"Apa yang harus disepakati kalau perjanjian ini berlangsung?" tanya Adnan.
"Kamu harus menikah dengan saya."
Percakapan kemarin terus melintas di pikiran Adnan. Bisa-bisanya Gladys mengambil kesempatan dalam kesempitan. Disaat perusahaannya sedang sekarat-sekaatnya, gadis itu menawarkan kerjasama dengan perusahaannya dengan syarat Adnan harus menikah dengannya.
"Syarat macam apa itu?" kata Adnan protes pada dirinya sendiri.
Daripada memusingkan Gladys yang tidak penting, Adnan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk.
Sebagai perusahaan Parfum ternama, Aditya GROUP menjadi perusahaan nomor satu se-Asia tenggara. Banyak pelanggan yang menanti-nanti produk baru dari perusahaan tersebut. Namun sudah setengah tahun merea terlambat dalam peluncuran produk baru, yakni karena sahabat Adnan yang membawa lari uang perusahaan juga kecurangan-kecurangan perihal keuangan lainnya sehingga banyak perusahaan yang bekerjasama dengan Aditya GROUP menarik kembali kontrak mereka.
Pagi ini, jadwal Adnan sangat padat. Ia harus meeting berkali-kali dengan berbagai kepala perusahaan untuk meyainkan perusahaan tersebut mempertahankan kontraknya, juga mencari perusahaan baru untuk diajak bekerja sama sebagai pengganti mereka-mereka yang memutukan kontrak kerjasama. Laki-laki itu bersandar pada kursinya yang besar, pikirannya kacau balau tentang nasib perusahaan ini kedepannya. 50 tahun Aditya GROUP berdiri kenapa saat dirinya menjabat muncul masalah sebesar ini? Bukan hanya Papanya, Kakeknya pun pati kecewa karena perusaahaan yang beliau bangun dari nol mendadak bangkrut karena kecerobohannya,
"Maaf Bu, saya udah bilang untuk …."
Suara Sissy terdengar bertepatan dengan terbukanya pintu ruangan. Adnan mengangkat kepalanya, ia mendapatkan sosok Gladys memasuki ruangannya.
"Kenapa?" tanya Gladys berdiri di depan meja Adnan. "Kamu terkejut dengan kehadiran saya yang tiba-tiba?" gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada, alisnya terangkat sebelah menanti respon apa yang akan laki-lai itu keluaran.
Namun, tidak sesuai harapan. Wajah Adnan datar-datar saja.
"Maaf Pak Adnan, saya sudah memberitahu Bu Gladys untuk tidak mengganggu Bapak," ucap Sissy yang berdiri di belakang Gladys.
Adnan menghela napas panjang. Ia memerintahkan Sissy untuk tidak mengijinkan sembarang orang masuk ke ruangaannya, namun bukan salah dia juga karena Glady menerobos masuk tanpa mengindahkan larangan Sissy. Tidak ingin mempermasalahkannya, Adnan menyuruh Sissy untuk kembali ke mejanya. Sissy sedikit membungkuk untuk member sedikit penghormatan pada Adnan kemudian keluar dari ruangan tersebut.
Kini hanya ada Adnan dan Gladys, gadis yang berdiri di hadapannya itu berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sementara Adnan memilih untuk fokus kembali pada pekerjaannya.
"Ayo sarapan," ajak Sissy.
"Saya gak laper," tolak Adnan.
"Saya yakin kamu pasti belum makan. Adnan, kamu boleh bekerja keras, tapi ikikan juga kesehatan fisik dan mental kamu. Mengerjakan sesuatu secara berlebihan itu tidak baik, apalagi samai mengabaikan diri. Ayo makan!"
"Saya bilang gak lapar ya gak lapar!" tegas Adnan meninggikan suaranya. Gladys sampai terkejut dibuatnya, baru pertama ini Adnan membentaknya. Suasana pun menjadi tegang, sepertinya mood Adnan sedang tidak bailk hari ini. "Kamu makan aja sendiri, kalau saya mau makan juga nanti saya makan."
Dicampakkan seperti ini membuat Gladys tidak nyaman, ia segera mengambil tasnya dan segera pergi dari tempat itu. Sebelum meninggalkan ruangan, gadis itu menghampiri meja Adnan dan memberinya sebuah Map berisi materi project baru yang akan perusahaannya garap bulan ini. Ia ingin Adnan ikut berpartisipasi dalam poject tersebut dan menerima penawarannya kemarin. Ia ingin Aditya GROUP bangkit kembali, namun keinginannya untuk memiliki hati pria itu membuatnya mengambil keuntungan dari insiden tersebut.
"Ini project baru yang akan dimulai bulan ini, saya ingin membicarakannya jika kita sarapan bersama tapi kamu menolaknya," kata Gladys. "Jadi, saya harap kamu baca materi ini dan segera hubungi saya jika sudah menandatangani kontraknya.
Setelah mengatakan hal tersebut Gladiys berjalan keluar ruangan. Di mejanya Sisy berdiri dari tempat duduknya dan sedikit membungkuk untuk memberikan sebuah penghormatan pada wanita itu.
Untuk kesekian kalinya Adnan menghela napas panjang, sudah terlalu banyak hal yang ia pikirkan. Laki-laki itu menatap Map pemberian Gladys sekilas, tiba-tiba perkataan gafdis itu kembali terngiang. Adnan pun langsung memasukkan Map tersebut ke dalam lagi meja tanpa melihat terlebih dahulu apa isinya.
Laki-;laki itu sama sekali tidak tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan yang dipimpin oleh Gladys. Bukan hanya karena tidak ingin menikah dengan gadis itu, tapi entah kenapa ia merasa harus menjauhi Gladys dan sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengannya. Feeling-nya mengatakan seperti itu.
*****
"Kamu yakin mau ngekos di sini?" tanya Bu Asni kurang yakin dengan Lala.
Lala mengerutkan alisnya mendapat pertanyaan seperti itu. Ia menatap Rendi sekilas, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mengetahui maksud dari pertanyaan Ibu kosnya Rendi pun berdeham kemudian mengambil alih pembicaraan.
"Bude, Lala ini sudah lulus sekolah. Hari ini dia akan kerja di sebuah perusahaan di Jakarta, makanya dia mau ngekos di sini," jelas Rendi.
Setelah menjelaskan perihal pekerjaan, Rendi mengajak Lala ke Jakarta. Meskipun sangat susah mendapatkan ijin dari orang tuanya, Lala bersikukuh untuk ikut Rendi ke Ibukota. Ketegasan hati anaknya pun membuat Mama dan Papanya tidak bisa berbuat apa-aa. Jika dilarang, mereka takut Lala memilih untuk pergi tanpa seijin mereka.
Bukanya membuat semua menjadi jelas, jutru Bu Asni tambah heran. Wanita paruh baya itu menatap Lala secara detail dari atas ke bawah. Perlakuan tersebut membuat Lala merasa tidak nyaman. Apa ia sedang dicurigai?
"Kamu beneran udah lulus sekolah?" tanya Bu Asni sekali lagi. Lala pun menjawabnya dengan anggukan kecil. Ibu itu pun melihat Lala lebih detail lagi, akhirnya Lala menunjukkan kartu tanda penduduk miliknya sebagai bukti bahwa dirinya bukan anak sekolah yang wanita itu maksud. Detik kemudian ekspresi beliau berubah menjadi senyuman yang cerah. "Aaah, kalo gitu kamu bisa tempati kamar kos di sebelah Rendi ya, karena cuma itu kamar yang kosong. Ini kunci kamarnya dan saya harap kamu bisa cepat berbaur dengan anak Kos yang lainnya."
"Eh, i—iya, Bu. Terimakasih," kata Lala menerima kuci kamarnya.
"Maaf kalau tingkah saya kurang menyenangkan tadi, saya kira kamu masih sekolah. Sebagai pemilik rumah, saya sangat berhati-hati dan tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
Hah? Udah 22 tahun ini, dia sangka gue masih sekolah? Apa sekecil ini ya tubuh gue? kata Lala dalam hati.
Rendi tertawa kecil mendengarnya.
Setelah itu, Bu Asni pamit pulang ke rumah sebenarnya. Lala menghela napas panjang, ia pikir Ibu itu tidak mengijinkannya untuk tinggal di rumah tersebut hanya karena masih dianggap anak bawah umur.
Rendi hendak mengantar Lala ke kamarnya, namun sebelum itu ia mengajak sahabatnya itu berkeliling rumah. Menunjukkan dimana letak dapur dan kamar mandi serta ruangan-ruangan lainnya. Rumah ini adalah milik Rendi yang diwariskan dari Alm Kakeknya, karena waktu itu ia masih dibawah umur, rumah tersebut dikelola oleh Budenya. Setelah dewasa, karena jauh dari orang tua, sang Bude memberi saran untuk menjadikan rumah tersebut menjadi tempat Kos, dimana ia juga tinggal di situ. Jadi, Rendi tidak merasa sepi.
Terlebih ada Lala sahabatnya yang turut tinggal mulai dari hari ini. Kehidupan Rendi semakin sempurna dengan kehadiran gadis itu.
"Lo kan suka masak, lo bisa masak apapun yang lo mau. Bahan-bahannya ada di sana," kata Rendi menunjuk salah satu lemari bagian atas.
Lala mengangguk pelan. Karena ingin melihat bahan makanan apa saja yang ada, gadis itu mendekati lemari tersebut dan hendak membukanya. Namun, tingginya tidak sampai meraih pintu lemari tersebut. Meskipun berjinjit ia tetap tidak sampai
Melihat hal lucu seperti itu, Rendi tertawa kecil. Ia pun menghampiri Lala untuk membantunya membukakan lemari. Laki-laki itu berdiri di belakang Lala, satu tangannya terulu ke atas untuk membuka bagian lemari tersebut hingga terlihatlah berbagai macam bahan makanan. Mengetahui ada seseorang dibelakangnya Lala pun memutar badannya, ia terkejut dengan posisi berdiri Rendi yang sangat dekat dengannya.
"Rendi?" ucap Lala gugup.
"Apa?" kata Rendi dengan suara beratnya.
Melihat Lala dari jarak sedekat ini membuat Rendi terbawa nafsunya, ia ingin menyentuh wajah gadis itu. Kemudian menyentuh keningnya, matanya, hidungnya dan yang terakhi bibirnya. Wajah lugu dari gadis itu membuatnya bergairah.
Bulu kuduk Lala semakin berdiri ditatap seperti itu. Tatapan mata Rendi berbeda dari biasanya, matanya tajam seperti mata elang yang sedang mengincar mangsa. Gadis itu ingin menjauh, tapi tubuhnya terkunci oleh kedua tangan Rendi. Ketakutannya itu semakin menjadi ketika satu tangan Rendi terangkat menuju wajahnya. Tangan itu membelai rambutnya, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahnya dan menyembunyikannya dibalik telinga. Kemudian tangan tersebut beralih ke keningnya, matanya, juga hidungnya.
Lala merasa tidak nyaman berada di posisi seperti ini. Detik kemudian, Ia mendorong dada bidang Rendi ketika jemari laki-laki itu menyentuh bibirnya. Tubuh Rendi terdorong ke belakang dan menjauh darinya "Lo ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu? Serem tahu!" kata Lala memeluk dirinya sendiri. Entah kenapa ia menjadi takut berdekatan dengan Rendi.
Tersadar telah melakukan hal yang tak pantas Rendi pun meminta maaf. "Eh, maaf. Tadi niatnya gue cuma mau bantu lo buka lemarinya."
"Oh, iya udah. Gue juga udah lihat bahan makanannya."
"Yaudah kalo gitu gue antar lo ke kamar lo." Rendi melangkah keluar menuju ruang tamu. Di sana ada dua koper milik Lala dengan warna yang berbeda. Ia pun membawa koper-koper tersebut menuju kamar Lala. "Ayo!"
*****