Chereads / I have to Love You / Chapter 22 - Maafkan aku, Dilan.

Chapter 22 - Maafkan aku, Dilan.

Bagaimana bisa aku menghadap seorang ayahku sendiri. Aku bukan anak kecil lagi, yang selalu mengharapkan senyum darinya. Bahkan, mataku tak lagi turun dan mengendur.

Aku tampakkan diriku yang sebenarnya.

Jika ayahku seburuk itu, maka anaknya akan mengikuti jejak buruknya dengan cara yang berbeda.

Lantas, siapa yang harus disalahkan setelah ini? Aku atau ayahku?

Kami adalah hubungan yang saling keterkaitan. Mungkin, di balik semua keburukan ayahku tersimpan sifat yang sangat berbeda dari orang lain.

Dia pria yang sangat bertanggung jawab. Tapi, dari sana aku sedikit miris saat ku pikir masih ada kebaikan yang tak kalah menarik dari sosok ayah.

Aku tidak akan terperdaya oleh mulut manis ayahku sendiri.

"Jangan pernah menemuiku, Ayah. Aku mohon, pergilah dari sini!" usirku tanpa raut bahagia.

"Hahaha."

Aku hanya melihat betapa senangnya ayahku saat aku mengatakan itu padanya. Jebran memegangi tanganku dengan erat saat ayahku sembari mendekati diriku.

"Emira," panggil ayahku pelan.

Aku tak menyahut sama sekali. Aku hendak melawan, tapi dia orang tuaku.

"Bawa Emira!" pekik ayahku kepada beberapa orang-orang yang ada di sana.

Sontak aku tertegun saat beberapa pria hendak menyerangku. Jebran menarik tubuhku hingga aku terlempar dari sana.

Dilan menyambut tubuhku yang terbawa oleh angin.

Pow!

Pow!

Pukulan-pukulan Jebran akhirnya melayang ke arah pria-pria itu. Tak kusangka, ternyata dia bisa melawan mereka dengan baik. Betapa terkesimanya diriku, saat Jebran juga memiliki bela diri yang andal.

Ayahku berjalan untuk meraih tubuhku, namun Dilan melindungiku lalu berbisik, "Pergilah!"

"Cepat!!" bentak Dilan.

Segera ku berlari dari sana tanpa melihat ke arah mereka.

Dilan menghadang jalan ayahku yang hendak membawaku pergi. Aku terus berlari untuk melawati pagar di samping rumah. Aku bersembunyi di balik dinding pagar mencoba mencari celah untuk sampai ke mobilku.

Kini rautku berselimut ketegangan.

Masih terdengar perlawanan Jebran kepada anak buah ayahku. Mataku berkeliling mencari jalan. Napasku mulai tersengal di antara telapak jalanku.

Akhirnya aku mengendap-endap hingga tiba di depan mobilku.

Aku tidak memperdulikan apapun yang terjadi, aku yang tegang sekaligus gundah akhirnya meninggalkan lokasi.

***

Masih di dalam halaman rumah. Dilan menahan tubuh ayahku dengan kegeramannya. Akhirnya dua pria itu bertemu pada satu titik.

"Pergilah! Aku akan menghadapi mereka," bisik Dilan.

"Tidak mungkin. Aku bukan pria pecundang!" gerutu Jebran.

Kedua pria ini saling berdempetan dikelilingi oleh beberapa anak buah Mehmed. Dengan mata mulai berkeliling, kuda-kuda siap menyerang.

"Seharusnya aku tidak mengizinkan anakku berteman denganmu!" keluh Mehmed mengacungkan telunjuknya ke arah Dilan. Mehmed menyodorkan sebuah pistol ke arah keduanya.

"Hei, periksa rumah Dilan! Temukan anak cunguk itu dan bawa dia pergi!" perintahnya pada salah satu pria.

"Kau benar-benar licik!" tutur Dilan.

"Bukankah kau yang mengajariku untuk berbuat licik? Kau berjanji padaku untuk membawakan putriku itu. Tapi, kau malah berbuat licik dahulu. Sebelum kau membodohiku lagi, maka aku harus bertindak lebih dulu," lontar Mehmed menatap mata Dilan.

"Pergilah! Aku akan menyelesaikan ini sekarang juga," bisik Dilan ke arah Jebran.

"Hah! Apa maksudmu? Aku sudah mengatakannya padamu tadi," gerutu Jebran.

"Ku mohon, mengertilah!" ucap Dilan lirih.

Tak lama mereka berbisik. Jebran melihat seorang pemuda digotong oleh anak buah Mehmed.

"Hah! Siapa dia?!" keluh Jebran.

Dilan merasa malu sembari tertunduk lemah. Mehmed menggandeng tubuh Riffat yang terlihat murung dan takut di hadapan Dilan.

"Ka-kak," rintih Riffat dengan wajah pucatnya.

"Lepaskan dia, Paman!!" berang Dilan melawan para lelaki di dekatnya.

Wiu! Wiu! Wiu!

Sirene mobil polisi melintas ke arah rumah Dilan. Situasi pun berubah menjadi sangat kacau. Mehmed menarik tubuh Riffat yang lemah pergi bersamanya.

Dilan mencoba mengejar sang adik yang sudah dibekap oleh Mehmed menuju mobil. Akan tetapi, Jebran memeluk tubuh Dilan dengan kuat.

"Lepaskan aku!"

"Aku harus menyelamatkan adikku!!"

"Riffat ...."

Dilan merintih hingga berjongkok saat dirinya benar-benar terpukul, melihat sang adik digotong oleh beberapa pria. Suara sirene itu benar-benar mendekat, namun Mehmed berhasil menghilang dalam beberapa waktu saja.

"Riffat," lirihnya.

Jebran mulai memegangi pundak Dilan lalu menatapnya, "Aku akan membantumu mencari adikmu, aku akan berjanji!"

Dilan menatap kebaikan Jebran yang berbalik padanya.

Jebran melihat pemuda itu yang sudah mengibaskan air matanya.

Beberapa rekan Dilan tiba di depan halamannya, dengan diikuti oleh aku sendiri.

"Dilan," panggilku melangkah ke arahnya.

Dilan masih berjongkok layaknya orang kebingungan. Kini pandangannya mulai kosong dan sangat terpukul. Aku perlahan maju mencoba menenangkan pikiran sahabatku.

"Maafkan aku," sebutku memeras pundaknya.

"Dilan, apa yang terjadi?!" tanya salah satu rekan polisi yang sedang bertugas.

"Siapa yang memanggil kalian?" tanya Dilan mendongakkan dagu.

"Aku," ungkapku.

Jebran memegangku dengan tatapan agak tegang, "Kau tidak apa-apa?"

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku pergi ke tempat polisi yang paling dekat di sini, lalu aku melapornya," sebutku.

"Dilan, ayo masuklah!"

Aku mencoba membangkitkan semangatnya kembali, dibantu oleh Jebran dan rekan lainnya.

"Memangnya Dilan kenapa?" tanya si pria itu ke arahku.

"Adiknya sedang diculik, tapi kalian boleh pergi. Terima kasih sudah mengikutiku ke sini! Jika tidak, mereka pasti dalam bahaya besar," tuturku.

"Benar Tuan Dilan tidak baik-baik saja?" tanya dua petugas itu.

"Tidak, aku yang akan bertanggung jawab," sambung Jebran.

Aku sontak berbalik menatap Jebran yang sedang berjalan lebih dulu untuk membawa Dilan ke dalam rumah.

Aku seolah-olah terharu pada perlakuannya kepadaku dan Dilan. Jebran bukan orang dingin lagi bagiku. Dia orang yang sangat menyenangkan!

"Oh, baiklah! Kalau begitu, kami permisi dulu," pamit mereka.

"Ya, terima kasih," ucap Jebran.

Kini, giliranku yang menenangkan hati seorang teman yang sedang terpukul. Aku memberikan segelas air putih pada Dilan, "Ini minumlah!"

"Untukku tidak ada?!" gerutu Jebran.

"Kau bisa mengambilnya sendiri," ringisku.

"Ah, menyebalkan!" adu Jebran beranjak ke dapur. Sedangkan aku duduk menemani Dilan yang sedang termangu lesu.

"Dilan, ayahku membawa adikmu, bukan?" tanyaku spontan.

"Yah, aku sungguh tidak berguna! Aku seorang polisi bodoh," ringisnya dengan raut menyesal.

Beribu-ribu penyesalan tampak di balik pelupuk mata Dilan dan aku melihat itu.

Aku melihat mata dan rautnya. Aku mengetahui kesedihan dan penyesalan itu.

"Tenanglah! Kita harus bekerja sama untuk mencari adikmu kembali dalam keadaan baik-baik saja," usulku.

"Aku yakin dia tidak akan melukai adikmu. Kau jangan menyerah dan menyesal," sambung Jebran.

"Sebenarnya tadi kita bisa melawannya. Tapi, aku lebih berhati-hati dengan pistol yang ada di tangan Mehmed tadi."

Aku melirik Jebran sembari mengerutkan kening, "Pistol katamu?!"

"Iya, se andainya dia tidak membawa itu, kami pasti sudah mengalahkan mereka," gerutu Jebran.

"Yang penting di saat itu kau sudah tidak di sana," timpal Jebran memegang pundakku.

"Bisakah kalian meninggalkanku sendiri?!" pinta Dilan dengan merunduk lesu.

"Ah," balasku.

"Emira, ayo kita pergi!" ajak Jebran.

Aku terpaksa pergi karena ajakan Jebran dan permintaan Dilan yang hanya ingin menyendirikan pada posisi penyesalannya.

Aku melihatnya di balik pintu yang akan tertutup.

Matanya masih merunduk, mengerut, dahi bergaris dengan tangannya mengepal kuat.

Kurasa dia benar-benar bersalah.

"Maafkan aku karena akulah awal dari semua ini," gumamku dalam hati.

Angin membawa kami pergi ke tempat yang sebaliknya tidak terjadi.

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?

Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.

Sekarang juga!

Follow juga ig : @rossy_stories.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.