"Hiks ... hiks ..."
Suara isak tangis itu terdengar semakin jelas ketika aku memeluk anak ini. Aku tak mengenal dia, tapi aku sedikit banyak bisa mengerti bagaimana perasaan dia saat ini. Seorang diri di tengah keramaian, kehilangan pandangan dan arah, ketakutan yang terus bertambah kuat dan semakian kuat. Merasa ditelantarkan dan tak ada seorang pun yang peduli untuk menghampiri. Melihat dengan jelas tatapan-tatapan kosong dari mata manusia tanpa rasa. Membuat diri sendiri merasa semakin kecil dan tak berdaya.
Aku sangat membenci tatapan-tatapan seperti itu dan aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan melihat orang lain dengan cara seperti itu.
"Adikku, tenanglah. Ada kakak di sini. Sudah cukup menangisnya ya." Mendengar perkataanku, perlahan anak itu mulai menggerakkan kepala untuk melihat wajahku. Aku pegang kedua tangannya, berusaha untuk terus menenangkannya. Aku merasakan tangannya masih gemetar dan dingin, mungkin dia masih merasa ketakutan.
"Ayah ... hiks... hiks... tolong ayahku. Kakak, aku mohon tolong ayahku."
"Ada apa dengan ayahmu, Dik? Bisa kau jelaskan padaku sekarang?"
"Aku mohon tolong ayahku, akan aku berikan semuanya."
Kemudian anak itu menunjukan padaku sesuatu yang dia gengam dengan kuat di tangan kirinya. Memang aku sudah melihat dan merasakan ketika aku menggenggam tangan anak itu, ada sesuatu yang dia genggam dan aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Sebongkah kristal berwarna terang berintikan warna merah dan berlapiskan warna biru dengan warna biru dan merah yang membaur di bagian tengah antara inti dan lapisan luarnya. Selayaknya kristal pada umumnya, ketika terpapar cahaya, kristal tersebut akan memancarkan cahaya sesuai karakter struktur dan warna kristal itu sendiri. Walaupun saat ini sudah mulai masuk malam hari, mataku sendiri sempat merasakan sedikit kilauan terang sesaat anak itu membuka genggamannya. Dengan cepat aku langsung menutupkan tangan anak itu lagi, agar kristal tersebut tidak terpapar cahaya lagi. Sangat berbahaya jika orang lain melihat batu ini.
"Hiks ... hiks... Kakak, tolong. Tolong ayahku, aku mohon."
"Adikku, tenanglah. Aku tahu mungkin sesuatu telah terjadi dengan ayahmu dan kemungkinan kristal inilah penyebabnya, oleh karena itu cepat kamu sembunyikan kristal ini di dalam tas pinggangmu itu. Aku akan membantumu menemukan ayahmu."
Anak itu pun mengangguk, kemudian dengan perlahan memasukan kristal itu ke dalam tasnya.
"Sekarang tenangkan dirimu dan cobalah untuk mengingat kejadian yang menimpa kalian berdua tadi."
"Hiks ... hiks ... kami bertemu dengan para pemburu dan saat ini ayahku sedang berusaha menghentikan mereka seorang diri di daerah pinggiran kota. Kakak, aku mohon bantulah kami."
"Aku mengerti sekarang. Apakah kamu masih kuat untuk berlari?"
"Hm, aku masih bisa." Anak itu terlihat menganggukan kepala.
"OK. Kalau begitu, antarkan aku ke sana."
Setelah memasukan kue sorgum yang aku beli ke dalam saku di tasku, mengencangkan ikatan-ikatan tas dan peralatanku, kami pun mulai berlari ke arah pinggiran kota. Sambil berlari dan memperhatikan arah yang dituju anak itu, aku terus menerus berpikir. Batu itu, baru kali ini aku melihatnya. Corundum merah dan biru pada satu bongkahan dengan paduan warna yang sangat teratur dan berpola. Berbentuk bola yang hampir sempurna. Sebuah keajaiban bisa melihat benda itu, mungkin ini sebuah pertanda. Aku akan tetap berhati-hati. Sesuatu yang indah, sesuatu yang besar dan berharga akan selalu memberikan sisi lain yang terkadang terkesan negatif untuk menggapainya. Takkan pernah mudah terkecuali takdir memihak untuk menganugerahkan keberuntungan.
"Kakak, sebentar lagi kita sampai."
"Baiklah. Jangan khawatir, aku masih tetap di belakangmu." Mungkin dia takut aku berhenti dan melarikan diri karena sejak awal kami berlari sampai saat ini, dia tak pernah menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaanku, dia hanya terus menghadap ke depan dan berlari. Seakan takut sesuatu yang buruk akan terjadi terhadap ayahnya. Anak itu berlari dengan sangat terburu-buru.
"Larimu cepat juga, Dik." Dia terus berlari tanpa menghiraukan perkataanku. Aku tahu ini sesuatu yang serius. Aku harus bersiap terhadap hal buruk yang mungkin terjadi.
Setelah melewati beberapa blok pertokoan dan perumahan penduduk, terlihat sebuah gerbang di ujung jalan. Kami terus berlari ke arah gerbang itu, sampai kami melewati gerbang, anak itu berlari ke arah kiri dan kami pun masuk ke gang di antara dua bangunan tua yang besar. Semakin gelap di bagian dalam gang tapi mata kami semakin terbiasa sehingga keadaan terlihat sedikit lebih jelas.
"Hah ... hah ... kita sudah sampai, Kak."
"Hei, sepertinya kau berhasil, Bocah."
Seseorang muncul dari kegelapan ujung gang dan entah kenapa aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seharusnya keterbatasan cahaya di gang ini tidak akan menjadi halangan bagiku untuk melihat. Sepertinya ada sesuatu yang mengahalangi mataku untuk melihat orang itu dengan lebih jelas. Orang itu terus berjalan ke arah kami dan mendekat ke arah anak itu yang telah berhenti berlari semenjak mendengar perkataannya. Aku sadar dan aku melihat jika posisi orang itu terus mendekat, tapi aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Orang itu diselimuti aura hitam yang pekat, seperti asap hitam yang berada di seluruh permukaan badannya. Sekarang posisi orang itu sudah berada di samping anak tadi. Sambil mengusap-usap kepala si anak, dia pun tersenyum dan berbicara sambil memandang wajah anak itu.
"Jangan menangis, Nak. Kami sama sekali tidak menyakiti ayahmu. Maafkan kami, tadi itu hanya sandiwara saja. Ayahmu baik-baik saja, dia sedang menunggumu di taman di sebelah bangunan ini. Kamu pergilah ke sana, jangan membuat dia menunggu terlalu lama."
"Ta-Tapi, tadi kalian ... sudah hampir membunuhnya. Aku melihatnya sendiri, kalian kejam sekali ... hiks … hiks ..."
"Kami bukan orang jahat, Nak. Itu hanya sandiwara saja. Ayo, cepat pergi ke sana. Ayahmu sedang menunggumu di sana."
"Benarkah? Apakah yang kau katakan itu benar?"
"Tentu saja. Ini hadiah atas perjuangan dan keberhasilanmu karena berhasil membawa orang itu kemari."
"Ini batu yang kau berikan tadi padaku, aku tidak butuh batu seperti ini."
"Baiklah. Aku ambil lagi batu ini. Ayo Nak, cepat ke sana. Aku yakin ayahmu akan senang bisa melihatmu kembali"
Anak tadi pun memalingkan wajahnya dari orang itu, kemudian langsung berlari ke arah lain dari gang menuju celah sempit di antara bangunan di sebelah gang. Walau aku melihat sedikit ketakutan, kecurigaan dan ketidakpercayaan di wajah si anak ketika berhadapan dan berbicara dengan orang itu. Seketika mendengar kalau ayahnya ternyata baik-baik aja, terlihat sedikit senyuman di wajah anak itu. Namun, banyak sekali hal yang mencurigakan dari apa yang dikatakan orang itu. Sandiwara ... apa maksudnya? Membawa orang ini kemari? Apakah ini semua rencana dia untuk membawaku kemari? Apa tujuan dia yang sebenarnya?
"Hei, Nak!"
Mendengar orang tadi berteriak memanggilnya. Si anak pun langsung berhenti berlari dan menoleh sejenak ke arah orang itu. Tapi perasaan ini ... entah kenapa aku merasakan sesuatu yang buruk sekali.
Duk ... Duk ... Duk ...
Kepala anak itu terjatuh kemudian menggelinding dan terus menggelinding ke arahku.
Duk ... Duk ... Duk ...
Aku melihat sesuatu yang lain menggelinding ke arahku. Semakin dekat semakin terlihat dengan jelas. Kepala itu berambut pirang bercampur merah darah seperti kepala anak tadi. Kedua kepala itu menggelinding sampai pada posisi kakiku berdiri, kedua kepala itu menghadapkan wajahnya kepadaku. Mata yang terbelalak, terbuka dan penuh dengan pandangan kemarahan. Aku merasa lemah, tak berdaya, tanganku gemetar. Ingin kuusap kepala anak itu seperti yang dilakukan orang itu tadi. Tapi percuma saja, senyuman dan kebahagian itu tak akan pernah muncul lagi di wajah anak ini. Aku memanggilnya adikku dan aku kehilangan dia lagi untuk kedua kalinya. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku pun kembali merasakan kehangatan itu mengalir di pipiku.