Tidak ingin berbohong, hati Zara memang sakit ketika mendengar ucapan Bara. Tapi disisi lain, menurutnya Bara tidak salah, karena dia memang tak mengetahui.
Duduk diujung kursi paling belakang angkutan kota dengan memandang banyak kendaraan lain yang berada dibelakangnya, sedikit lebih bisa mengalihkan perasaannya yang tadi sempat tercampur aduk. Dikepalanya, dia berencana untuk menanyakan pada sang ibu tentang keberadaan sang ayah. Seharusnya, usianya sudah cukup untuk mengetahui cerita dibalik perceraian kedua orang tuanya itu yang selalu disimpan selama sembilan tahun ini.
Apa Mama ingin menceritakannya, jika aku bertanya?—batin Zara dengan lamunannya.
Perasaannya kembali tercampur aduk, ketika mobil yang berada dibelakang angkutan kota ini memperlihatkan seorang ayah dengan anaknya yang masih kecil. Sebenarnya tidak ada interaksi apapun dari dalam mobil itu, tapi dengan jelas Zara melihat tatapan ayah pada anaknya itu sangat dalam. Munafik jika Zara berkata tidak iri. Justru sangat iri.
Selang beberapa menit didalam angkutan kota ditemani dengan jalan pemikirannya sendiri, akhirnya Zara sampai didepan rumahnya. Biasanya dia akan menyempatkan diri sebentar untuk mengunjungi toko kue sang ibu, tapi sore ini dia langsung memasuki pelataran rumahnya. Sepertinya hari ini dia juga tak akan membantu di toko kue sang ibu.
"Assalamualaikum," Zara mengucapkan salam dengan suara yang amat lirih.
Menaruh asal tasnya, dan berjalan menuju kamarnya untuk mengambil pakaian ganti yang akan dibawanya menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi pun Zara hanya akan berada didalam kamarnya. Entah untuk apa, tapi dia hanya ingin merasa sendiri saja. Mungkin akan mengenakan perkejaan rumahnya yang seharusnya dikumpulkan minggu depan.
Tak lama sejak dia keluar dari kamar mandi, mendadak dia hampir dikejutkan dengan presensi ibunya yang sudah berada didepan kamarnya. Bukan maksud untuk mengejutkan sang putri, tapi memang kamar Zara ini dekat bersebelahan dengan jalan satu-satunya menuju ruang tamu. Toh, ibunya baru saja pulang dari tokonya guna memeriksa sang putri.
"Tumben tidak ke toko?" tanya sang ibu.
Masih dengan membawa handuk untuk mengeringkan rambutnya, langkah kaki Zara terarah pada meja makan, diikuti oleh sang ibu. Tatapan Zara itu sudah sangat kentara sekali jika mengartikan jika ada hati yang sedang tidak baik-baik saja. "Ada yang ingin Zara tanyakan pada Mama," ucapnya dengan suara lirih.
"Ada apa, Zara?" tanya sang ibu lagi.
"Zara ingin tahu penyebab perceraiannya Mama dan Papa,"
Yang tadinya sebuah senyuman berada diwajah sang ibu, kini senyuman itu luntur. Kedua maniknya menatap lekat putrinya, dan ibunya juga tak bisa berkata-kata saat ini. Baru disadari jika putrinya sudah mulai beranjak dewasa, dan pertanyaan itupun akhirnya datang menghampirinya.
Jika sang ibu bisa berkata jujur pada Zara, sebenarnya menjelaskan hal ini adalah yang tersulit. Iya, karena memang sang ibu tak pernah menyiapkan jawaban apapun ketika pertanyaan itu akan ditanyakan oleh putrinya. Tapi, waktu sudah tidak memberikan toleransi lagi, dan memaksanya harus menjawab dengan jawaban jujur.
"Tapi, Mama mohon untuk kamu tidak membenci Papamu," pinta sang ibu terlebih dahlu, dan dibalas anggukan kecil oleh Zara. "Alasan dibalik perceraian Papa dan Mama adalah karena Papamu memilih wanita lain dibelakang Mama," jelas sang ibu.
-
-
-
"Apa kabar dengannya sekarang? Apa dia hidup dengan lebih bahagia bersama keluarga barunya? Atau justru menyesal meninggalkan wanita sebaik Mama?" tanyanya pada diri sendiri.
Jangan tanyakan bagaimana perasaan Zara saat ini. Hanya bisa terduduk didepan meja belajarnya dengan buku yang terbuka. Astaga, mendadak Zara ini hampir terlihat murid yang rajin. Sebenarnya tujuannya ingin menghilangkan tentang penjelasan sang ibu, tapi ternyata cukup sulit.
"Aku harap, aku tak pernah bertemu dengannya," pungkasnya.
Menutup kembali semua bukunya dan berjalan menuju ranjang guna merebahkan diri. Baru ingat, besok adalah hari libur. Sepertinya akan Zara gunakan untuk menghabiskan diri di rumah saja, dia sedang tidak memiliki rencana untuk keluar rumah atau bahkan ingin keluar rumah.
Lagipula bersantai di rumah juga lebih menyenangkan, untuk saat ini.
Tak ada yang sedang Zara lakukan, sampai tak lama kedua kelopak matanya tertutup seketika. Sepertinya memang Zara lelah. Lelah secara fisik dan juga hati. Sampai menjelang pagi pun, Zara baru menyadari jika dia tertidur dengan posisi yang tidak benar. Dengan kaki yang masih menggantung, dan membuat kakinya terasa sulit untuk digerakkan saking kramnya. Belum lama membuka matanya, Zara sudah berteriak memanggil sang ibu.
"Mamaa..." panggil Zara dengan rengekan. "Kaki Zara tidak bisa digerakkan," rengeknya lagi.
Dua tangannya mengambang diatas kedua kakinya. Ingin sekali memijat kakinya, yang dia pikir akan menghilangkan kramnya. Tidak tahu apakah itu cara yang benar atau tidak, Zara hanya ingin rasa kramnya hilang.
"Ada apa, Zara?!" tanya sang ibu dengan sangat panik.
"Kaki Zara kram," adunya masih dengan rengekan.
Sang ibu menghela nafasnya panjang, sembari kedua tangannya berniat membantu Zara untuk berdiri, sayangnya putrinya itu kembali berkata jika dia tak bisa berdiri. "Mama sudah sering mengingatkanmu untuk berolahraga, 'kan? Kenapa tidak dilakukan?" tanya sang ibu yang berjalan keluar.
"Lagipula, aku keram seperti ini 'kan juga tidak setiap hari," bicaranya sendiri.
Dari kejauhan, Zara mendengar suara gemericik air dari luar kamarnya. Rupanya, sang ibu masuk dengan membawa wadah berisikan air hangat. Sang ibu menaruh wadah itu dibawah lantai, dia segera mencelupkan handuk kedalamnya, dan menaruhnya diatas kaki Zara.
"Mama dapat air panas darimana? Kenapa cepat sekali?" tanya Zara yang bingung karena ibunya mendapat air panas. Secara, jika merebus itu pasti membutuhkan waktu yang lama.
"Dispenser,"
Sontak saja Zara dibuat terdiam. Tidak tahu bagaimana ingin menanggapi sang ibu. Yang terpenting keramnya sudah mulai mereda.
"Hari ini libur, 'kan? Mumpung masih pagi juga, sana pergi joging. Jangan hanya bermain ponsel saja," ucap sang ibu yang masih mengompres kedua kaki anaknya.
"Tidak mau," tolaknya dengan cepat. "Lagipula diluar sebentar lagi akan hujan. Nanti jika Zara tidak bisa pulang bagaimana?" Zara justru malah bertanya balik pada sang ibu.
"Memangnya tidak ada tempat untuk berteduh? Keluar dari gerbang rumah ini saja, sudah terlihat dengan jelas ada banyak tempat yang bisa dijadikan tempat berteduh. Contohnya, toko Bu Ami, pos ronda, halaman rumah Pak Slamet itu juga luas dan beratap. Kamu bisa meminta izin sebentar untuk berteduh," tutur ibunya panjang lebar.
Rasanya lelah sekali berdebat dengan sang ibu, sudah pasti Zara akan kalah. Apalagi jika ibunya menggunakan kata "kualat", membuat Zara semakin tidak bisa untuk membantah ucapan sang ibu. Semoga saja pagi ini ibunya tidak menggunakan kata itu.
"Iya, Zara akan joging," Zara memberi jeda ucapannya sembari mencoba untuk berdiri. "Tapi, setelah niat Zara sudah terkumpul penuh," lanjutnya.