Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 14 - Cinta di atas Sajadah

Chapter 14 - Cinta di atas Sajadah

"Ku sembunyikan cintaku dalam sajadahku, dalam butiran tasbihku selipkan namamu. Ku terbangkan harapan semoga kita bertemu dalam sebuah akad yang kau ucapkan.

Entah, kapan...

Atau suatu saat nanti...

Biarlah Allah menunjukkan hati aku dan kamu hingga menjadi kekasih halal...

Semoga restunya mempertemukan aku dan kamu"

-Khadijah-

Aku mulai termenung menatap langit-langit kamarku. Aku duduk di atas sajadah panjang yang terbentang di lantai kamarku.

Ketika itu aku mulai membisikkan sebuah kata-kata lewat perasaanku yang terdalam untuk dia. Walaupun hanya sekedar memberikan sebuah isyarat berupa doa-doa yang ku terbangkan ke langit agar dia mendengarnya.

Menyembunyikan sebuah perasaan, itu sangat berat. Bahkan, hanya mampu mengatakannya lewat tasbih.

"Ku senandungkan namamu di atas sajadah cintaku, ku berharap kaulah Adam yang tersembunyi, entah di belahan bumi sebelah mana," aku mulai bersujud dalam sepertiga malamku. Memanjatkan setiap doa dan pintaku untuk dia. Walaupun banyak orang yang bilang mencintai dalam diam adalah hal yang sia-sia apalagi menyebutkan nama dari seseorang yang kita cintai. Tapi bagiku cara terindah adalah meminta agar Tuhan mendekatkan seseorang yang kita cintai lewat doa-doa yang selalu kita panjatkan.

Aku selalu berdoa agar Allah menunjukkan sebuah Jalan kebaikan tentang dia. Karena aku tidak ingin terburu-buru dalam perasaan ini. Cukup Allah bagiku yang memberikan petunjuk dan skenario yang terindah dalam kehidupanku.

Setelah aku usai melaksanakan salat tahajud beserta melantunkan ayat-ayat suci Kitab Alquran rasanya, aku merasakan hatiku sangat senang sekali. Kalau itu aku membaca Surat Al Hadid hingga tak sengaja aku terbayangkan senyuman dari seorang lelaki yang bernama Rumi. Dia membuatku mengalihkan duniaku. Senyumannya dan tutur katanya mampu membuat hati ini jatuh hati untuk pertama kalinya. Semua tentang dia ada dalam bayangan Ingatanku. Aku berharap jika dia akan menjadi lelaki yang berarti dalam kehidupanku.

"Ya Allah apakah aku pantas mengenalnya, dan apa aku pantas berharap dia menjadi kekasih halalku?" Aku mulai bertanya kepada Allah tentang dia yang membuat aku semakin penasaran dan terpanah asmara. Dia membuat detak jantungku berdebar-debar. Bahkan kedua mataku tidak pernah terlepas dari bayangannya. " Mungkinkah aku akan bisa membuat dia mengenalku? "

Dalam sujudku tersiar nama "Rumi". Pria yang selalu ku harapkan menjadi pasangannya.

Dear Allah,

Sejak aku mulai mendengarkan lantunannya, sungguh aku mulai jatuh cinta kepadanya. Ku tahu dia terlalu sempurna sebagai pria idamanku. Di dekatnya saja aku merasakan aroma surga dan sebuah kenyaman yang haqiqi. Senyumannya begitu menyejukkan hati. Bisa dibilang kalau dia bak Adam dari surga. Aku hanya ingin menjadi Hawa yang selalu dicintai Adam, aku juga tak ingin cintaku menodai imannya. Ya Allah pertemukan aku dengan dia lewat restumu yang selalu menuntun dalam surgamu. Sungguh aku menginginkan dia, bagiku mencintainya adalah bahagia untukku.

Teruntuk kamu "Dear Adam" dalam hatiku.

Suatu hal yang ku sukai dari Rumi adalah akhlaknya, beberapa kali aku menemui dia.

Keesokkan harinya....

Suara kicauan burung terdengar, ku buka mata ku pukul 07.00. Ku turun dari ranjang king size ku. Lalu, kaki ku menampak di lantai.

Ku berusaha berdiri, meskipun nyawaku masih belum terkumpul sempurna. Ku berjalan menuju kamar mandi.

Ku basuh muka di wastafel, lalu ku buka sabun cuci muka dan membilasnya.

Ku ambil sikat dan pasta gigi, lalu ku mengosok gigiku. Ku nyalakan kran pada bath up untuk berendam, namun sebelumnya aku tutup pintu kamar mandi rapat-rapat.

"Argh, mulas perutku" ku merasa perutku bermasalah.

Aku duduk di closet kamar mandi sambil menikmati sesuatu melegakan.

*

Di Kampus pukul 09.00, ku lihat masih sepi di kelas. Kebetulan aku cuman ikut satu mata kuliah, sebagai mata kuliah penutup di semester terakhir ini.

"Dijah, tumben kamu datang duluan?"

Fabian menatapku heran.

"Ya, lagi pengen aja, Fab. Daripada di rumah ketemu Ridwan. Huft, sumpah aku ingin kost saja bila perlu."

Fabian hanya terdiam.

"Kamu lagi baca apa, Dijah?"

"Ini lagi baca artikel aja tentang tips anti penuaan dini."

"Jangan bilang, kamu mau cobain sulam-sulaman?"

Fabian memincingkan matanya ke arahku.

"Kamu tahu nggak Bela?"

"Ya, mana ku tahu, Dijah. Kalau boleh aku bilang, mereka kebanyakan artis bukan cantik alami, yang ada permakan. Cantikan juga kamu, Dijah."

"Serius? aku cantik?"

"Iya, hatimu yang cantik, mangkannya kadang kamu nggak sadar waktu kecantikan dalam hatimu keluar."

"Makasih loh, Fab. Buat pujiaannya, tapi aku nggak punya recehan."

"Sialan banget kamu, Dijah."

Tawaku dan dia mulai lepas.

*

Kafe kampus pukul dua belas siang. Khadijah, Sera dan Fabian duduk di bangku cafe nomer tujuh. Mereka bertiga terlihat sangat gelisah sekali. Mereka bertiga sedang mengerjakan sebuah tesis.

Khadijah mulai mengeluarkan laptopnya dan beberapa buku untuk tesisnya.

"Ser, kamu mau pesen apa?"

"Pesen lemon tea aja sich aku, Fab."

"Kamu, Dijah?"

"Kopi latte panas."

"Okay, aku pesenin buat kalian sekarang."

Fabian menuju ke meja pemesanan.

"Eh, Dijah. Setelah ini kamu bakalan ke mana? tetep di Seoul atau?"

"Kayaknya aku mau balik ke Surabaya, bosen juga udah kelamaan tinggal di negeri oppa-oppa Korea."

"Eh, kabar ayah kamu gimana, setelah sekian lama?"

Khadijah berhenti mengetik.

"Ya, baik. Cuman kalau inget sama ibuku, suka kesakitan. Dan, aku khawatir, bagaimana kalau ayahku tahu ibu udah menikah lagi dengan paman Haqi?"

"Rumit banget keluargamu?"

"Ya, maka dari itu aku sama Hasan tetap merahasiakan sampai waktunya tiba."

"Heh, kalian ngomongin kegantenganku?"

"Haisss, kegantengan dari Hongkong?"

"Hai, Fab!" sapa seorang perempuan cantik bak aktris Korea.

"Hai, Kiena. Mau gabung ke sini kamu?"

"Emang boleh?"

"Boleh, cantik. Apa sich yang nggak boleh buat Kiena?" timpal Sera sambil basa-basi. "Sebenarnya, aku pengen muntah melihat sikap sok ganteng Fabian. Tapi, aku cemburu saat dia mulai merayu perempuan lain. Sebenernya, aku ngerasa ada, tapi tak terlihat! ih ngeselin, apalagi lihat perempuan itu yang mulai bermanja-manja dengan Fabian. Okey, Fix aku memang cemburu, tapi dia nggak bakalan peka."

Sera mulai merengut dan membatin dalam hati, sedangkan Khadijah menikmati secangkir kopi latte yang baru disajikan oleh pelayan cafe kampus.

"Kopi latte panas memang terbaik diantara kopi yang lain, dengan double shoot expressso. Oh, sungguh rasanya pekat dengan perpaduan susu yang yummy, bahkan dengan art hati."

Khadijah hanya menikmati secangkir kopi latte.

"Dijah, ayo kita pergi."

Sera mulai merengek tak kuat menatap dua pasang manusia yang sedang memadu kasih.

"Kamu cemburu?" bisik Khadijah.

"Nggak! siapa yang cemburu!" bantah Sera.

"Eh, siapa yang cemburu?" cetus Fabian.

"Tikus!" ketus Sera.

Khadijah sudah tahu kalau Sera sudah menyukai Fabian dari dulu, namun ia tidak pernah cerita kepada Khadijah. Sudah Khadijah hafal gerak-gerik mencurigakan yang dilakukan Sera.

*

"Ih, nyebelin nyebelin banget kamu, Fab. Kenapa nggak pernah sekalipun kamu peka sama aku?"

"Kamu bahkan tak pernah sekalipun mencari tahu tentangku, bisakah kau mengerti, hatiku masih mencintaimu."

Aku menatap dalam tatapan nanar, seketika dalam sebuah hati yang hanya dia yang terpilih.

Perempuan ini memang cantik secara fisik, sedangkan aku hanya perempuan biasa.

Kiena Anatasha Lee, dia anak seorang pengusaha pertelevisian di Seoul. Ia termasuk mahasiswi yang populer, tapi dia masih anak semester 3.

"Ser?"

"Dijah, ayo kita balik, di sini kok panas yaa."

"Panas karena ada api cemburu" cetus Suho.

"Ish, Suho. Kamu bilang aku cemburu?"

"Lihat muka kamu itu kelihatan banget, cemburumu itu."

"I'm not jeaulous!" bentakku.

Fabian terlihat seperti manusia tidak berdosa, bahkan saling menatap satu sama lain, sesekali ia membelai rambut Kiana. Seakan hatiku berkecamuk dalam api cemburu.

Suho menarikku, lalu aku pun berusaha melepaskan pengangan tangannya, lalu dia mencuri bibirku.

Semua mata menyaksikannya, ciuman itu berlangsung dalam sepuluh detik, sedangkan Fabian menatap aku dan Suho yang sedang berciuman.

"Mulai sekarang kau kekasihku, Ser."

Aku hanya melongo tanpa berkata iya atau tidak, lalu ia pun meresmikannya sendiri tanpa persetujuanku.

"SUHO!" teriakku kencang, lalu dia menciumku kembali tak membiarkanku mengomel.

Fabian pun beranjak dari tempat duduknya.

"Selamat ya, Ser. Akhirnya, ada juga laki-laki yang suka dengan kamu."

Seakan ucapan selamat yang keluar dari mulut Fabian membuatku meringsut. Seharusnya, ya kata-kata seharusnya aku lebih bahagia, jika kau lah yang bersamaku bukan lelaki lain.

Khadijah mulai tersenyum,"Selamat, ya."

"Suho, kenapa kamu melakukannya di saat ada dia?! bagaimana kalau dia malah menjauh? bagaimana dengan cintaku?" gumamku dalam batin. Rasanya begitu kesal sekali melihat kelakuan Suho yang bikin jijik.

*