#Flashbackoff
Hari itu, tak seperti biasa, Maya tak tenang saat mengikuti meeting. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Padahal, Mark sudah bilang hendak pergi ke rumah Megan dan Maya pun selalu berkomunikasi untuk memastikan putra semata wayangnya baik-baik saja.
Mark dan Megan sampai di sana dengan selamat kemarin. Mereka juga sudah menghubungi Maya akan sampai Yogyakarta pagi atau siang ini. Namun, perasaan tak tenang itu masih ada. Rasa tak menentu, gelisah tak menentu. Maya yang bingung pun memutuskan untuk pulang lebih awal.
Maya menelepon sopir pribadinya untuk segera stand by. Tidak sampai sepuluh menit, Maya pun bisa pulang dari kantornya. Selama Justin sakit, semua pekerjaan Maya yang menangani. Wanita itu tidak pernah mengeluh soal pekerjaan, baginya sama saja mengurus perusahaan atau tidak.
"Pak, Justin ada di rumah, 'kan?" tanya Maya pada sopir pribadinya.
"Oh, anu Nyonya. Tadi Tuan pergi," jawab sopirnya.
"Pergi ke mana? Dengan siapa?" selidik Maya secara detail, khawatir masa lalu terulang lagi.
"Tadi Tuan pergi naik taksi, Nyonya. Kurang tahu ke mana perginya."
Maya pun curiga kepada Mark. Mungkin asal dari rasa gelisahnya justru pada suaminya sendiri. Seperti yang sudah-sudah, tiap dia merasakan gelisah, suaminya sedang main gila dengan wanita lain. Apakah akan terjadi lagi luka masa lalu yang terus menerus terulang?
"Apakah kamu melakukan itu lagi? Kenapa kamu tidak berubah?" tanya Maya dalam hati yang menduga suaminya kembali tak setia.
Padahal usia mereka tak lagi muda, tetapi Maya tak habis pikir kenapa Justin masih saja seperti itu. Sebenarnya apa yang dia cari? Apa yang dia inginkan? Apakah dia terlalu maniak dengan tubuh wanita muda? Hingga dia selalu saja berulang kali selingkuh tanpa benar-benar menyesal.
"Nyonya, sudah sampai," kata sopir membuyarkan lamunan Maya.
"Oh, iya. Terima kasih, Pak," ucap Maya yang keluar dari mobil. Dia segera masuk ke dalam rumah.
Saat masuk ke rumah, Maya pun bergegas ke kamar lantai atas. Berharap Justin sudah berada di sana, tetapi hasilnya nihil. Justin tak ada di sana. Maya pun turun lagi, dia memilih kembali ke kantor daripada makin bingung dengan rasa curiganya.
Saat hendak keluar, Mark pulang dari perjalanannya ke Jawa Barat. "Loh, tumben Mama di rumah siang hari?" tanya Mark yang kaget melihat mamanya.
"Oh, iya, Mama kira kamu sudah pulang. Ini Mama baru saja dari kamarmu," jawab Maya beralasan agar anaknya tidak curiga.
"Maaf, Ma. Tadi Mark antar Megan pulang dulu jadi agak lama karena naik taksi. Mama tidak ada meeting, kah, hari ini?" Mark meletakkan tasnya di sofa. Lalu, lelaki tampan itu segera memeluk mamanya. Memberi rasa nyaman dari kecurigaan yang tengah Maya rasakan.
"Terima kasih, Mark. Kamu selalu ada di saat yang tepat. Mama hampir saja khawatir," ucap Maya dengan lirih saat anaknya memeluk erat.
"Khawatir kenapa, Ma? Oh, iya, Papa di mana, Ma?"
Mendengar pertanyaan Mark, Maya pun terdiam sejenak. "Emm, Mama nggak tahu. Mungkin Papa ada perlu, soalnya ...."
"Loh, Papa pergi? Kan, masih sakit? Lagi pula Papa udah nggak kerja karena masih sakit. Kok, malah pergi? Bentar, biar Mark telepon," ujar Mark yang meradang. Pantas saja Mama Maya siang hari ke rumah, ternyata Papa Justin malah keluyuran entah ke mana. Mark sudah sejak lama tahu papanya menyimpan banyak rahasia dan mamanya selalu menutupi.
Kali ini jika Justin terbukti bersalah lagi, Mark tak akan segan-segan menghantam wajah papanya sendiri. Mark tak tega melihat mamanya yang sering bersedih sejak Mark masih kecil. Berkali-kali Mark mencoba menelepon papanya. Namun, teleponnya tidak diangkat. Mark pun makin geram.
"Mark, sudah nggak apa. Mungkin Papamu mencari udara segar, jadi jalan-jalan dulu dengan taksi. Mama kembali kantor saja," ucap Maya tak ingin anaknya ribut dengan suaminya.
"Ma, ada yang Mama sembunyikan dari Mark? Apa Papa kambuh lagi penyakitnya?" selidik Mark pada Mama Maya.
"Penyakit apa? Kan, sama dokter sudah boleh pulang. Sudah sembuh."
Mark menatap tajam ke Mamanya. "Bukan penyakit itu. Tapi ... hmm, apakah Papa selingkuh lagi?"
Pertanyaan dari Mark seakan menusuk hati Mama Maya. Maya terdiam sejenak karena kaget dengan pertanyaan Mark.
"Mark, jangan berkata begitu. Papamu itu bukan orang yang---"
"Ma, Mark sudah dewasa. Selama ini mungkin Mama menutupi kesalahan Papa. Tetapi lama kelamaan, siapa orang yang tak peka melihat kenyataan itu. Mark juga lelaki, Ma. Mark tahu gerak-gerik Papa yang mencurigakan. Bagaimanapun Mama menyembunyikan sedih itu, Mark pun tahu jika Mama terluka. Ma, jika kali ini Papa selingkuh lagi, lebih baik Mama pisah saja. Mama berhak bahagia." Mark menyela perkataan Maya dan tanpa disadari mengungkapkan hal itu pada Mama Maya.
"Tapi Mark, kasihan Kakek Nenekmu ... Mama bertahan untuk menjaga perasaan kalian semua," jawab Maya tak ingin melukai hati keluarganya.
"Lantas, Mama korbankan hidup Mama sendiri? Sudah sejak Mark kecil, kan, hal ini terjadi? Mark masih ingat saat Papa jemput Mark dengan wanita lain. Papa bilang wanita itu saudara, nyatanya? Mark melihat sendiri Papa mencium wanita itu dengan penuh nafsu di mobil. Menjijikkan!" jelas Mark yang mulai emosi mengingat hal yang pernah terjadi.
"Mark ... maafkan Mama. Maafkan Papa. Jangan benci Papamu, Mark," ucap Maya dengan lirih sambil mengusap lengan anaknya.
"Ma, kalau kali ini curiga Mama terbukti, ikuti saran Mark. Jika Mama Papa berpisah, Mark akan selalu bersama Mama, tenang saja," tegas Mark untuk terakhir kali.
Setelah itu mereka berbincang sebentar dan Mark pamit ke kamar untuk istirahat karena lelah dari perjalanan jauh. Apalagi perjalanan dengan kereta, sangat melelahkan karena duduk dalam waktu yang lama. Mark tidak habis pikir kenapa papanya masih saja menyebalkan.
Maya pun kembali ke kantor dengan hati berkecamuk. Jika kali ini suaminya terbukti selingkuh lagi, tidak hanya Maya yang akan terluka. Keluarganya dipertaruhkan karena Mark sudah membuat keputusan yang tak bisa Maya tolak. Lagi pula, sekian lama Maya berharap Justin berubah, nyatanya selalu kembali seperti ini.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju kantor, Maya memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika mereka bercerai. Papa Alex dan Papa Aldo pasti akan marah besar pada Justin. Kemungkinan besar para algojo dan bodyguard dikerahkan untuk menghajar Justin seperti masa lalu saat Justin ketahuan selingkuh dan Maya jujur mengatakannya.
"Setelah puluhan tahun, mengapa harus terjadi lagi? Tidakkah kau puas hancurkan hati dan hidupku, Justin?" batin Maya menjerit saat di perjalanan sambil menatap luar dari kaca mobil.
Tak sengaja, Maya melihat Justin yang masuk dalam mobil bersama seorang wanita. "Pak, menepi dulu, bisa?" kata Maya mendadak pada sopirnya.
"Ba-baik, Nyonya." Sopir pun berusaha menepi sebisa mungkin.
Maya masih menatap tanpa berkedip. Ya, itu benar suaminya! Namun, siapa wanita yang bersama suaminya itu? Sepertinya Maya mengenalnya.