Bab 27 Menahan Rindu.
Sudah lima hari sejak kepergian Arvin ke Yaman, namun tak sekali pun suaminya itu memberi kabar. Alara harus menahan nyeri dan juga kobaran rindu dalam hatinya. Bahkan beberapa pesan dan panggilan dari Alara seakan dialihkan. Pria itu sama sekali tidak ingin diganggu.
Beberapa hari memang, Arvin disibukkan dengan mencari hunian yang cocok dan sesuai dengan keinginan Erina. Akhirnya, selama empat hari itu, pencarian berakhir karena Erina sudah menemukan apa yang dia mau.
Erina lah yang selalu memberi kabar serta keadaan mereka disana. Sempat juga Erina menegur Arvin untuk menghubungi istrinya, namun di bantah jika dia pun sudah memberi kabar pada istri tak diharapkannya itu.
Alara hanya bisa menekan hasrat rindu ingin berjumpa atau pun sekedar mendengar suara manis prianya. Netranya menelusuri seluruh isi kamarnya, hingga menangkap satu buah figura dimana mereka tersenyum bahagia di hari pernikahannya. walaupun untuk Arvin sendiri terkesan terpaksa tersenyum.
Diambilnya benda tersebut, menatapnya lekat dan lama-lama berembun. "Mas, aku kangen! Apa kamu tidak kangen padaku? Apa kamu sudah melupakan, aku? Walau pun dihatimu belum ada diri ini, tapi tidak bisakah kamu memberiku peluang untuk mengisi relung hatimu, Mas!" Jari telunjuk kanannya mengusap lembut menyisiri bingkai foto suaminya. Setetes dua tetes akhirnya turun juga cairan bening melewati pipi.
"Ya Allah, maafkan aku jika aku terlalu mencintainya. Seharusnya aku tahu jika cinta seorang hamba paling besar di berikan kepada Engkau Tuhan. Tapi aku pun tak mengerti, perasaan takut kehilangan begitu besar merajai hati ini. Tolong ampuni aku Ya Rabb. Berikan yang terbaik untukku dan juga suamiku. Ridhoi setiap langkahnya, lancarkan segala urusannya. Dan yang pasti, lindungi dirinya dimana pun dia berada ya Allah. Amin."
Alara kembali meletakkan bingkai tersebut ke tempat asal. Tak berapa lama, terdengar bel pintu rumah menggema. "Siapa yang datang sepagi ini?" Tanyanya pada diri sendiri.
Tidak butuh waktu lama, suara tersebut tidak terdengar lagi. Mungkin bi Muna sudah membukakan pintunya. Alara tidak berniat untuk mengetahui siapa yang berkunjung sepagi ini. Ia pun beranjak bangun dari ranjang dan berjalan menuju balkon kamar.
Tok tok tok
Alara bisa menebak bila yang datang pasti Ansel. "Ck, kenapa dia datang sepagi ini?" diliriknya jam dinding menunjukkan pukul enam tiga puluh menit. Alara pun geleng-geleng kepala.
Dengan langkah terpaksa, dia pergi dari balkon dan membuka pintu kamarnya. "Non, dibawah ada Tuan Ansel," ucap Bibi setelah pintu terbuka.
"Iya Bi, saya akan segera turun." Bi Muna pun pamit undur diri setelah mendengar penuturan istri Tuannya.
Memakai kerudung instan, lalu turun dari kamar menemui Ansel. "Kakak! Kenapa pagi sekali datang kesini? Memang Kakak gak punya kerjaan, Sampai-sampai pagi buta sudah berkunjung ke rumah orang?" Ansel yang dicecar pertanyaan pun hanya tersenyum dengan wajah sok polosnya.
"Tidak perlu sekesal itu denganku! Setelah ini kamu pasti akan tersenyum." Ansel mengambil gawainya dan memulai panggilan video call. Hingga beberapa menit kemudian, panggilan itu tersambung. Alara yang tadinya tidak perduli langsung berubah sendu setelah mendengar suara seseorang yang dirindukan.
"Hai Arvin, kenapa kamu tidak pernah menghubungi istrimu? Apa kamu tahu? Karena sikapmu itu membuat seorang wanita menjadi galak setengah mati, dia seperti induk yang kehilangan itiknya. Astaga, rasanya aku tidak tahan jika harus selalu berada di dekatnya. Bisa dipastikan jika nanti aku akan habis dimakan olehnya. Bahkan dia melebihi singa kelaparan kalau sedang mengamuk," canda Ansel, berharap semua jadi membaik setelah dia hubungi Arvin. Dia tidak ingin melihat gadisnya sedih terus-terusan. Walau pun dia berusaha membuatnya gembira dengan berbagai cara, namun hal itu hanya cukup membuat Alara tertawa sejenak lalu kembali murung.
Air mata Alara mulai menganak sungai saat wajah tampan pria yang sudah membuatnya galau beberapa hari ini terpampang jelas dilayar benda pipih milik Ansel. "Mas!" satu kata yang mampu Alara ucapkan. Dia memang rindu, sangat rindu. Ingin sekali berbicara banyak hal tentang kegiatan apa saja yang dilakukannya selama beberapa hari ini, akan tetapi semuanya lenyap setelah. Dia Cuma ingin menikmati wajah itu sebelum berakhir.
"Hai Alara, apa kabarmu? Maaf jika aku sudah membuatmu khawatir karena tidak menghubungimu."
"Kamu jahat, Mas! Kenapa kamu sekali pun tidak mau memberi kabar padaku? Apa kamu tahu, bagaimana perasaanku karena tidak pernah mendapatkan balasan dari chat mau pun mengangkat telefonku? Mas, aku kangen." Arvin yang melihat ketulusan dimata Alara, sedikit menggoyahkan hatinya untuk pergi ke Australia. Ya, dia berniat akan menemui kekasihnya dan melamarnya sesuai janji yang dia buat untuk Zemira.
Keberangkatan akan dilakukan besok lusa. Entah perasaan seperti apa sekarang membuat Arvin sedikit tidak tega untuk mengkhianati pernikahannya. Seolah kembali sadar, dia meyakinkan diri untuk tetap melanjutkan rencananya yang sudah disusun dari awal.
"Kamu tidak boleh lemah, Vin! Kamu pasti bisa, sudah menjadi impianmu untuk hidup bersama orang yang selalu kamu cintai dan kini dia tengah menunggumu. Mantapkan hatimu, jangan pernah goyah," seru Arvin dalam hati.
Sesaat kemudian, lelaki yang bergelar suami itu merubah pandangan dari sendu menjadi datar dan dingin lagi seperti terakhir kali Alara lihat di Bandara waktu itu. Alara kecewa, dia pikir suaminya juga merindukannya. Akan tetapi, perubahan raut wajah Arvin menjawab semua pertanyaan yang ada di benaknya saat ini.
Kenyataan tersebut begitu menampar harga diri Alara. Sakit sebetulnya, namun Alara kembali berpikir positif. "Mungkin dia sedang lelah," batinnya. Sungguh munafik bukan? Sudah jelas dari mimik muka Arvin memperlihatkan jika pria itu sama sekali tidak merasakan hal yang sama seperti dirinya, tapi dengan menutup mata Alara mencoba memungkiri semua itu.
"Alara, aku tutup dulu ya! Sepertinya ibu memanggilku." Tidak mau menunggu jawaban dari Alara, Arvin segera mengakhiri sepihak panggilan tersebut. Alara sangat kecewa, bahkan rasa rindunya belum sepenuhnya terobati. Kali ini, cairan bening menetes semakin deras. Ansel yang melihatnya tidak tega. Dia sungguh berharap jika Arvin mau memberi waktu sedikit lebih banyak untuk gadis itu, tapi tidak. Arvin benar-benar egois.
"Alara," panggil Ansel lirih, namun Alara bergeming. Dia seolah tidak mendengar suara itu, dirinya terlalu sibuk meratapi diri dalam kerinduan dan segala sikap Arvin beberapa hari ini.
"Alara!" seru Ansel lagi, kali ini dengan tepukan dipundak wanita itu?
Alara seakan tersadar bila ada seseorang disebelahnya. Dia menoleh lalu memaksa mengembangkan senyuman. "Iya, Kak! Maaf, aku tidak mendengar panggilanmu tadi." Ansel pun hanya tersenyum, menikmati setiap ukiran di wajah ayu gadis di depannya ini.
"Bersiaplah, kita akan ke Bogor!" perintahnya. Alara mengernyit bingung.
"Mau apa kita ke Bogor, Kak?"
"Segeralah mandi untuk menghilangkan sisa air mata kesedihanmu itu! Kita akan bersenang-senang hari ini." Alara mengangguk, lalu berdiri dan berlalu dari hadapan lelaki yang setia menemaninya.
Tiga puluh menit, waktu yang cukup bagi Alara untuk bersiap. Dengan penampilan sederhana namun elegan, Alara sudah siap untuk pergi bersama Ansel. "Aku sudah siap, Kak!"
"Kita sarapan dulu, tadi aku lihat Bi Muna sudah menata piring dan makanan di meja makan!" ajaknya sambil berjalan ke ruang makan.
"Heran deh, perasaan makanan terus yang di ingat. Apa dirumahnya tidak ada makanan sehingga selalu makan dan makan saat bersamaku," gerutu Alara yang masih terdengar jelas di telinga Ansel karena memang jarak jalan antara keduanya tidak terlampau jauh.
Bukan maksud Ansel selalu mementingkan makanan saat bersama dengan Alara, hanya saja dia merasakan perbedaan kala mengisi perutnya jika ada Alara maupun sendiri. Bersama dengan Alara membuat hidangan di depannya semakin lezat. Entah lebay atau tidak, tapi baginya Alara membawa atmosfir tersendiri.
"Hidangkan cepat!" suruhnya setelah sama-sama duduk di kursi tempat mereka melakukan ritual mengisi lambungnya.
"Enggak, ah! aku kan bukan istrimu, Kak!" Tolak Alara merasa tidak perlu melayani Kakak sepupu suaminya itu.
"Kalau mau ambil sendiri, jika tidak ya terserah. Bukan aku yang lapar ini." Dengan cuek, Alara benar-benar tidak melaksanakan perintah Ansel. Dia mengisi sendiri piringnya dengan nasi goreng spesial buatan Bi Munah.
Pura-pura kesal, Ansel meraih sendok nasi sedikit kasar agar terkesan jika dirinya sedang marah. Namun tanpa sepengetahuan Alara, pria itu menyunggingkan senyum. Baginya, membuat istri dari sepupunya marah itu lebih bagus dibanding melihat gadis itu menangis. Dia tidak tahan jika menyaksikan seorang perempuan meneteskan air mata.
"Kamu benar-benar bodoh Vin telah menyia-nyiakan bidadari secantik Alara," rutuk Ansel dalam hati, pandangan masih belum mau terlepas dari wajah Alara yang tengah fokus sarapan.
"Habiskan sarapanmu, Kak! Mengamati wajahku tidak akan membuatmu kenyang." Ansel tersentak kaget. Pasalnya Alara berkata demikian tanpa menaikkan pandangannya untuk melihat Ansel, tapi kenapa dia bisa tahu jika dirinya tengah menelisik wajah Alara? Ansel pun salah tingkah. Tanpa menunda lagi, si mata Elang dengan hidung mancung itu memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
Dari dapur, Bi Muna melihat pertengkaran lucu keduanya. Wanita paruh baya itu pun tersenyum dengan pertengkaran kecil yang di ciptakan oleh Ansel demi menghibur Alara yang tengah gundah. "Andai saja yang menjadi suami Non Alara itu Tuan Ansel, pasti gadis itu tidak akan pernah sedih atau pun merasa kesepian seperti sekarang. Semoga kedepannya kamu mendapat kebahagiaan. Dan air mata yang mengalir bukan lagi kesedihan. Bibi hanya bisa mendoakanmu Non, Bibi sayang sama Non." Setetes bening mengalir begitu saja di wajah keriput perempuan tua itu. Mungkin karena jauh dari anak dan menantunya, maka menganggap Alara seperti putrinya karena kebetulan jarak umur keduanya tidak jauh beda.
Dengan memandang Alara tentu saja bisa mengobati kerinduan dirinya terhadap putra putrinya. Belum lagi kebaikan dan kelembutan dari Alara, sifatnya itu mampu membuat orang sekitar menyukainya begitu pula dengan Bi Muna. Lalu apa yang salah dengan Arvin? Kenapa dirinya begitu membenci istri secantik dan sebaik itu? Dan jawaban dari pertanyaannya akan dijawab oleh waktu. Mungkin lambat laun, mereka semua pasti akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Puas melihat dua muda mudi bertengkar, Bi Muna kembali ke tempat binatu untuk melanjutkan pekerjaan rutin setiap hari.