Persis seperti yang sang ibu katakan semalam, sore hari ini, tepat setelah Zara selesai mengganti pakaian seragamnya, ia langsung membawa kue itu untuk diantar pada alamat pembeli. Ibunya juga membawakan beberapa lembar uang pecahan, untuk jaga-jaga semisal membutuhkan kembalian.
Karena Zara baru pertama kali datang ke tempat ini, dia jadi asing dengan jalanan disana. Semua rumah terlihat sama, dialamat yang tertulis juga yang membedakan hanya bloknya. Bahkan, Zara tidak tahu dimana letak blok A nomor dua belas. Ditambah perumahan disini jarang sekali ada orang yang berada di jalanan. Kalau begini, Zara akan semakin kesulitan mencari alamat rumahnya. Hari juga sudah semakin sore, dan dia belum menemukan alamat yang dituju.
Zara melihat salah rumah dengan pagar yang memiliki nomor blok A dengan nomor sembilan. Sayangnya, semua rumah yang ada disana tidaklah urut. Didepan rumah yang Zara liat saat ini saja sudah menunjukkan nomor delapan belas. Zara akan coba untuk berjalan lebih jauh lagi. Siapa tahu, memang rumah nomor dua belas berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini. Walaupun mungkin akan membutuhkan waktu yang banyak, Zara tetap akan mencari alamat rumah ini. Tak mungkin juga kuenya ia bawa pulang lagi, yang ada ibunya akan memarahinya.
Sekitar tujuh menit, akhirnya Zara bisa menemukan dimana alamat rumahnya. Dari luar tak nampak akan adanya pesta ulang tahun, Zara jadi sedikit ragu ia menemukan alamat yang benar. Langkah kakinya segera ia arahkan pada rumah itu. Menekan bel yang tertempel diluar gerbang.
"Pasti anaknya Bu Wenda, ya?"
Seorang wanita yang nampak seumuran dengan ibunya, baru saja keluar menghampiri Zara. "Iya, tante. Saya Zara," jawabnya.
Saat itu juga Zara dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumahnya. Didalam sana pun, masih tak terlihat adanya dekorasi untuk pesta ulang tahun. Tapi, Zara tak ingin berpikiran yang aneh, mungkin saja memang acaranya tidak dirumah ini. Gadis itu terduduk di sofa ruang tamu. Selagi menunggu wanita tadi membawa kue, Zara memperhatikan setiap sudut ruang tamu.
Rumah orang kaya, pasti selalu memiliki lampu gantung diruang tamunya—batinnya.
Cukup lama Zara menunggu, sampai dari kejauhan ia mendengar suara mesin mobil yang baru saja dimatikan. Pasti anggota keluarga yang lain baru saja pulang dari pekerjaannya. Dan memang benar, presensi laki-laki yang membawa jas serta tas baru saja melewati ruang tamu. Dengan sopan Zara menyapa laki-laki yang ia duga sebagai suami dari wanita tadi.
"Kamu siapa?" tanya laki-laki itu.
Dengan sopan, Zara akhirnya memberi tahu apa tujuannya datang ke rumah ini. "Saya yang mengantar kue," jawabnya.
Tanpa menimpali ucapan Zara lagi, laki-laki itu kembali berjalan menuju dalam rumahnya. Biarlah itu menjadi urusan istrinya. Sedangkan Zara, kembali terdiam selagi menunggu pembayaran kue yang tadi ia bawa. Kepalanya kembali terbesit pemikiran yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Iya, Zara kembali berpikir tentang rumah ini. Dia beranggapan, jika semua orang kaya yang memiliki rumah sebesar ini, pasti akan memiliki kehidupan yang romantis. Secara mereka memiliki uang untuk membeli apapun yang mereka mau. Semua kebutuhan mereka pasti akan selalu tercukupi, dan tak perlu ada keributan untuk memiliki sesuatu.
Wanita yang Zara temui tadi, kembali menghampirinya. Sebelumnya memberikan uang pada Zara, wanita itu melemparkan beberapa pertanyaan untuknya, "Jika saya lihat, kamu masih sekolah, ya?" tanya wanita itu.
"Iya, tante. Saya masih SMA,"
"Wah, pantas saja. Sudah terasa aura remaja SMA-nya," wanita itu memberikan jeda pada ucapannya. "Tante harap, anak perempuan tante juga bisa seperti kamu ketika remaja nanti. Membantu orang tuanya, dan juga sopan pada orang yang baru ia temui,"
Zara tak tahu apa tujuan wanita itu berbicara seperti itu didepannya. Yang Zara yakini, jika apa yang diucapkan tadi, adalah semua doa seorang ibu untuk semua anaknya. Dia juga yakin, jika ibunya pasti selalu mendoakan dirinya untuk menjadi anak yang baik.
Hampir tiga puluh menit keduanya saling berbicara, dan Zara pun akhirnya berpamitan, karena ia juga takut jika akan dicari oleh ibunya. Tapi, sempat ditahan oleh wanita itu, dia tak tega jika membiarkan Zara untuk pulang seorang diri. Apalagi dia adalah seorang gadis, takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Bertepatan dengan anak pertamanya yang baru saja memasuki rumah, wanita itu segera menyuruh anak sulungnya untuk mengantarkan Zara pulang. "Bara, tolong antar gadis ini pulang, ya. Bunda takut jika dia harus pulang sendiri,"
"Biarkan dia pulang sendiri, Bunda,"
Zara pikir, wanita tadi menyebut nama Bara yang lain, tapi setelah mendengar jawaban dari laki-laki itu, dia yakin jika itu adalah Bara yang dia kenal. Kepalanya langsung terarah pada Bara yang baru saja pulang dengan menenteng jaket jeansnya pada tangan kanannya. Astaga, Zara baru menyadari, jika rumah yang ia masuki saat ini, adalah rumah Bara.
"Bara, kasihan dia,"
Bara tak mendengarkan ucapan sang ibu, dia juga terlanjur terkejut ketika melihat Zara diruang tamunya. Keduanya saling tatap, yang justru membuat ibunda Bara berpikiran yang tidak-tidak.
"Hey, bunda menyuruh kamu untuk mengantarnya pulang, bukan untuk menatapnya seperti itu. Jika ingin berkenalan, berkenalan dijalan saja, sambil diantar pulang Zara nya," katanya sambil tersenyum menggoda.
Ucapan wanita itu membuat pandangan Zara dan Bara akhirnya terputus. Daripada membuat ibunya terus menyuruhnya mengantar Zara, akhirnya Bara mau mengikuti apa perintah sang ibu. Dia juga izin untuk mengganti pakaiannya sebentar.
"Sebentar ya, Zara, biar diantar anak tante,"
Demi apapun, Zara tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan, dia sama sekali tidak mengatakan jika dia memang mengenal Bara. Alasannya apa, Zara sendiri juga tidak tahu, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Dia saja tidak tahu bagaimana akan berbicara dengan Bara nantinya.
Tak lama, Bara selesai mengganti pakaiannya, dia menyambar kunci motor dan mendahului dua wanita diruang tamu. "Ayo, kuantar kau pulang," tandas Bara tanpa melihat ke arah Zara.
Tepat setelahnya, Zara pun berpamitan pada wanita itu dan segera menyusul Bara ke depan rumah. Dengan kedua bola matanya, Zara melihat jelas Bara nampak keren jika menaiki motor seperti saat ini. Tapi, kenapa laki-laki itu tak pernah membawa motornya jika sekolah? Padahal, sekolah juga sudah mengizinkan muridnya membawa kendaraan sendiri. Entahlah, Zara tak tahu apa yang Bara lakukan. Laki-laki itu terlalu misterius.
Baru akan menaiki motornya, tiba-tiba gadis itu dicegah oleh Bara. Dia sedikit terkejut saat Bara melempar pelan jaket putih miliknya. Itu jaket yang sempat tertinggal dipanti. Bara memang baik membawakannya, tapi tidak baik cara memberikannya.
"Kurang keras caramu melempar jaketku," cebik Zara yang langsung menaiki motor.