"Kau tinggal berdua dengan ibumu?" tanya Sadam.
Kedua remaja itu tengah berada didepan toko kue ibunda Zara. Sebagai jawaban untuk pertanyaan Sadam, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia tahu, pasti akan banyak temannya yang penasaran dengan kehidupannya. Sangat kentara sekali, tak ada foto dan sosok laki-laki dikehidupan Zara dan sang ibu. Atau mungkin memang sudah tak dibutuhkan lagi oleh keduanya.
"Kemana ayahmu?" tanya Sadam lagi.
"Sudah kutebak kau pasti akan menanyakan hal itu," Zara menjeda ucapannya, "Aku tak ingin membahas itu pada orang yang tak aku kenal," ucapnya guna menjawab rasa penasaran Sadam.
"Maaf,"
Zara hanya memberi gerakan yang menandakan tak masalah. Selama Sadam tak menanyakannya lebih jauh lagi, bukan sesuatu yang perlu dibesarkan. Sejujurnya, Zara tak terlalu suka jika seseorang membahas ayahnya, apalagi setelah mendengar cerita dari ibunya. Rasa benci yang seharusnya tidak terjadi, justru tertanam dalam dirinya.
Ini adalah sebuah takdir yang harus dia jalani bersama ibunya. Hidup tanpa seorang kepala keluarga, yang membuat keadaan memaksa ibunya menggantikan kedudukan itu. Bohong jika Zara berkata tidak kasihan pada sang ibu yang harus bekerja dan mengurusnya seorang diri. Tapi, rasa ingin memiliki seorang ayah, juga sudah tak pernah Zara idamkan lagi. Ia takut jika ibunya akan merasakan sakit hati untuk yang kedua kalinya.
Karena terlalu tenggelam dalam pemikirannya, Zara akhirnya tersadar ketika Sadam menepuk salah satu pundaknya. Laki-laki itu berkata akan pulang, karena hari semakin gelap. Tadinya Sadam ingin berpamitan pada ibunda Zara, sayangnya Zara sendiri yang berkata tidak perlu, lantaran wanita itu masih berada didapur toko.
"Ya sudah, aku pamit pulang. Titip salam untuk ibumu," ucap Sadam sebelum meninggalkan pelataran toko kue ibunda Zara.
Setelah kepergian Sadam, gadis itu kembali berjalan memasuki toko. Jangan mengira Zara akan membantu disana, dia bahkan belum mengganti seragam sekolahnya. Tujuan ia kembali memasuki toko adalah untuk bertanya pada sang ibu.
"Kenapa tadi Sadam mendapatkan potongan seratus dua puluh lima ribu? Padahal, uang segitu bisa digunakan untuk membeli bahan roti,"
Bukan pertanyaan biasa, sepertinya Zara ini sedang protes dengan ibunya perihal potongan harga yang diberikan pada Sadam. Rasa-rasanya tidak terima saat harga yang sudah ditetapkan, justru dipotong hanya karena Sadam adalah temannya.
Mendengar celotehan putrinya, bertepatan dengan selesainya kue yang dimasukkan ke dalam toples, akhirnya sang ibu mulai memperhatikan Zara. "Pertama kali dia datang ke sini, Mama sengaja berikan gratis. Dan pertama kali dia membeli disini, tentu Mama berikan potongan harga, barulah ketika nanti dia akan membeli lagi, kita pasang harga normal," jelas sang ibu panjang lebar.
"Apa ini strategi penjualan Mama?" tanya Zara karena masih merasa penasaran.
"Tidak. Mama hanya melakukannya secara natural,"
-
-
-
Pukul sembilan malam, Zara baru menyelesaikan tugas sekolahnya. Karena tidak bisa menjawab pertanyaan, tugas matematika ini harus dikumpulkan besok. Jika dilihat dari jadwal, besok saja tidak ada mata pelajaran matematika. Dilain hari, Zara tidak ingin dipanggil lagi. Selalu saja berakhir dengan tugas yang dikumpulkan keesokan harinya. Untung saja, besok tak ada ulangan ataupun pekerjaan rumah yang lainnya. Zara yakin itu, karena tadi sudah sempat memeriksanya.
Tulang lehernya seperti ingin patah saja, satu persatu berbunyi akibat pergerakan dari kepala Zara. Bukan hanya leher, siku dan jari-jarinya pun juga terasa akan lepas dari persendiannya. Matematika tidak semudah menghirup oksigen.
Baru beberapa detik merebahkan diri diatas ranjang, mendadak ponselnya berbunyi. Andai itu hanya dentingan pesan, Zara tak akan terburu untuk menyaut ponselnya. Tapi, karena ini adalah panggilan telepon, mau tidak mau dia harus segera mengangkatnya. "Ada apa? Jika kau menanyakan matematika padaku, aku malas membuka buku lagi,"
Entah apa yang dibicarakan oleh Zara dengan sang penelepon disana, dengan langkah beratnya, Zara bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan kembali menuju meja belajar untuk membuka buku tugasnya. Astaga, Annette itu bisanya hanya berpacaran saja, giliran tugas selalu meminta padanya.
"Aku kirim fotonya, dan tepati janjimu besok," tandas Zara yang segera mematikan ponselnya.
Satu persatu halaman dibuka dan diambil gambarnya oleh Zara. Sebenarnya malas sekali Zara melakukannya, tapi karena Annette menjanjikan sesuatu padanya, ya Zara tidak bisa menolak. Apalagi itu menguntungkan untuknya. Anggap saja ini seperti barter, Annette mendapatkan jawaban dari Zara, dan Zara juga akan mendapatkan kesenangannya sesuai janji Annette. Kesepakatan yang tidak sulit.
Dikira setelah mengirimkan semua halaman, Zara bisa beristirahat dengan tenang? Tidak. Annette masih mengiriminya pesan, dengan alasan dia tidak bisa membaca tulisan Zara. Sudah dengan rapi dan jelas Zara menulis tugas itu, dan Annette berkata tidak jelas? Itu hanya akal-akalan Annette saja, agar dia ada teman untuk mengerjakannya. Ingin Zara mengeluh.
Tak lama, pintu kamarnya terketuk dan menampilkan ibunya yang baru saja membuka pintu kamarnya. Wanita itu berjalan mendekati Zara, duduk tepat disisi ranjang sembari memperhatikan anaknya yang masih memegang ponselnya.
"Kenapa belum tidur?"
"Annette masih menanyakan tugas matematika. Dan dia meminta untuk ditemani," jawabnya dengan jujur.
Ibunya mengangguk paham, setelahnya sang ibu kembali berbicara. "Kalau begitu, temani Mama saja membuat kue tart. Tadi ada pelanggan yang menelpon Mama, jika anaknya besok akan ulang tahun. Besok tolong kamu antar sekalian, ya," ucap sang ibu.
"Pagi-pagi sekali mengantarnya?"
"Tidak. Malam ini, hanya ingin menyiapkan untuk hiasan kuenya saja. Untuk adonan kue, besok siang akan Mama lakukan sendiri. Nah, baru sore setelah pulang sekolah, kamu antar ke rumahnya,"
Zara akhirnya mengikuti kemana ibunya berjalan. Dia sudah melihat banyak bahan yang sudah tertata diatas meja. Karena belum mendapat perintah apapun dari sang ibu, Zara lebih dulu duduk dikursi, sembari melihat semua bahan. Dari semua hiasan yang Zara lihat, sepertinya anak dari pelanggan ibunya itu bukan seorang remaja seusianya, melainkan seperti anak berusia dibawah sepuluh tahun.
"Zara kira, anaknya seusia Zara. Tidak mungkin jika dia seusia Zara, akan ada hewan unicorn disini," katanya sembari tertawa kecil.
Sang ibu berjalan ke arahnya membawa beberapa loyang. Dan disaat itulah Zara baru mendapatkan perintah dari sang ibu untuk mengambil beberapa cetakan yang dibutuhkan. "Kamu juga, sudah besar hiasan kamar masih berbentuk awan dengan mata,"
"Awan itu netral, Ma. Semua usia bisa menggunakannya," bantah Zara.
Keduanya sekarang sudah berada didepan semua bahan. Zara sempat menebak juga warna kue yang dipesan oleh pelanggan ibunya. Gadis kecil berusia dibawah sepuluh tahun, pasti akan memilih warna merah muda atau ungu pastel. Karena itu yang sering Zara lihat ketika ada pelanggan yang membawa anak kecil yang datang saat Zara tengah menjaga kasir toko ibunya.