Chereads / I Choose Basketball / Chapter 9 - Luka

Chapter 9 - Luka

Yang benar saja, tulisan seperti cakar ayam itu berhasil membuat guru Bahasa Indonesia tak bisa berkata-kata. Kedua bola mata hitam orang dewasa itu bergerak membaca satu persatu kalimat yang Zara tulis. Alisnya saling bertautan ketika selesai melihat tulisan itu dan beralih melihat Zara.

"Apa ini milikmu sungguhan?" tanya guru itu.

Detik itu juga, suasana kelas menjadi hening, Zara pun menjadi pusat perhatian teman-temannya. Sedangkan Zara sendiri, hanya bisa mematung ditempat, kedua bola matanya bergerak acak. Gadis itu langsung tersenyum dengan memamerkan rentetan giginya. "Iya, pak," jawabnya.

Nampak sekali jika guru itu sepertinya kehabisan kata-kata karena Zara. Wajah yang sudah berkeriput itu tersenyum singkat, serta kepalanya menggeleng saat kembali menatap hasil kerja Zara. Tak lupa, tawa kecil yang biasa dia lontarkan ketika melihat ada saja perbuatan siswanya sendiri.

"Untung saja, Zara ini murid pintar dalam seni sastra. Jadi, saya tak ada alasan untuk memarahimu. Mungkin, tulisanmu saja yang perlu dirapikan," tutur sang guru.

Zara hanya terdiam tak menimpali ucapan sang guru. Dia memang sadar, karena terburu tulisan miliknya sudah berantakan. Yang penting, dia tidak mendapat nilai dibawah KKM, sudah cukup membuatnya lega. Untuk tugas yang satu ini, mungkin tak akan dia ceritakan pada sang ibu, bisa jadi ibunya akan memberikan ceramah untuknya. Tidak, tidak, Zara tidak ingin itu terjadi padanya. Selama sang ibu tidak bertanya, Zara juga tidak akan menceritakannya.

Kelasnya saat ini melanjutkan mata pelajaran Bahasa Indonesia yang tadi sempat tertunda. Disaat guru sedang menjelaskan, Annette dan Cleo justru sedang berdiskusi sendiri. Tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi Zara sudah beberapa kali memberikan peringatan agar diam. Jangan salahkan Zara jika saat ini, kedua bola mata guru Bahasa Indonesia itu tertuju pada dua sahabatnya. Zara sama sekali tidak ingin melihat bagaimana guru Bahasa Indonesia itu sudah berdiri disebelah meja Annette dan Cleo. Cukup rungunya saja yang akan menjadi saksi.

Hingga tiba pukul setengah sepuluh, jam istirahat mereka dimulai. Kali ini dia tak ingin beristirahat bersama kedua temannya, Zara masih ingin di kelas untuk bermain dengan ponsel. Toh, tadi pagi Zara juga sudah sarapan, jadi untuk apa dia ke kantin? Mengantri adalah hal yang paling Zara tidak suka. Hah, itu membosankan!

"Ada berita apa pagi ini?" ucap Zara sembari menatap ponselnya.

Menggeser benda pipih nan pintar pada jam istirahat pertamanya, sungguh menyenangkan. Tadinya ingin melihat berita seputar selebriti, tapi niatan itu terbatalkan setelah melihat gambar benda-benda lucu yang lewat dimedia sosialnya. Saking gemasnya dengan gambar benda itu, membuat Zara sedikit berteriak didalam kelas. Dia lupa jika didalam kelasnya masih ada beberapa teman yang belum keluar atau juga lebih memilih menetap di kelas.

Memang apa yang Zara liat? Yang pasti bukan sesuatu yang bernilai mahal. Dia tak terlalu suka dengan benda mahal, yang padahal juga memiliki kegunaan yang sama dengan benda yang serupa dan harganya berkali-kali lipat dibawah harga benda mahal. Jika ada yang murah dan berkualitas sama, untuk apa memilih benda dengan harga yang mahal? Apa hanya ingin mengejar merek barang saja? Astaga, bualan apalagi itu?

"Astaga!" kaget Zara dengan suara yang cukup keras, hingga membuat temannya yang lain memperhatikannya. "Harga barang ini murah sekali," lanjutnya yang melihat aksesoris untuk perlengkapan hiasan kamarnya.

"Ya ampun, Zara. Kau itu selalu saja mengejutkan kami," sahut salah satu teman Zara.

"Hehehe," tawa kecilnya ketika temannya sedang menegurnya. "Iya, maaf,"

Zara kembali melihat ponselnya, ternyata mulutnya terasa sangat pahit. Ingin sekali memakan sesuatu yang manis, tapi dia tak ingin memakan makanan berat. Mungkin, satu buah permen akan menghilangkan kepahitan didalam mulutnya. Beruntunglah dikoperasi sekolahnya juga menjual beberapa makanan ringan, termasuk permen. Jadi, Zara tak perlu berjalan jauh ataupun mengantri lama untuk membeli sebungkus permen kapas.

Sepatu hitam itu sudah berjalan menuju letaknya koperasi sekolah. Kebetulan juga, keadaan disana sedang tidak ramai, dia jadi merasa bisa menghirup oksigen dengan bebas. Dia langsung mengambil beberapa bungkus permen kapas itu dan membawanya ke kasir. Selagi menunggu dihitung, gadis itu merogoh kantung roknya guna mengambil sejumlah uang pas untuk membayar.

"Terimakasih, mbak," ucapnya yang langsung menghalau pergi dari sana.

Karena tidak sabaran, sembari berjalan Zara membuka bungkus permen itu tanpa memperhatikan jalanan. Tidak sengaja bahu kanannya menabrak tubuh seseorang. "Maaf," ucapnya yang segera menatap presensi didepannya ini.

"Bara, aku ingin meng—" ucapan Zara terhenti ketika melihat bekas obat merah yang menempel di wajah laki-laki itu. "Ada apa dengan pipimu itu?" tanya Zara dengan menunjuk luka Bara.

Baiklah, entah sudah keberapa kalinya Bara tidak menjawab pertanyaannya. Dan sekarang, laki-laki itu justru meninggalkannya. "I think he's a ghost." kata Zara yang kembali berjalan dengan permen kapas sudah berada didalam mulutnya.

"Oh? Kapan dia mendapatkan luka itu?"

-

-

-

Tepat sekali ketika dua bola matanya melihat presensi yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Dengan langkah yang sengaja dipercepat, Zara menghampiri laki-laki itu. "Jadi, hari ini kau akan datang ke panti, bukan?" tanya Zara.

Saat ini Bara ingin sendiri, dan tak ada yang ingin dia lakukan. Apalagi bersama gadis yang tidak jelas ini. Iya, Bara menyebut Zara dengan sebutan seperti itu. Sedikitpun Bara tak pernah mengharapkan kehadiran Zara, tapi gadis itu selalu saja menganggunya.

"Tidak bisakah kau menjauh dariku? Apa ayahmu tidak pernah mengajari untuk tidak mendekati seorang laki-laki yang tak pernah menganggapmu ada?" kesal Bara.

Tak bisa Bara sangka, rupanya perkataannya barusan justru membuat Zara memasang wajah yang datar. Lantas, dia melihat jika salah satu sudut bibir Zara tertarik dan pandangannya menurun. Apalagi, setelah Zara berkata.

"Iya. Ayahku tidak pernah mengajarkan itu," jedanya yang mulai menatap Bara, "Bahkan, aku lupa bagaimana raut wajah laki-laki yang seharusnya jadi cinta pertamaku. Aku hanya mengingat namanya, tanpa merasakan kasih sayang yang utuh sejak kecil,"

Zara menarik nafasnya panjang, beberapa kali mengedipkan kedua matanya yang terasa memanas, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Sudah, lupakan saja apa yang aku katakan tadi. Aku baru ingat jika arah rumah kita berbeda. Aku pergi dulu," pungkas Zara yang langsung mengubah arah langkahnya.

Bara hanya bisa melihat bagaimana tas hitam itu berlalu meninggalkannya. Dia merasa bersalah karena ucapannya sudah keterlaluan, dan justru menyakiti hati gadis itu. Jujur saja, Bara sama sekali tidak mengetahuinya, itupun karena dia tak pernah melihat Zara selama setahun kebelakang. Karena Zara sendiri memanglah anak pindahan saat tahun pelajaran baru ini.