Chereads / Megan dan Mark / Chapter 10 - Berkunjung ke Calon Mertua

Chapter 10 - Berkunjung ke Calon Mertua

Pagi yang cerah di Kota Yogyakarta, Mark mengawali hari dengan senyuman di wajahnya. Lelaki tampan itu sudah siap untuk pergi. Mark bergegas menjemput Megan dengan taksi untuk pergi ke stasiun kereta api. Mark terlihat tak sabar segera bertemu calon mertuanya. Sepanjang perjalanan menuju ke stasiun kereta api selalu disertai obrolan hangat sepasang kekasih itu.

"Sayang, aku sudah membawa beberapa buah tangan. Apakah mau membelikan suatu yang lain?" tanya Mark dengan lembut kepada kekasihnya. Sejak pertama kenal hingga saat ini, Megan mampu membuat Mark selalu terpesona dan jatuh hati padanya.

"Ha ha ha ha ... kamu lucu, Mark. Kalau bicara jadi formal. Nggak Mark, itu sudah cukup banyak." Megan tertawa sambil menunjuk sebuah tas besar berisi oleh-oleh.

"Ah, sayang, bikin malu aja!" kata Mark tersipu malu.

Saat sampai stasiun, Mark dan Megan segera turun dari taksi. Mereka segera mengecek tiket yang sudah dipesan kemarin dan menukarkannya ke loket pemberkatan. Setelah ke loket, akhirnya mereka bisa berjalan menuju kereta tujuan.

Akhirnya sampai di dalam kereta. Megan dan Mark mencari kursi sesuai nomor tiket, lalu duduk di sana. Perjalanan menuju Jawa Barat sangat menyenangkan. Dua sejoli yang dalam ikatan asmara ini semakin semangat karena perkenalan kepada orang tua Mark membuahkan hasil yang baik.

"Sayang, aku gerogi," bisik Mark sambil memegang tangan Megan. Kereta mulai berjalan perlahan dan membuat detak jantung Mark semakin tak karuan.

"Tumben gerogi?" tanya Megan yang kemudian menatap kekasihnya.

"Iya, mau bertemu orang tua calon istriku. Jelas gerogi, lah. Oiya, cerita sedikit donk tentang Papa Mamamu, sayang." Mark ingin mengetahui lebih dahulu tentang keluarga Megan sebelum bertemu secara langsung. Selama ini Megan sangat tertutup soal keluarganya.

Megan pun menatap lurus seakan matanya berkaca-kaca. Dia harus mengatakan hal ini, meski sedikit terlambat. "Maaf, Mark, apakah aku belum mengatakan bahwa aku tidak punya ayah? Aku hanya bersama Bundaku sejak bayi, emm, sepertinya sejak aku di dalam kandungan Bunda," jawab Megan yang kemudian menunduk sedih dan merasa tak enak hati.

Mark tak ingin melukai hati kekasihnya. "Maaf, sayang. Jangan sedih. It's ok. Aku menerimamu apa adanya. Kamu dan Bundamu adalah perempuan yang hebat," ujar Mark yang langsung memeluk Megan. Dia tak ingin calon istrinya bersedih hati.

Megan pun segera membalas memeluk Mark. "Bundaku orang biasa. Hidup sendiri membesarkanku tanpa bantuan siapa pun. Oleh karena itu, aku tidak ingin mengenalkanmu sebelum hubungan kita ada kepastian. Aku tidak ingin Bundaku terluka," jelas Megan yang berada di dalam pelukan Mark.

Mark semakin erat memeluk kekasihnya itu. Seakan sangat mengerti yang Megan rasakan Mark pun berkata, "Sabar Megan, aku tidak akan mengecewakan kamu dan Bundamu. I'm promise." Mark mengecup kening Megan.

Rasa cinta Mark terlalu dalam. Apa pun keadaan Megan, Mark sudah berjanji menerimanya. Perjalanan dalam kereta api itu berhenti siang hari saat sudah sampai ke stasiun tujuan. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan taksi menuju rumah Laura-Bundanya Megan.

"Bunda, Megan pulang!" seru Megan di depan pintu. Namun, rumah minimalis bercat biru itu sangat hening dan sepi.

"Oh, Megan, sayang. Ibu sedang memasak. Sini, masuk," jawab Laura yang bergegas ke ruang tamu.

Alangkah terkejutnya, Laura melihat Megan bersama pemuda gagah di sampingnya, "Loh, Megan ajak teman? Kok, tidak bilang Bunda dulu? Maaf, ya, rumahnya berantakan." Laura membereskan beberapa pakaian hasil jahitannya yang masih ada di ruang tamu.

"Maaf, Tante kalau mengganggu, perkenalkan nama saya Mark," kata Mark sambil mengulurkan tangannya.

Laura bergegas meraih tangan itu, "Iya, Nak. Saya Laura, bundanya Megan."

"Bunda, ini ada oleh-oleh dari Mark. Aku bawa ke dapur, ya. Bunda di sini saja ngobrol sama Mark," ucap Megan yang bergegas ke dapur membawa satu tas besar berisi oleh-oleh.

"Jam berapa dari sana, Nak Mark?" tanya Laura membuka percakapan, sebelumnya dia sudah mempersilahkan Mark duduk.

"Pagi, Tante. Sekitar pukul 08.00 naik kereta. Tante, bagaimana kabarnya?" kata Mark yang merasa gugup berbicara dengan calon mertuanya.

"Baik, Nak. Kamu teman kerja Megan?"

"Oh, bukan Tante. Saya ...."

"Ini minumnya Mark, Bunda. Aku buat Teh. Oh, iya, masakan Bunda sudah matang," ucap Megan yang datang membawa tiga cangkir teh serta menyela percakapan Mark dan Laura.

Laura pun tersenyum menatap gadis kecilnya yang sekarang tumbuh dewasa. Laura menyadari, memiliki seorang putri cepat atau lambat pasti kehilangan. Ketika seorang lelaki hendak meminang putrinya, mampukah seorang ibu menahannya?

"Ehm, Tante. Maksud kedatangan saya ke sini, saya mau berkenalan dengan Tante sekaligus memberi kabar baik. Saya kekasih Megan. Seminggu yang lalu saya melamar Megan di depan orang tua saya. Saya pun ingin meminta restu Tante Laura," jelas Mark yang seakan menghentikan detak jantung Laura.

"Hal yang aku takutkan datang juga. Tak mungkin aku menahan Meganku. Pemuda ini terlihat baik, sopan dan bertanggung jawab," batin Laura sambil melihat Mark.

Laura hanya bisa merestui hal itu jika Megan bahagia maka dia pun bahagia. "Ya, Nak Mark. Tante merestuinya. Tante yakin pilihan Megan yang terbaik untuk masa depannya," jawab Laura dengan mata berbinar-binar.

Megan pun langsung memeluk bundanya. Terharu bercampur sedih membuat Laura meneteskan air mata.

"Terima kasih Tante. Saya akan menjaga kepercayaan Tante," kata Mark dengan yakin dan sangat bahagia mendengar jawaban Laura.

Mereka pun melanjutkan berbincang, lalu makan siang bersama. Beberapa kali Laura memperhatikan Mark dengan saksama. Seperti pernah melihat wajah itu. Setelah selesai makan siang, Mark dan Megan mengajak Laura jalan-jalan ke beberapa tempat wisata.

Mereka memang tidak bermalam di rumah Laura. Tiket kereta sudah di pesan keberangkatan tengah malam, agar sampai Yogyakarta esok pagi. Siang sampai malam dilalui mereka bertiga dengan bahagia. Mark merasa semakin mantap segera melamar Megan. Laura pun senang melihat putrinya bahagia bersama pemuda pilihannya.

***

Yogyakarta, di sebuah apartemen ....

"Ahh, Om sudah hentikan. Om ...." desah Luna saat Justin melahap tubuhnya. Semakin lama kelakuan mereka semakin menjadi.

Hubungan mereka berlanjut dengan menyewa apartemen mewah yang bisa sesuka hati digunakan untuk melepas nafsu. Entah mengapa, Luna ketagihan sentuhan Justin. Meski saat melakukan selalu terbayang wajah Mark, Luna menikmati semuanya. Justin pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas menikmati tubuh wanita seumuran anaknya.

Kedua manusia itu hanyut dalam permainan membara yang berujung dalam dosa. Sedangkan Maya sama sekali tak mengetahui hal ini. Maya sibuk mengurus berbagai urusan kantor yang terbengkalai karena kesehatan Justin belum stabil.

Justin dengan leluasa pergi ke mana pun yang dia mau karena istri dan anaknya sibuk. Lagi pula, bukannya Luna juga menginginkan hal ini? Justin tidak tahu jika dirinya sedang dijebak.

Akankah perbuatan terkutuk Justin dan Luna terbongkar? Atau justru Luna bisa mendapatkan Mark dengan bantuan Justin dan Maya?