Ceklek
"Haidar."
Haidar yang lagi sibuk nelponin Raden noleh saat pintu kamarnya dibuka dan memperlihatkan bundanya.
Cowok itu terkejut, "Ada apa, Bun."
Agnes tersenyum lalu mendelati Haidar, "Mas Rendy lagi bongkar oleh-oleh, katanya kamu nitip gantungan kunci menara Eiffel. Kayaknya Mas Rendy bawa oleh-oleh banyak tuh." Ucapnya.
Jauh hari sebelum sepupunya itu bilang mau pulang ke Indonesia, Haidar emang udah mewanti-wanti Rendy supaya beliin dia gantungan kunci seperti yang dibilang sama bundanya tadi.
Maklumlah, kan Rendy baru aja pulang dari Paris jadinya Haidar minta oleh-oleh gantungan kunci menara Eiffel dan beberapa miniatur lain yang berbau Paris.
Kalau gantungan kunci Monas sih Haidar nggak usah minta sama Rendy, dia udah punya waktu dulu study tour ke TMII waktu SD dan sampai sekarang juga masih dia simpen tuh.
"Nanti aja deh, Bun. Haidar lagi ada urusan penting sama Raden."
"Urusan apa sih sampai mukanya keliatan kesel gitu, kamu ada masalah sama Raden?."
Haidar menggeleng, "Enggak kok, Bun. Cuma masalah kecil aja." jawab cowok itu sembari tersenyum.
Agnes ngebawa Haidar buat natap kedua matanya lalu ditatap anak lelakinya itu dengan seksama, "Hey, bunda ini bunda kamu loh, Dar. Bunda tau kalau kamu lagi nyembunyiin sesuatu dari bunda." Ditepuk pundak Haidar dua kali, "Bilang sama bunda, apa yang lagi kamu pikirin siapa tau bunda bisa bantu."
Haidar nyenderin kepalanya pada lengan sang bunda, "Haidar bingung, Bun."
Mendengar suara anaknya yang bergetar itu Agnes tersentak, "Ada apa sayang?." tanyanya lembut.
"Raina, Bun."
"Ada apa sama Raina?."
"Raina pulang bareng Gamma."
"Terus urusannya apa sama Raden?."
Haidar udah nggak lagi nyenderin kepalanya pada lengan sang bunda, cowok itu kini menatap bundanya, "Hari ini tadi Raina pulang bareng Gamma nah salahnya Raden tuh disini."
Haidar ngebuat pola abstrak di kasur, "Raden ngebiarin Raina pulang bareng Gamma gitu aja, padahal dia yang dapet amanat dari bunda Iren buat nganter pulang Raina. Ya bukan bunda Iren sih yang ngasih amanat itu melainkan Raden sendiri yang mengajukan diri, tapi itu sama aja amanat kan, Bun."
Agnes selaku pendengar hanya bisa menyimak perkataan anak lelakinya itu.
"Dan ini adalah kali pertama Raina pulang telat karna dia pulang bareng Gamma, Bun. Aku salah karna udah kenalin Raina sama Gamma."
"Kok kamu ngerasa bersalah, emangnya Gamma kenapa? Bunda lihat Gamma anak baik-baik kok. Dia nggak mungkin macam-macam sama Raina, apa lagi dia tau Raina temen kecil kamu."
"Gamma emang anak baik-baik, Bun. Tapi aku merasa bersalah aja."
Agnes tersenyum mendengar perkataan Haidar, "Tapi sekarang Rainanya udah pulang belum?." Haidar mengangguk, "Tuhkan, Rainanya aja udah pulang. Itu artinya Gamma nggak bawa lari calon mantu bunda. Udah kamu nggak perlu merasa bersalah gitu ah, anak bunda ini nggak salah."
"Tetep aja aku takut bunda Iren marah dan nggak ngijinin aku buat deket lagi sama Raina, Bun."
"Kok kamu bilangnya gitu, bundanya Raina nggak mungkin kayak gitu. Asal Rainanya nggak kenapa-kenapa dia pasti nggak akan marah sama kamu. Misalnya Raina kenapa-kenapa juga bundanya Raina langsung marahin Gamma dia nggak mungkin marahin kamu."
"Tapi kan Gamma temen aku, Bun."
Agnes menangkup wajah anak lelakinya, "Hey, yang penting kan sekarang Rainanya baik-baik aja." Haidar mengangguk setuju, "Jadi apa yang kamu takutin?."
Agnes tersenyum lalu mengusap puncak kepala Haidar, "Udah sekarang kamu selesaiin dulu masalah kamu sama Raden, abis itu nyusul bunda ke ruang tamu. Mas Rendy lagi bagi oleh-oleh tuh." Agnes berdiri tapi bagian bawah bajunya ditarik sana Haidar, "Kenapa?."
"Bilangin sama mas Rendy, suruh sisihin titipan aku ya, Bun. Bilang sama dia jangan dikasihin ke siapa-siapa."
"Iya. Makanya cepet selesaiin urusan kamu terus nyusul biar kebagian oleh-oleh."
Haidar mengangguk lalu merebahkan tubuhnya dikasur saat melihat bundanya udah keluar dari kamarnya.
Cowok itu ngeraih hpnya yang dia taruh dinakas, "Mck, ini si Raden kemana sih. Dari tadi telpon sama chat gue nggak digubris sama sekali. Apa jangan-jangan dia mau menghindar karna nggak mau gue omelin masalah Raina yang pulang bareng Gamma?." pikir Haidar.
>
"Bismillahirohmanirohim, Ya Allah ampunilah dosa-dosa hamba karena hamba akan membunuh satu makhluk ciptaanmu yang tidak berdosa namun merugikan hamba ini, Ya Allah. Aamiin."
PLAK
Raden nepuk pipinya yang baru aja digigit sama nyamuk, "Aduh... Ngadi-ngadi nih nyamuk. Tau aja gue ganteng, pakai nyium segala lagi." Cowok itu ngebuang bangkai nyamuk itu dengan perasaan kesal, "Gue masih suci tauk, main nyosor aja."
"Gara-gara si Gamma nih gue sampai rela ngumpet disini dan digigitin nyamuk karna nungguin dia."
Ternyata setelah pamit sama Gamma dan Raina untuk pulang tadi cowok itu nggak bener-bener balik ke rumahnya, melainkan sembunyi dan mengawasi gerak-gerik Gamma dari rumah kosong yang ada dideket rumahnya Raina.
Sepertinya rumah ini nggak kosong tapi dari tadi Raden ngumpet disana nggak ada suara apapun dari dalem rumah, mungkin rumah ini kosong. Pikir Raden.
Tuhkan! Bulu kuduk Raden berdiri waktu ngeliat rumah yang dari tadi dipakainya buat ngumpet itu, "Ya Allah lindungilah Raden. Raden hanya ingin menunggu Gamma disini tanpa berniat jahat apapun." rapal cowok itu dalam hati.
Triing Triiing.
"Ahh ini pasti si Haidar lagi deh, sebel gue dari tadi tuh anak ngomel mulu perasaan! Nggak tau apa gue ada dimana, nyawa gue terombang-ambing antara hidup dan mati."
Dengan perasaan jengkel Raden menerima panggilan itu tanpa melihat siapa yang sudah menghubunginya, karna dia udah tau kalau yang nelpon dia itu Haidar.
"Ngapain lagi sih, Dar! Nggak sabaran banget jadi orang. Kalau mau ngomel ntar aja kenapa sih, gue lagi nungguin Gamma pulang dari rumahnya Raina-."
"Assalamu'alaikum." Orang yang menelpon Raden itu mengucap salam memotong perkataan Raden sebelumnya.
Kening Raden mengernyit saat mendengar siapa yang ngucapin salam ke dia itu, ini bukan suara Haidar.
Dengan cepat Raden mengecek layar ponselnya bersamaan dengan itu kedua bola matanya membulat sempurna ketika melihat nama Zayyan disana.
Cowok itu kembali menempelkan hpnya ke telinga, "Wa'alaikumsalam, Zayyan. Maaf nih tadi gue kira yang nelpon Haidar."
Raden dapat mendengar dengan jelas kalau diseberang sana Zayyan lagi ketawa, menertawai dirinya yang kelewat bodoh itu mungkin. Pikir Raden.
"Jadi elo beneran masih dirumah kosong itu, Mas?."
"Hah? R-rumah kosong?."
"Iya, rumah yang tadi elo pakek buat ngumpet itu rumah kosong dan satu keluarga dirumah itu meninggal karena kecelakaan maut yang terjadi beberapa tahun lalu." Jelas Zayyan.
Bagaimana bisa Zayyan tahu kalau Raden ngumpet di rumah kosong?
Bisalah, orang tadi Zayyan ngobrol dulu sama Raden yang lagi mata-matain Gamma sebelum pulang ke rumahnya dan ketemu sama cowok asing waktu dia mau belok ke rumahnya.
Wajah Raden langsung berubah pucat pasi waktu mendengar penjelasan Zayyan, "Elo kenapa nggak bilang dari tadi Zayyan."
Cowok itu memejamkan kepalanya seraya membaca ayat kursi dalam hatinya.