["Nis, kapan ada waktu? Aku perlu bantuanmu, atau biar aku saja yang datang ke rumah, gimana?"]
Pesan dari Yasa, baru kubuka setelah jam istirahat tiba, kalau sudah begini artinya dia memang sedang butuh bantuanku, karena Yasa hanya akan menghubungiku untuk itu, dan sangat jarang dia lakukan selama ini.
["Aku saja yang ke kantor."]
Segera aku kirim balasan pesan kepadanya. Untuk kelas selanjutnya aku bisa meminta tolong Sena menggantikanku, semoga saja dia mau.
Aku memandang bangunan 5 lantai di depanku ini dangan berbangga hati, aku tidak menyangka jika usaha yang kubangun dulu bisa sebesar ini. Aku sendiri yang mendesain bangunan ini bersama Yasa, dia orang yang kupercaya untuk memegang penuh kantor ini. Setelah kurang lebih dua tahun yang lalu aku memilih undur diri dari kursi kepemilikan.
Setelah puas melihat wujud keberhasilan usahaku, dengan langkah santai aku memasuki gedung ini. Tak banyak karyawan yang menyapa saat berpapasan denganku, meski tidak semua hanya karyawan lama saja yang mengenaliku sebagai pemilik kantor ini, selebihnya hanya tau nama saja sementara Yasa, sengaja tidak membuka jati dirinya sebagai pemilik, dikarenakan ada sesuatu yang mengharuskan dia merahasiakan ini dari publik, terutama dari keluarga besarnya. Yasa, hanya dikenal sebagai orang kepercayaan dari Nisya Kailandra, yang namanya terukir sebagai direktur utama.
Menuju ruangan Yasa yang berada di lantai paling atas, langkahku melambat tatkala menangkap sosok mantan istri Mas Ryan ada di kantorku, bersama dengan seorang pria yang dibawanya ke rumah waktu itu. Kulihat dari seragamnya merupakan karyawan sini, pantas saja aku merasa tidak asing dengan pria itu. Tapi bagaimana bisa dia masuk kantor ini? Peraturan kantor tidak memperbolehkan orang asing masuk, hanya yang punya hubungan keluarga saja yang boleh, itupun setelah melalui proses pemeriksaan yang ketat. Lantas Mbak sarah, kenapa bisa bebas masuk sini?
Tidak mau ambil pusing aku segera melanjutkan langkahku, tanpa basa-basi Yasa, langsung menyodorkan setumpuk berkas, sesaat setelah aku duduk di seberang mejanya. Benar-benar ciri khasnya, tidak suka banyak omong, ini yang aku suka darinya perusahaan bisa sebesar ini juga berkat keuletan Yasa dalam bekerja. Dan aku sangat beruntung memilikinya di kantor ini.
"Oke, aku pelajari dulu, kapan deadline-nya?"
"Minggu ini, kalau bisa."
Setelah mendengar jawabannya aku segera menuju ke ruanganku, namun panggilan Yasa menghentikan langkahku. "Sudah makan, Nis?" tanyanya, sejenak mengalihkan pandangan dari layar laptop yang sedari tadi menjadi fokus utamanya.
"Belum, tadi jam istirahat langsung ke sini."
"Ck, kebiasaan tunggu sini dulu kita makan bareng, kebetulan aku juga belum."
Yasa memesan makanan untuk kami berdua, terpasang raut wajahnya yang lesu sepertinya ini memang proyek yang lumayan sulit untuk ditanganinya, jika tidak mana mungkin dia mau menghubungiku.
"Gimana abang lo, Yas? Aman, kan."
"Sejauh ini masih dalam pantauan, dan masih aman," sambil menyusulku duduk di sofa yang berada di ruangannya. "Gimana sama kamu sendiri?" sambungnya.
"Emang, aku kenapa?"
"Dari pengamatanku, sepertinya kamu sudah mulai nyaman dan menikmati kehidupan barumu."
"Entahlah, aku cuma mengikuti alurnya saja, dan memang benar apa yang kamu bilang tadi, aku sudah mulai nyaman dengan Mas Ryan."
"Kamu berhak bahagia Nis, lupakan masa lalu yang menurutku nggak ada artinya itu, sorry jika ini terdengar kasar, tapi kenyataan yang aku lihat selama ini hanya kamu yang berjuang. Saranku, kamu fokus saja sama apa yang kamu miliki sekarang, Ryan, meskipun aku sempat ragu karena statusnya tapi dia terlihat cukup baik, terbukti kamu lebih bisa menikmati hidup dari pada dulu."
"Mas Ryan, memang baik sangat baik malahan. Cuma aku belum bisa terbuka sama dia, tentang masa lalu."
"Kenapa? Apa karena kami masih cinta 'dia'? Atau rasa bersalahmu yang tak berkesudahan itu. Buka matamu lebar-lebar Nisya, semua yang terjadi karena kelalaian mereka sendiri, bukan salah kamu!"
"Tidak semudah itu, Yasa."
"Mudah! kalau perlu aku atau Sena bisa bantu untuk menjelaskan ini pada suamimu."
Kubalas dengan gelengan pelan.
"Nanti, tunggu waktu yang tepat."
"Kapan? Jangan terlalu lama, takutnya jika Ryan tahu dari orang lain malah menjadi masalah baru buat hubungan kalian, kamu pasti paham kan apa yang keluar dari mulut orang lain, itu tidak sepenuhnya benar."
"Kamu, tumben banyak omong Sa," candaku, semata-mata ingin mengakhiri topik bahasan yang kami obrolkan, "thanks perhatiannya," sambungku.
Tidak berapa lama makanan pesanan kami tiba, aku langsung makan dengan lahap karena memang sudah cukup lapar, begitupun Yasa, mungkin dia juga kelaparan apalagi setelah mengeluarkan ceramahnya untukku.
Yasa, yang selama ini terlihat cuek ternyata diam-diam memperhatikanku. Tidak banyak teman yang kupunya selama ini, hanya 3 orang saja. Sena, Yasa, dan Caca. Untuk Caca sendiri sudah tidak lagi bisa kutemui, karena dialah alasan yang membuatku sulit membuka masa lalu, terlalu sakit jika harus kubuka kembali. hanya tinggal Sena juga Yasa yang masih setia menemaniku sampai saat ini.
Selesai makan, aku langsung pamit untuk mempelajari setumpuk berkas yang diberikan Yasa. Cukup rumit juga setelah beberapa menit aku memeriksanya, tapi yang namanya pekerjaan serumit dan sesulit apapun aku harus mengerkerjakannya dengan semaksimal mungkin, agar hasilnya tidak mengecewakan nantinya.
Karena terlalu fokus sama pekerjaan, tanpa kusadari jika senja sudah menampakkan wujudnya, terlihat dari sinar jingganya yang menembus dinding kaca di hadapanku, artinya sudah cukup lama aku berada di sini dan waktunya untuk pulang.
Sudah hampir selesai, tinggal revisi saja beberapa bagian, mungkin Yasa sudah bisa untuk memperbaikinya, aku langsung mengembalikan setumpuk berkas ini kepadanya sekaligus pamit untuk pulang lebih dulu, karena mungkin saat ini Mas Ryan sudah menunggu kepulanganku.
Kupercepat laju kendaraan roda duaku agar segera sampai rumah, Mas Ryan, terlihat mondar-mandir di depan pintu sambil memegang ponsel di tangannya, mungkinkah Mas Ryan menghubungiku? Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa tidak mengabarinya seharian ini.
Melihatku yang memasuki gerbang Mas Ryan menghampiri dan memintaku untuk langsung masuk, sementara dia mengambil alih motorku untuk dimasukkannya ke garasi.
Raut khawatir yang ditunjukan olehnya membuatku semakin merasa bersalah, kenapa bisa-bisanya aku tidak memberi kabar pada Mas Ryan. Aku menunggunya di dapur sambil menyiapkan minuman untuk kami, semoga Mas Ryan tidak marah.
greeppp!
Sedikit terkejut saat tiba-tiba Mas Ryan memelukku dari belakang dengan begitu eratnya.
"Kenapa tidak jawab telepon mas? Mas takut terjadi sesuatu sama kamu, Sayang!" ungkapnya.
"Mas, maaf Nisya lupa pamit sama Mas kalau tadi siang ada urusan mendadak." ucapku berbalik menghadap Mas Ryan.
"Urusan apa? Sepenting itukah sampai kamu abaikan semua pesan dan panggilan dari mas?" ujarnya dengan suara yang terdengar sedikit meninggi.
Aku hanya bisa menunduk, tidak berani untuk sekedar menatapnya, kuakui ini memang kesalahanku jadi aku hanya diam saja menerima kemarahan dari Mas Ryan.
Kudengar Mas Ryan menghela napasnya kasar, untuk mengatur kesabarannya menghadapiku yang masih diam tidak menjawab pertanyaannya itu.
"Maaf," lirihku.
Mas Ryan kembali menarikku lagi untuk dipeluknya, dan aku langsung membalasnya tak kalah erat, untuk menyalurkan rasa bersalahku terhadapnya.
"Maaf, mas nggak bermaksud bentak kamu tadi, mas cuma khawatir dan sedikit emosi."
Aku terdiam tidak bisa membalas ucapannya, membenamkan wajahku di dalam dada bidangnya, yang sudah menjadi candu untukku.
"Jangan ulangi lagi, ya. Mas beneran khawatir, dan takut kalau diam-diam kamu pergi ninggalin mas."
Dahiku mengernyit mendengar pernyataannya, "Kenapa Nisya harus pergi?" tanyaku mendongak menatapnya.
"Nggak papa, mas hanya takut saja." ada keraguan yang kutangkap dari jawaban Mas Ryan.
"Kamu bersihkan diri dulu ya, biar mas siapin makan malam," sambungnya lagi.
Kepalaku sontak menggeleng.
"Biar Nisya saja."
"Kali ini nurut sama mas,ya." titahnya.
Aku pasrah dan menuruti perintahnya, karena tidak mau mendebatkan hal yang tidak begitu penting. Membersihkan diri secepat mungkin biar aku masih bisa membantunya.
Nyatanya setelah aku kembali, Mas Ryan sudah menungguku dengan dua piring yang berisi nasi serta ayam penyet menu yang dibuatnya.
Ini kali pertama aku akan menikmati masakannya. "Mas, maaf sudah bikin repot."
Mas Ryan tidak menjawab, tapi langsung menarik kursi di sampingnya untukku.
"Makanlah," Mas Ryan menyodorkan piring yang sudah berisi nasi tepat dihadapanku
Aku mengambilnya dan berniat untuk mengurangi sedikit nasi, tapi Mas Ryan mencegahku.
"Biarkan di situ, nanti biar mas yang habiskan," ucapnya sambil menahan tanganku.
Kami makan dalam diam, kuakui masakan Mas Ryan memang sangat enak. Dan bisa-bisanya membuatku tidak sadar sudah makan sebanyak ini, aku jadi malu sama Mas Ryan, karena tadi berniat untuk mengurangi nasi yang sudah diambilkanya. Terntaya malah habis tanpa sebutirpun nasi di piringku.
"Mau nambah?" tanyanya yang mungkin melihat piringku sudah kosong.
"Enggak," sambil menggelengkan kepala pelan, "Nisya baru tahu kalau Mas bisa masak dan rasanya seenak ini."
"Sudah terbiasa masak dari dulu, sejak sekolah sampai kuliah, mas sudah tinggal jauh dari ibu. Jadi mau nggak mau mas harus bisa masak sendiri jika tidak ada waktu untuk membeli makan di luar."
Pantas saja rupanya Mas Ryan sudah terbiasa memasak ternyata. Langkahnya mengikutiku ke arah dapur yang akan mencuci peralatan bekas masak dan makan kami berdua.
"Biar Nisya saja, Mas tadikan sudah memasak," cegahku ketika Mas Ryan akan ikut membantuku.
"Nggak papa, biar cepat selesai."
Mas Ryan mengajakku untuk langsung istirahat, ini belum pernah terjadi Mas Ryan mengajakku tidur lebih awal. Karena biasanya setelah makan malam Mas Ryan akan sibuk di ruang kerjanya sampai tengah malam.
Belum berapa lama kami berbaring dan hendak memejamkan mata, terdengar bunyi ponsel Mas Ryan berdering namun tidak dihiraukannya, akupun sama dan memilih untuk segera tidur. Namun lagi-lagi ponsel itu berdering kembali dan mau tidak mau aku beranjak, berniat untuk melihat siapa yang menelepon, tapi Mas Ryan melarangku dan menariku kembali ke dalam pelukannya.
Akupun menurut, tapi pikiranku masih tertuju dengan sikap aneh Mas Ryan, sejak kepulanganku tadi Mas Ryan terlalu menghawatirkan hal yang tak mungkin kulakukan, pergi dari Mas Ryan adalah pilihan terakhir yang kupunya. Kecuali jika Mas Ryan membuat kesalahan fatal yang tidak bisa kutoleransi lagi.
Sampai akhirnya aku tertidur, menyusul Mas Ryan yang lebih dulu memejamkan mata, tanpa tahu siapa penelepon itu, yang suara dering ponselnya masih bisa kudengar seakan menjadi pengantar tidur kami.