Chereads / Hidup Beralaskan Duri / Chapter 9 - Aku, Arini Putri

Chapter 9 - Aku, Arini Putri

Cinta bagai semilir angin yang tertiup di tanah gersang. Cinta bagai obat bius yang membuat tubuh mati rasa akan kepedihan dan derita. Cinta bagai api unggun di lautan es, yang membuat kehangatan dikala dingin melanda.

Namaku Arini...

Aku ingin memberi tahu dunia tentang diriku ini. Aku bagaikan burung dalam sangkar yang berada di sebuah guha. Sangat dalam, tidak ada yang bisa menjangkau keberadaanku.

Selain Tuhan, tidak ada yang bisa menebak isi hatiku. Seluruh kepedihan dalam hidupku, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku memang tidak sempurna, tapi Tuhan menyempurnakan hidupku dengan semua ujian-ujian ini.

Tuhan, sungguh. Aku mencintai diriku sebagaimana aku mencintai-Mu.

***

2018

Aku merenung di dalam kamar yang sunyi ini, sendirian saat tengah melihat diriku dicermin yang memperlihatkan seluruh tubuhki. Aku melihat sebuah amplop di atas meja rias yang tertata rapi. Aki melangkahkan kaki ke meja rias yang berada dua langkah di sampingku. Amplop yang berisi surat dari Rumah Sakit itu, ku remas keras. Aku ingin sekali membuangnya. Helai demi helai rambut yang ku sisir, sesekali Aku menciumi wangi rambutku yang aku biarkan tergerai panjang dan bergelombang serta hitam pekat. Aku tersenyum simpul tatkala membayangkan kehidupanku saat ini, dulu dan nanti.

Aku masih tidak mengerti dengan jalan hidup yang telah Tuhan susun untuk diriku. Hancur hati dan perasaan ini saat mendengar penjelasan Dokter mengenai penyakit setan ini mendiami salah satu organ tubuhku. Aku mengidap kanker payudara stadium satu. Bertubi-tubi masalah datang menghampiri dalam kurun waktu yang sangat cepat. Aku merasa lelah dan putus asa dengan semua ujian yang Tuhan kasih untuk diriku dalam hidup ini. Rasanya, Aku ingin mati saja.

Di sebelah meja rias kamarku, terdapat sebuah gunting yang berukuran sedang. Ku buka jenjang gunting itu dan ku tempelkan di atas lengan sebelah kiri, lebih tepatnya di atas nadi yang masih berdenyut. Aku ingin menyudahi penderitaan ini. Pikiranku sudah melayang tak tentu arah. Aku tidak peduli dengan risiko nya nanti jika aku mati. Named, Saat akan menyayatkannya di atas lengan, Radit anakku memanggil. Gunting pun terjatuh. Aku menghela nafas panjang. 'Tuhan, maafkan aku'

Aku berjalan keluar kamar dan menghampiri Radit yang terus memanggilku. Radit berteriak karena ada seorang wanita yang datang. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai teman Riadi, suamiku. Aku mengajaknya masuk dan mempersilahkan wanita itu untuk duduk. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabatan denganku.

"Hai, aku Pricilla."

"Aku Arini,"

Wanita ini bernama Pricilla, teman dari Riadi semasa SMA. Wajahnya sangat tidak asing di pikiranku. Aku pernah melihat wanita ini, tapi di mana? Alasan dia datang ke rumah ini adalah untuk sekadar empati dengan keadaan Riadi yang sedang berada dalam tahanan. Dia memberiku amplop berwarna cokelat muda yang berisi sejumlah uang. Aku pun bertanya pada Pricilla, untuk apa uang ini? Lalu dia hanya menjawab, "karena Riadi adalah teman dekatku, sudah sepantasnya aku membantu kalian." Aku menolak pemberian itu walaupun sebenarnya Aku sangat membutuhkan uang saat ini. Pricilla tetap memaksa. Wanita ini memelukku dan ia pamit untuk pulang.

Seketika aku mengerutkan kedua alis, saat berada di depan pintu rumah setelah mengantar Pricilla keluar. 'Aneh, kenapa Pricilla baru muncul di hadapanku setelah enam tahun Mas Riadi di dalam penjara.' Suara hatiku berteriak kebingungan. Uang yang dia kasih juga lumayan banyak. 'Ah, sudahlah mungkin  saja Pricilla baru tahu soal Riadi.' Aku menutup pintu rumah dan bergegas menjemput Arinda di sekolah.

***