Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 9 - Rumah Sakit Elisabeth

Chapter 9 - Rumah Sakit Elisabeth

Pukul 10 pagi Hasan dan Khadijah telah tiba di RS. Elisabeth. Mereka datang mencari daddynya. Mereka langsung bertanya menuju resepsionis rumah sakit.

Seorang resepsionis memberi tau nomer kamar pasien atas nama Ayass. Mereka langsung berlari menuju kamar yang diinformasikan resepsionis.

Hasan merasakan kerinduan yang begitu meledak-ledak, begitu juga dengan Khadijah. Mereka pun tidak sabar untuk bertemu ayah kandungnya.

Sebuah kamar no 5 VIP, mereka buka perlahan-lahan. Mereka pun merasa deg-degkan sampai akhirnya pintu terbuka lebar.

Terlihat seorang pria tergeletak di ranjang kamar rawat inap, namun wajahnya berbeda dari ayahnya, perasaan kecewa bercampur aduk.

"San, itu bukan daddy kita, kayaknya resepsionis di depan salah ngasih info kamar."

Suara deheman mengagetkan kami, seorang dokter cantik dengan rambut bob. Dia seumuran dengan bunda kami.

"Kalian nggak salah ruangan, kalian adalah putra putri tuan Ayass, bukan?"

Mereka mengangguk mengiyakan dalam sebuah jawaban. Ia melihat kalau yang disana bukan daddynya, karena sudah pasti wajahnya sangat berbeda.

"Saya akan jelaskan kepada kalian kenapa daddy kalian berubah total, karena wajahnya kapan hari rusak parah."

Mereka hanya diam.

"Jadi kami berinisiatif untuk tindakan oplas, dan rekan saya pun memberikan foto mendiang kakaknya."

"Jadi, daddy sekarang memiliki wajah asing?"

"Iya, daddy kalian sedang mengalami amnesia. Dan, untuk ingatannya, kita tidak tau kapan kembalinya, hanyalah mukjizat yang mampu mengembalikan ingatan daddy kalian."

Hasan dan Khadijah, merasa senang, tapi juga merasa sedih. Mereka merasa ini suatu cobaan, dan bagaimana kalau ingatan kembali daddynya menanyakan bundanya.

"Kalian masuk saja, temui ayah kalian. Mungkin saja kedatangan kalian mempercepat proses pemulihan."

Mereka tersenyum dan berharap begitu, mereka juga berharap kalau bisa kembali lagi bersama dalam satu keluarga utuh.

Langkah kaki mereka perlahan-lahan memasuki ruangan kamar. Mereka pun merasa kalau sangat rindu sekali dengan daddynya.

Sesampai di dekat ranjang daddynya mereka pun tidak sabar untuk memeluk daddynya.

"Tuan, putra-putri anda sudah datang" bisik dokter cantik itu.

Ayass mulai perlahan-lahan membuka matanya, ia melihat satu lelaki muda dan satu gadis muda.

"Apa dia putra putriku?"

Mereka hanya mengangguk dan langsung memeluk daddynya. Bahkan, terngiang lagu virsha tentang rindu.

Mereka saling berpelukan satu sama lain, bahkan kerinduan mendalam sangat mengebu.

"Daddy, ayo kita pulang."

Khadijah meminta Ayass untuk ikut bersamanya, disisi lain Ayass mencari sosok yang lain.

"Daddy, pasti mencari bunda?"

Ayass hanya diam, memang benar ia sedang mencari sosok perempuan dalam angannya, siapa lagi kalau bukan Rania Medina.

"Bunda, tidak bisa datang karena sedang sibuk."

Kekecewaan tidak bisa bertemu perempuan yang sangat ia cintai, meskipun seluruh ingatan hilang, tapi tidak untuk bayangan perempuan pemilik nama Rania Medina.

"Saya tinggal dulu, karena saya masih ada pasien."

"Baik, dok" ucap Hasan.

***

POV AYASS

Ku melihat seberkas cahaya terindahku, meskipun aku belum mengingat jelas tentang mereka, tapi ini adalah sebuah titik awal usahaku untuk mengembalikan ingatanku.

Hatiku berdegup sangat kencang, perasaanku terasa hangat. Mereka adalah buah hatiku. Dan, aku bisa merasakan kedekatan dengan mereka.

Darah lebih kental dalam sebuah hubungan batin antara anak dan ayahnya. Ku bahagia melihat mereka kembali, namun ada yang kurang. Mungkin, aku merindukan Rania Medina, istriku.

Rindu tak bersua, tapi selalu ku rapal namanya, hingga dia lah yang tak pernah membuatku amnesia. Oh, perempuanku, semoga kita bertemu kembali dalam keluarga utuh.

***

Pov Khadijah

Bagaimana bisa aku menjelaskan kepada daddy tentang sebuah kenyataan pahit sepahit dan sepekat esspreso double shoot.

Kisah bunda dan daddy memang telah berlalu, tapi bagaimana kalau semuanya ternyata belum juga usai.

Ku menatap daddy dalam harapan ingin bertemu bunda, tapi aku tidak yakin, jika daddy harus menelan paksa kenyataan pahit itu.

Aku dan Hasan saling menatap satu sama lain, saling melempar sebuah tanya.

"Kalian kenapa?"

Kami hanya tersenyum, meskipun harus menukar sebuah kabar pahit dengan senyuman palsu.

"Padahal daddy kangen sama bunda kamu" terlihat daddy menghela napas panjang, aku tahu bagaimana rasanya. Ikatan darah lebih kuat daripada ikatan yang lain.

"San, kamu kenapa kelihatannya gugup banget, apa selama daddy tidak ada, sesuatu besar terjadi di keluarga kita?" Daddy mulai curiga terhadap kami berdua.

"Dad, nggak ada sesuatu yang terjadi, kami hanya saja bahagia, kenyataan itu berpihak kepada kita. Dan, ternyata firasatku juga benar kalau daddy itu masih hidup, meskipun dalam wajah lain" timpalku.

"Bisakah, kamu hubungin bundamu?"

Permintaan macam apa? aku harus bagaimana? dilema iya. Aku dan Hasan saling menatap satu sama lain. Mungkinkah, kenyataan itu akan menghancurkan perasaan daddy.

"Dad, Bunda itu susah dihubungi, karena sibuk sekali."

"Iya, dad. Hasan juga sudah coba hubungin bunda dari kemarin."

"Baiklah, daddy cuman kangen sama bundamu."

"Dad, bunda pasti juga kangen dengan daddy, percayalah kalau bunda itu sayang sama daddy" ku coba berdusta kepada daddy, meskipun sangat berat, namun aku tak ingin kesehatan daddy terganggu. Berbohong demi sebuah kebaikan, islam pun mengajarkannya.

***

Pov Hasan

Aku terjebak dan dilema akan sebuah kebohongan atau sebuah kejujuran. Tapi, disisi lain kami berdua sepakat untuk menyembunyikan kenyataan itu.

Kami juga ingin menjadi keluarga itu, tapi kondisi sudah berbanding terbalik, Allah sudah memberikan skenario terbaiknya, meskipun membuat menjadi rumit.

Ujian kesabaran terus datang dalam keluarga kami, kabar baik sekaligus kabar terburuk.

Kami pun terpaksa berbohong kepada daddy, karena belum waktunya semuanya itu terungkap. Kami tahu kalau daddy masih dalam masa pemulihan, tapi kami akan segera membawa daddy tinggal bersama kami.

Kerinduan akan daddy kini terobati, dan kami merasa bahagia, karena ternyata jenazah itu bukanlah daddy, tapi entah milik siapa.

Kembalinya daddy membuat hidupku dan Khadijah lebih bahagia.

***

Pov Ayass

Ku menatap curiga kedua anakku, sepertinya menyimpan rahasia besar, dan aku berusaha mendesak mereka, tetap saja mereka bungkam seketika.

Kecurigaanku tentang Rania Medina, ibu dari anak-anakku, bahkan mereka pun tidak ada usaha menghubunginya.

Ku mencoba menepiskan pikiran - pikiran negatif itu, karena aku hanya berharap bisa bersatu dalam ikatan keluarga.

Tiba-tiba sebuah ingatan masa lalu ku muncul, aku menginggat samar-samar tentang dia. Dan, aku mengingat dua wajah yang ku panggil Rania, tapi Rania Medina dalam wajah yang mana?

Kram di kepalaku terasa begitu pecah hingga semuanya kembali gelap. Ingatan yang membuatku terasa asing.

***

Pov Author

Di ruang rawat inap, terjadi kepanikan, kondisi Ayass terlihat drop. Bahkan, Khadijah pun menangis dalam pelukan Hasan. Ia takut kalau terjadi sesuatu terhadap daddynya.

"Kalian berdua tunggu di luar dulu" ucap dokter Franda.

"Nggak mau, dok. Dijah mau temenin daddy."

Hasan menarik paksa Khadijah dari ruang rawat daddynya. Ia mengajak Khadijah ke Musholah dan mengambil air wudhu bersama agar tenang.

"Dijah, menangis tidak akan mengubah sesuatu, hanyalah doa kepada Allah yang insyaallah membantu untuk kesembuhan daddy" tutur Hasan.

Khadijah yang masih terisak tangis sambil berwudhu. Ia pun berharap daddynya akan baik-baik saja.

Setelah, berwudhu mereka mengambil AL-Qur'an, mereka membaca surah Yassin untuk kesembuhan daddynya, lalu bersholawat nabi, dilanjutkan berdzikir. Mereka berharap akan datang suatu keajaiban, ketika Allah mendengarkan doannya yang tulus dalam hati.

"Setidaknya, aku memeluk doa untuk kesembuhan daddy" batin Khadijah.

"Hanya doa penyelamat dan harapan bagi manusia" batin Hasan.

*