Sehan, Kayra dan Kayla yang mendengarnya pun langsung menggelengkan kepala lalu menghela nafas sebelum akhirnya salah satu di antara mereka berbicara.
"Sejak kapan kau peduli pada gadis itu, Sean?"
Sean yang sedang menundukkan kepala pun langsung mendongak memandang salah satu adik kembarnya yang saat ini sedang memandangnya dengan kesal.
"Apakah itu penting untukmu mengetahuinya?"
"Tch, kau benar-benar. Aku tidak pernah menyukai gadis itu, apa kau lupa kalau dia ---"
"DIAM!"
Semua orang tampak terkejut mendengar suara bentakan yang berasal dari seseorang yang berada di hadapannya saat ini. Juga tatapan Sean yang saat ini tertuju kepada Kayra dan kedua orang saudaranya itu yang sekarang di hadapannya.
"Apa kau tidak tahu betapa dia bersedih selama ini?!"
"Lalu aku harus apa, Sean? Apa aku harus peduli padanya? Kau juga tidak bisa seperti ini, dia tidak pantas mendapatkannya!"
"Dia pantas mendapatkannya, Kayra!"
"Kenapa dia harus mendapatkannya?!"
Kedua tangan Sean langsung mengepal kuat setelah mendengar apa yang baru saja di katakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini dengan tatapan tajamnya yang tidak pernah hilang.
"Karena dia juga anak ayah!" jawabnya dengan penuh penekanan.
Kemudian Sean memalingkan wajahnya ke arah lain dengan kedua mata yang terpejam bermaksud untuk meredakan emosinya sejenak sebelum akhirnya kembali memandang ketiga saudaranya tersebut dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Jangan pernah ada yang berani menyakitinya lagi!" ujarnya memperingatkan sebelum benar-benar berlalu pergi dari hadapan Sehan, Kayra dan Kayla yang masih berdiri di tempatnya menatap kepergiannya tersebut.
***
Dengan perlahan seorang gadis mulai membuka kedua matanya dan terkejut ketika menyadari bahwa ini bukanlah berada di kamar membuatnya langsung menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati pria yang begitu dikenalinya tersebut sedang tertidur.
"Kak David," panggilnya pelan.
Sementara itu pria tersebut yang menyadari adanya suara dari seseorang membuatnya langsung bangun dari tidurnya lalu mendongak memandang sang gadis yang ternyata memang sudah sadarkan diri.
"Oh, Celine, akhirnya kau bangun juga. Apa kau tahu? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."
"Kakak," panggil Celine dengan suara seraknya. "Aku di mana?"
"Kau sedang berada di rumah sakit, Celine." David tersenyum tipis dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan dan mengusap puncak kepala adiknya. "Jangan khawatir, ya."
"Tapi kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah aku sedang berada di kamar?"
"Kau demam tinggi, Celine. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu, maka dari itu aku dan Jane memutuskan untuk membawamu pergi ke rumah sakit supaya tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan."
Kening Celine berkerut. "Jane?" tanyanya. "Siapa yang kakak maksud?"
Mendengar itu membuat David langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali berbicara. Pria itu mendadak lupa kalau Celine belum pernah bertemu dengan sahabatnya tersebut sehingga ia secara perlahan harus memperkenalkan Jane kepada sang adik tersayangnya yang satu ini. Lebih senang lagi jika ternyata gadis itu dan sahabatnya bisa cukup dekat seperti yang dirinya harapkan.
"Dia adalah ---"
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka membuat David dan Celine langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara ketika mendengar seseorang yang memanggil nama pria itu.
"David, maaf aku terlambat. Kau pasti menungguku terlalu lama, kan?"
"Oh, Jane." Pria itu langsung berdiri dari duduknya setelah beberapa saat kembali memandang adiknya sendiri sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mendekati seorang wanita yang terlihat kesulitan membawa beberapa barang bawaan. "Tidak apa-apa, aku mengerti dirimu. Apa ini? Kenapa ada begitu banyak sekali?"
"Aku sengaja membawanya hanya untuk Celine," ujar Jane tersenyum. "Tidak masalah, kan? Aku bahkan membuatkan beberapa cake kesukaannya."
David yang mengetahui hal tersebut langsung menghela nafas sejenak sebelum akhirnya membantu menyimpannya. Kemudian menoleh ke arah Jane dengan senyum yang tidak pernah pudar.
"Terima kasih, Jane. Kau benar-benar sangat peduli pada adikku," ujarnya lalu menoleh ke arah di mana Celine berada dengan senyumannya tersebut. "Celine, ayo perkenalkan dirimu. Ini adalah orang yang ku maksud, dia adalah ... Jane."
Sementara itu Jane yang mendengarnya langsung tersenyum sembari melangkahkan kakinya mendekat ke brankar untuk bertemu dan bisa menyapanya dengan lebih dekat lagi kepada Celine.
"Hay, Celine."
Akan tetapi gadis itu malah hanya diam saja sembari memandang seseorang yang berada di hadapannya saat ini yang sedang tersenyum kepadanya membuat David kebingungan.
"Celine," panggil David. "Kenapa kau hanya diam saja?"
"Kak David."
Celine tiba-tiba kembali merasakan sakit di kepalanya sehingga membuat Jane dan David benar-benar merasa khawatir terhadapnya.
"Ada apa, Celine? Apakah kepalamu sakit?" tanya pria itu yang langsung diangguki oleh Celine. "Apakah kau merasa pusing?"
"David, aku akan memanggil dokter terlebih dahulu, ya?" ujar Jane.
"Ya sudah."
Pada akhirnya Jane pun berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter, sedangkan David masih berada di dalam ruangan sedang menemani Celine sembari memastikan bahwa adiknya akan baik-baik saja.
"Tenanglah, Celine. Sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksakan keadaanmu, jadi bertahanlah."
Beberapa saat kemudian dokter pun datang dengan suster yang menemaninya. Akan tetapi David dan Jane harus menunggu di luar agar mereka bisa melakukan tugasnya dengan fokus.
Saat ini di luar ruangan, David benar-benar terlihat sedang mencemaskan adiknya yang membuat Jane yang mengetahui hal tersebut langsung membawa pria itu ke dalam pelukannya.
"David, aku yakin kalau ... adikmu pasti baik-baik saja. Mungkin dia terkejut karena ini adalah kali pertamanya bertemu denganku."
Mendengar itu membuat pria tersebut langsung melepaskan pelukannya sembari menggelengkan kepala karena tidak terima dengan apa yang baru saja di katakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Tidak, ini tak ada hubungannya denganmu, Jane. Ini juga bukan salahmu, jangan berkata seperti itu. Mungkin Celine memang kurang beristirahat, tetapi aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya."
"Maafkan aku, tetapi ... aku hanya sedikit merasa bersalah saja atas apa yang baru saja terjadi."
Jane menundukkan kepalanya dengan lesu, sedangkan David menggelengkan kepalanya. Hingga beberapa saat kemudian wanita itu kembali memandang seseorang yang berada di hadapannya saat ini seakan hendak mengatakan sesuatu.
"David," panggil wanita itu. "Kenapa kau seperti sedang meragukannya?"
Sontak David yang semula sedang melamun pun langsung menoleh untuk menatap seseorang yang baru saja berbicara kepadanya itu. Pria tersebut memandang Jane yang saat ini sedang memandangnya.
"Entahlah, aku sebenarnya tidak ingin seperti ini, tetapi tak tahu kenapa aku merasa kalau Celine sedang menyembunyikan sesuatu dariku."
"Ku pikir ... kau cukup dekat dengannya, jadi mungkin saja kau mengetahui semua tentangnya."
Memang seharusnya begitu, tetapi David sangat menyayangkan hal seperti itu karena pada kenyataannya ia tidak begitu dekat dengan sang adik dan dirinya merasa bersalah sebagai seorang kakak karena tak mengetahui apapun tentang Celine.
"Tidak, karena pada saat aku berumur 17 tahun, aku memutuskan untuk pergi dari rumahku sendiri dan meninggalkannya yang masih berada di dalam kandungan. Saat itu aku tak berpikir apapun selain ketika Celine terlahir nanti, dia akan menjadi sosok yang begitu disayangi oleh keluargaku.
Tetapi baru saja aku mengetahui sebuah fakta yang benar-benar membuatku terkejut dan merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik untuknya. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri pada saat ini, Jane."
Setelah itu Jane tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dimaksud oleh David tentang adiknya tersebut. Wanita itu bahkan tak melepaskan pandangannya sedari tadi dari seseorang yang bersamanya saat ini.