Saat Mark melangkah menuju ujung koridor tepatnya di sebelah kanan untuk melihat apakah benar tempat itu merupakan kamar apartemen milik papanya, ponsel Mark berdering tiba-tiba membuat kaget. Pria yang menggunakan kaos berwarna hitam press body dan celana kain warna abu tua itu pun segera mengangkat panggilan telepon yang masuk.
"Hallo, ada apa, Megan?"
"Hallo, Mas Mark, ya?"
"Iya, ini siapa, ya?"
"Ini dari rumah sakit mau memberi kabar kalau Mbak Megan saat ini berada di unit gawat darurat karena mengalami kecelakaan di persimpangan tadi. Nomor telepon Mas masuk di panggilan terakhir jadi kamu menghubungi Mas Mark lebih dahulu."
"APA? Oke di rumah sakit mana? Aku segera ke sana."
Mark terkejut dan tangan pria itu gemetar mendengar kabar buruk yang secara tiba-tiba muncul. Tidak memikirkan lagi soal kemungkinan dari perselingkuhan papanya, Mark bergegas naik lift dan menuju keluar apartemen tersebut untuk segera ke tempat parkir mobil. Mark begitu ketakutan mendengar kabar itu karena khawatir pacarnya mengalami kondisi yang buruk.
Sepuluh menit yang lalu, Megan sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit dengan menggunakan taksi, tetapi saat lewat persimpangan jalan tiba-tiba ada bis melaju kencang dan menyerempet taksi tersebut. Seketika mobil taksi oleng dan menabrak perbatasan jalan dekat trotoar dengan kencang. Kondisi Megan saat ini tidak sadarkan diri karena benturan yang keras.
Sedangkan di dalam kamar, Luna yang sedang 'digarap' oleh Justin merasa seperti mendengar suara Mark. "Om, kok, aku denger suaranya Mark?"
"Ah, kamu ini ... Terlalu ngebet sama anak Om, ya? Baru Om pakai juga masih inget Mark. Sudah, jangan pikir Mark dulu," jawab Justin yang sedikit merasa tersinggung karena wanita cantik yang saat ini berada di bawah tubuhnya justru memikirkan putranya.
"Maaf, Om. Aku kira Mark ... Ahh ... Tahu tempat ini .... aaahhh ...."
Luna yang masih mencoba untuk menjawab kalimat tersebut pun akhirnya melenguh keras karena nikmat yang diberikan oleh Justin. Mereka melakukan hal itu sepanjang hari karena Justin merasa aman istri dan anaknya sudah mengatakan kalau akan sibuk sepanjang hari ini. Pria itu tidak tahu sama sekali kalau Mark sudah sampai di depan pintu kamar apartemen tersebut.
***
Mark sudah sampai di unit gawat darurat rumah sakit tempat Megan bekerja dan dirawat saat ini. "Dokter, bagaimana kondisi Megan?"
"Kondisi Megan saat ini belum stabil dan belum sadarkan diri, tetapi kami sudah memeriksa tidak ada retak atau patah tulang. Mungkin karena syok atas benturan yang cukup keras di mobil serta beberapa memar karena kecelakaan tersebut. Apakah bersedia kalau Megan rawat inap?"
"Ya, setuju. Silakan rawat inap dan berikan yang terbaik."
Mark langsung menghampiri ke arah Megan yang terbaring dan sudah mendapatkan perawatan dengan baik. Selang oksigen berada di hidung wanita itu, tetapi mata masih terpejam yang menandakan kalau belum sadar sama sekali. "Sayang, kenapa bisa kecelakaan seperti ini? Sayang, cepat bangun, ya. Aku mohon."
Mark menggenggam erat tangan kekasihnya yang masih belum sadarkan diri. Pria itu merasa menyesal karena sudah tidak menepati janji untuk menjemput dan mengantar Megan ke rumah sakit hanya karena prasangka dan mencoba untuk mengetahui apakah benar ada perselingkuhan yang dilakukan papanya. Mark rasa menyesal dengan kejadian pagi ini.
Megan pun dibawa ke bangsal kelas VIP karena merupakan dokter tetap di rumah sakit tersebut. Mark menemani dan merasa begitu gelisah, tetapi tidak bisa memberitahu siapa pun karena takut ibunya Megan akan khawatir ketika mengetahui kabar ini. Namun ternyata berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat apalagi diliput oleh media massa. Semua barang bawaan Megan sudah dititipkan ke Mark oleh orang yang menolong.
Sopir taksi juga mengalami luka yang cukup serius dan mendapatkan pengobatan di rumah sakit yang sama. Namun pengobatan dari sopir taksi itu menggunakan jaminan kesehatan dan juga bantuan karena kecelakaan dibuat oleh bus yang ugal-ugalan. Sedangkan sopir bus akhirnya sudah diamankan oleh polisi yang menjadi saksi kunci dan juga pengatur lalu lintas yang berada di persimpangan jalan.
Sekitar dua jam kemudian, Megan mulai sadarkan diri dan membuka matanya perlahan. "Mark ...."
"Ya?! Megan? Kamu sudah bangun?!" Mark terkejut mendengar suara lirih dari wanita yang dia cintai saat ini sudah mulai sadarkan diri.
Mark bergegas menekan tombol panggilan untuk paramedis agar segera memeriksa kondisi Megan yang sudah sadar. Megan membuka mata dan melihat ada Mark di sampingnya. Terlihat wanita itu tersenyum menatap Mark.
"Syukurlah kamu di sini. Aku kira malaikat yang ada di sampingku," ucap Megan dengan lirih.
"Jangan bilang seperti itu. Aku sangat takut saat mengetahui kamu kecelakaan dan bergegas untuk ke rumah sakit ini melihat kondisimu. Maafkan aku yang tadi tiba-tiba tidak jadi menjemputmu di kontrakan. Andai tadi aku mengantarkan kamu kerja pasti tidak akan terjadi hal seperti ini." Mark merasa bersalah dengan diri sendiri karena kejadian tersebut membuat Megan mengalami kecelakaan.
"Bukan salahmu ... aku tidak apa-apa, kok."
Perawat dan dokter masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa terlebih dahulu kondisi Megan karena sudah sadarkan diri. Mark mundur dan melihat dari dekat pintu. Pemeriksaan paramedis tidak membutuhkan waktu yang lama karena dalam waktu sepuluh menit sudah selesai.
"Kondisi pasien baik, hanya ada memar dan juga syok trauma karena kecelakaan. Akan memberi infus untuk vitamin dan tambahan cairan agar keadaan bisa segera membaik."
"Terima kasih, Dokter," jawab Mark yang merasa bersyukur karena Megan baik-baik saja.
Setelah paramedis keluar dari ruangan bangsal, Mark segera menghampiri Megan. "Syukurlah, ya, Tuhan. Kamu baik-baik saja, Sayang."
"Iya, aku sudah bilang kalau aku baik-baik saja, tapi kamu tidak percaya. Apa kamu lupa kalau aku ini dokter?" Megan tersenyum padahal kepalanya terasa sakit entah karena apa. Wanita itu menolak untuk scan kepala karena takut ada hal buruk yang terjadi.
"Iya, iya, aku percaya. Tapi kamu tetap harus melakukan rawat inap di sini agar mengetahui kondisi jauh lebih baik dan stabil baru kamu boleh pulang. Gimana?"
"Iya, oke. Eh, terus bagaimana dengan nasib sopir taksi tadi? Kecelakaannya tiba-tiba dan aku sedikit kurang paham apa yang terjadi."
"Kamu nggak usah khawatir karena sopir taksi itu selamat serta mendapatkan penanganan dari rumah sakit ini sesuai dengan jaminan kesehatan yang dimiliki. Kalau sopir bus yang ugal-ugalan itu sudah ditangkap oleh pihak kepolisian. Tadi taksi yang kamu naiki terserempet bus dan mengalami bentukan yang cukup keras." Mark membelai lembut rambut Megan dengan penuh perasaan.
"Terima kasih, ya, Mark. Oh iya, kamu nggak kasih tahu Bundaku, kan?" Megan jadi teringat tentang ibunya dan takut ibunya khawatir kalau tahu Megan baru saja kecelakaan.
"Nggak, dong. Aku tahu kamu sayang sama Bunda dan nggak mau Bunda khawatir." Baru saja Mark menutup mulut, tiba-tiba ada telepon masuk di ponsel Megan.
"Tolong ponselku, Mark," pinta Megan yang masih sulit bergerak.
"Ya, ini," jawab Mark sambil mengambil ponsel dari atas meja dan memberikan kepada Megan.
"Hallo?"
"Megan? Kamu kenapa, Nak? Bunda lihat di televisi ada berita kecelakaan di Yogyakarta dan ciri-ciri korbannya seperti kamu. Kamu kenapa?" Laura baru saja lihat berita dan terkejut dengan hal itu.
"Ah, berita apa, Bunda? Megan sedang kerja dan baik-baik saja," jawab Megan berdusta sambil meletakkan satu jari telunjuk di depan bibir menghadap ke Mark bertanda untuk diam. Mark pun menjawab dengan anggukan kepalanya.
"Oh, kamu sedang kerja? Maaf kalau Bunda mengganggu pekerjaanmu karena khawatir melihat berita di televisi baru saja. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, jadi Bunda merasa tenang."
"Iya, Bunda. Aku baik-baik saja."
"Iya, semangat bekerja, ya. Bunda sayang sama kamu, Megan."
"Megan juga sayang sama Bunda."
Panggilan telepon itu pun berakhir dan Megan meneteskan air mata saat menyerahkan ponselnya kepada Mark. "Aku jadi merasa bersalah sudah bohongi Bunda, tapi aku nggak mungkin cerita kalau habis ngalami kecelakaan pasti Bunda bakal khawatir."
"Iya, Sayang. Aku paham, kok. Sabar, ya."
Mark merasa tidak tega juga melihat Megan yang meneteskan air mata. Terlihat jelas kalau wanita itu mencoba untuk tidak berdusta tetapi merasa tidak tega juga kalau ibunya tahu kecelakaan tersebut benar-benar menimpa dirinya.