Chereads / In The Heart Of The Rock / Chapter 6 - Wind Dance

Chapter 6 - Wind Dance

"Sudahlah, percuma saja kamu tangisi keadaan dua orang itu. Orang yang mati tidak akan bisa kembali dan mengucapkan terima kasih padamu karena kau telah menangisi mereka. Berterima kasihlah kepada mereka, karena mereka kita bisa dipertemukan dan menunjukan betapa berharganya kehidupan."

"Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya dan aku tidak peduli."

Aku pun menurunkan tas besar yang aku gendong di punggung, membuka tas dan mengambil sehelai kain berwarna hitam yang biasa aku gunakan untuk membungkus pakaian-pakaianku agar tidak tercampur dengan barang lainnya di dalam tas. Setelah aku memejamkan kelopak mata di kedua kepala itu, aku pakaikan kain hitam untuk menutup dan membungkus kedua kepala yang ada di depanku saat ini.

"Semoga kalian tenang di sisi-Nya, semoga Tuhan menerima segala amal perbuatan baik."

"Amiiiin. Hm ... Hahaha ... Apa kau selalu seperti ini ketika membunuh seseorang?"

Suara pembunuh itu benar-benar membuatku muak. Aku benar-benar tak mengerti kenapa sesama manusia harus saling mencelakai bahkan saling membunuh satu sama lain. Setiap individu memang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing tapi tidak seharusnya dijadikan suatu acuan perbedaan. Aku selalu yakin, setiap individu pasti mempunyai keinginan untuk berbuat yang terbaik bagi dirinya dan keluarga ataupun teman yang mereka sayangi, tapi tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk mencelakai dan membunuh individu lainnya. Semua hal pasti bisa diselesaikan dengan cara yang baik.

"Katakan padaku, di mana tubuh ayah anak itu?"

"Sudah aku bilang tadi, ayah anak tadi sedang menunggu di taman sebelah bangunan itu."

Setelah mendengar perkataan orang itu, aku memakai kembali tas dan kubawa bungkusan kedua kepala tadi, kemudian berjalan ke arah celah antar bangunan di mana badan anak tadi terbaring. Sudah kuputuskan, akan aku kuburkan kedua jasad ini.

"Hei kau, apa kau benar-benar tidak memperdulikanku? Setelah datang ke sini dan membiarkan anak itu terbunuh di depan matamu sendiri. Apa kau tidak dendam padaku? Apa kau tidak membenciku?"

"Aku sama sekali tidak mengenalmu, begitu juga dengan anak ini dan ayahnya. Aku juga bukan siapa-siapa. Aku bukan seorang pahlawan atau kesatria, aku hanya manusia biasa yang ditakdirkan Tuhan untuk menguburkan kedua jasad ini."

Prok ... Prok ... Prok ...

"Kalau begitu aku yakin Tuhan tidak akan keberatan jika aku membunuhmu saat ini juga, kemudian aku kuburkan jasad kalian bertiga."

Orang itu terlihat bertepuk tangan dan berbicara sambil berjalan perlahan mendekatiku. Aneh ... suara kakinya hampir tidak dapat aku dengar dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi sebelah kananku. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelahku, menggenggam pisau yang dia arahkan kepada wajahku dengan ujung pisau yang sudah menyentuh pipiku. Seketika aku langsung bergerak melompat ke arah belakang dengan posisiku yang masih menghadap orang itu. Aku melompat sejauh yang aku bisa. Tanpa melepaskan pandangan, aku melepaskan tas dan ikatan kain berisikan kepala tadi. Dengan cepat aku ambil pisau yang aku ikatkan di paha kanan untuk menahan serangan kedua yang dia arahkan ke wajahku.

Trang!

Suara pisau kami yang saling beradu terasa sangat nyaring di kedua telingaku. Aku tahu dan aku paham, target dia adalah mataku. Serangan pertama tadi hanya gertakan dan serangan kedua barusan adalah serangan utama untuk mengincar mataku.

"Hm, kau cukup cepat juga untuk ukuran seorang manusia biasa, apa kau berminat untuk menjadi muridku? Akan aku tunjukan beberapa teknik membunuh padamu, setuju?"

"Silakan, Guru. Aku menunggu pertunjukanmu."

Jarak kami berdua saat ini masih cukup jauh, bersiap untuk menyerang atau menerima serangan, mata kami pun terus saling bertatapan satu sama lain. Memikirkan strategi terbaik untuk mencapai tujuan dari pertarungan, yaitu bertahan hidup!!!

Trang ... trang ... trang

Tiga serangannya ke arah mataku, masih bisa aku tangkis. Tapi entah kenapa, aku merasakan perisai kegelapan mataku ini semakin menipis. Sedikit demi sedikit aku mulai merasakan kilauan cahaya terang di mataku. Mungkin dia sudah mengetahui rahasiaku ini. Jika itu yang dia inginkan.

"Aku tahu, perisai yang melindungi matamu itu, membuatmu lemah. Akan aku hancurkan perisai itu."

Dia terlihat bersiap dengan posisi menyerang yang berbeda dengan sebelumnya. Saat ini dia menggunakan dua pisau di masing-masing tangan kanan dan kirinya. Melihat persiapan penyerangannya, aku pun terus memperkuat posisi bertahan, aku ambil pedang pendek yang terikat di paha kiri dan bersiap untuk menangkis serangannya. Sesaat setelah aku selesai mengambil posisi bertahan, orang itu pun sudah dalam posisi untuk melakukan gerakan serangannya.

"Wind Dance!"

Aku tahu serangan ini, serangan ini hanya dimiliki oleh garis keturunan suku utara. Tangan kiri dan kanan dengan dua bilah pisau yang digenggam kuat, digerakan kedua tangan secara bergantian dengan pergerakan bagaikan menyayat udara dari bawah ke atas secara garis diagonal. Cukup cepat dan kuat untuk menghasilkan gerakan angin yang tajam. Pertemuan angin yang ditimbulkan oleh sayatan udara oleh gerakan tangan kanan dan kiri pada bagian tengah menimbulkan ketidakberaturan sayatan udara yang terus bergerak dengan cepat ke depan, ke arah target serangan. Aku tidak menyangka bisa mengahadapi serangan ini, posisiku sedikit kurang menguntungkan karena pada awalnya aku berpikir jika dia akan melakukan serangan langsung seperti serangan yang sebelumnya. Seketika pisau angin itu langsung mengenai pisau dan pedang yang aku genggam untuk bertahan. Pisau angin tidak beraturan itu terbelah namun patahan pisau angin itu terus melaju menembus pertahanan pisau dan pedangku, terus mengenai seluruh bagian tubuhku termasuk perisai kegelapan di mataku.

Bruukkk!

Aku tak mampu menahan serangan itu kemudian terpental dan terjatuh jauh di belakang posisi bertahanku tadi. Aku merasakan sayatan udara di seluruh tubuhku dan sepertinya perisai kegelapan di mataku pun berhasil dia pecahkan. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada bagian mata, hanya warna putih terang yang aku lihat saat ini, terasa sangat menyilaukan. Perlu beberapa saat sampai aku bisa menyesuaikan penglihatanku kembali, sampai waktu itu, aku hanya perlu mengulur sedikit waktu.

"Aku tidak menyangka, kau adalah seseorang yang memiliki anugerah angin."

"Iya, aku juga bersyukur akan hal itu. Bagaimana seranganku barusan? Kau mau jadi muridku?"

"Tentu saja aku mau, tapi keahlian itu hanya bisa dilakukan oleh pemilik anugerah angin. Jadi, sudah dari awal tidak ada kesempatan bagiku untuk menjadi muridmu."

"Hahaha ... Jadi kau kecewa pada Tuhanmu karena dia tidak memberikan anugerah kepadamu?"

"Aku sama sekali tidak berpikiran seperti itu, karena Tuhan memberikan anugerah dan keadilan kepada setiap makhluk-Nya dan aku bersyukur akan hal itu. Apa kau percaya? Akan kutunjukan padamu anugerah yang Tuhan berikan."

"Coba saja, Nak"

Mataku sudah mulai terbiasa dengan cahaya saat ini. Sekarang aku bisa lebih memaksimalkan kemampuanku. Aku juga harus lebih berhati-hati, dia adalah tipe orang yang penuh dengan perhitungan dan persiapan yang matang. Saat ini dia masih berada pada posisi yang sama. Aku tahu waktuku terbatas, mata ini sangat menguras konsentrasi dan tenagaku. Dengan mataku ini, akan kubukakan pintu kekalahan padanya.