunkanku, terlihat ada seorang babak belur telah dihajar.
Tubuhku yang lemah berhasil digendong dengan seseorang yang tidak asing adalah Hasan kembaranku.
"Jangan dekatin Khadijah!"
Aku merasa sangat berat untuk membuka mataku, lalu aku tidak tahu apa yang terjadi.
Paginya aku mendapati diriku di atas ranjangku. Lalu, Hasan ada disampingku.
"San, apa yang terjadi?"
"Kamu itu bodoh apa bego sih?!"
"Hah?"
"Bagaimana kalau kamu itu dilecehkan oleh Harlan?! Lihat tubuhmu penuh dengan bekas noda merah!"
Aku pun memeluk Hasan dengan erat sambil menangis kuat-kuat, menyesal iya. Bisa ku katakan kalau aku terlalu bodoh tergoda akan dunia. Hasan langsung memelukku.
"Udah, tenanglah, Harlan hanya menciummu, dia belum membobol keperawanan kamu. Untung aku datang, dan mengawasi kamu, Dijah. Karena ikatan saudara kembar itu selalu kuat."
"San, aku takut kembali ke sekolah."
"Kamu nggak usah takut, kan ada aku."
Hasan adalah kembaranku yang setia, bahkan ikatan kami selalu kuat.
Setelah aku mengingat masa kelam ku itu hingga aku memutuskan untuk memakai hijab secara Istiqomah karena aku terlalu takut menghadapi masa-masa itu. Aku jadi yakin jika hijab ku akan melindungiku dari perbuatan lelaki yang tidak memiliki akhlak dan tidak bisa mengontrol nafsunya.
"Menuju istiqomah memang sulit, karena meraih cinta terindah dengan mencintaimu terlebih dahulu Ya Allah, karena kau lah pemilik hati makhlukmu. Jadi aku percayakan hatiku untukmu, bukan untuk yang lain."
Aku menghela napas cukup panjang, dan aku juga bahagia, karena ayahku juga bisa berkumpul kembali, tapi keadaan sudah tak seutuh dulu.
Aku dan Hasan tidak ingin egois, karena sebelumnya kita setuju ibuku sudah menikah kembali dengan paman Haqi, dan keputusan itu sudah dipikirkan matang-matang. Kenyataannya Allah berkata mempertemukan aku kembali dengan ayahku.
"Mungkin, suatu saat akan ada masa dimana kenyataan akan terungkap, semoga ayahku menerimanya."
Ku pejamkan kedua bola mataku, lalu ku tutup dengan sebuah doa. Semoga adalah harapan untuk esok, karena kita takkan tahu esok masih diberi kesempatan menatap dunia, atau tidak.
*