Chereads / Second Love (Duda Pilihan Papa) / Chapter 16 - ~15~ Prasangka Burukku

Chapter 16 - ~15~ Prasangka Burukku

Belum dijemput, Nis?" tanya Sena menghampiriku.

"Belum, Mas Ryan masih ada kerjaan kayaknya, kamu bukanya sudah pulang tadi?"

"Iya, flashdiskku ketinggalan untung belum jauh, jadi Mas Biru masih mau putar balik."

"Kebiasaanmu yang satu ini sudah nggak tertolong lagi ya Sen," kataku menggelengkan kepala, "untung masih ingat kalau sudah punya Mas Biru, kalau nggak bisa kupastikan Mas Birumu, akan diambil orang karena sering kau lupakan" sambungku.

"Huusss! sembarangan kalau ngomong, lupa kalau ada dua malaikat yang selalu mengaminkan setiap ucapan yang keluar dari mulut kamu Nisya! ish, kamu mah gitu, suka banget bikin aku kesel."

Sena menghentakkan kaki melangkah menuju kubikelnya, dan kembali lagi menghadapku, "Ayo! bareng sekalian biar Mas Biru yang anterin," ajaknya, dan langsung kusetujui.

Sudah jam segini tapi Mas Ryan belum juga membalas pesanku, mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya sebab tidak biasanya dia tanpa kabar seperti ini.

"Astagfirullah," ucapku kaget sesaat setelah membuka pintu penumpang mobil Mas Biru.

Kenapa aku bisa lupa kalau ada Wirata Bintang Angkasa, keponakan Mas Biru sedang bersama mereka, jika begini aku menyesal sudah mengikuti ajakan Sena.

"Kenapa Bu, Ibu lihat setan? Dimana?" tanyanya beruntun.

"Kamu setanya," ucapku pelan berharap muridku itu tidak bisa mendengarnya.

"Ibu, beneran bisa melihat setan? Ya Tuhan, kenapa aku selalu dikelilingi sama orang-orang indihome!" ucapnya.

"INDIGO Wirata!" sentak Sena menimpali banyolan Wira.

"Tante diem deh, aku lagi ngobrolnya sama Bu Nisya bukan sama Tante!"

"Bu, beneran?"

"Apaan, Wira!"

"Bisa lihat setan sungguhan? Tuh aku jadi merinding, di rumah ada Arka yang sering ngomong sendiri sama teman tak kasat matanya, di sekolah ada Ibu juga, kenapa aku dipertemukan sama kalian, sih!" ucapnya bergidik ngeri.

"Memang kenapa?"

"Sumpah demi apapun, aku beneran takut tahu Bu, apalagi Arka suka banget jahilin aku di rumah, dengan menyuruh temannya itu untuk menggangguku," adunya.

"Kamu bisa punya rasa takut juga ternyata, kirain nggak punya. Melihat histori kenakalanmu sangat disayangkan kalau sama setan saja kamu takut," ejekku puas, karena bisa membuatnya mati kutu.

"Nggak ada yang nggak takut sama setan, Ibu Nisya yang terhormat!" serunya.

"Ibu nggak takut, tuh. Ngapain takut sama yang begituan takut itu sama Tuhan, ingat dosa-dosamu yang selama ini sudah dzolim terhadap kami para orang tua."

"Betul itu, apalagi sama aku banyak banget dosa dia," sahut Sena.

"Astagfirullah, ya Allah maafkan segala dosaku selama ini, tapi bagaimana lagi aku selalu khilaf dan tidak bisa berhenti membuat kenakalan setiap harinya," menengadahkan tangan khas orang berdoa, Wira berucap dengan lantangnya.

Sepertinya aku harus menahan kesabaranku untuk 30 menit kedepan, Wira tidak akan bisa berdiam diri, mulutnya itu sama sekali tidak bisa untuk diajak diam barang sebentar saja.

Mengabaikan semua ocehan unfaedah yang Wira lontarkan, aku memilih untuk mengamati lalu lintas sore ini yang lumayan padat dipenuhi kendaraan yang melintas, barisan mobil berjalan seirama disepanjang jalanan ini karena memang sudah masuk waktu pulang kerja.

Mungkin terlalu fokus mengamati lalu lalang laju kendaraan, sehingga aku seperti melihat mobil Mas Ryan. Kuusap mataku beberapa kali untuk memastikan dan ternyata memang benar itu mobil Mas Ryan. Kulirik ponselku barangkali dia membalas pesan yang kukirim sedari siang, namun nihil tidak ada satupun pesan balasan darinya.

Lalu apa yang dilakukannya sekarang? Pun ketika mobil yang dikendarai Mas Biru berbelok menuju kompleks perumahan yang kutinggali, Mas Ryan masih terus melajukan kendaraannya menuju entah kemana.

"Terimakasih Mas, maaf sudah merepotkan," ucapku lantas segera turun dari mobil Mas Biru setelah mendapat balasan darinya, tak lupa juga pamitku pada Sena dan juga Wira.

Lagi, aku mencoba untuk menghubungi Mas Ryan kembali, tersambung tapi tidak ada jawaban darinya. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Mas Ryan? Pikiranku mulai tidak tenang, jujur ada sedikit rasa yang tidak bisa kujabarkan. Tentang aku yang seolah tidak rela jika Mas Ryan mengabaikanku.

Membuang prasangka burukku tentangnya, aku bergegas membersihkan diri dan menyiapkan makan malam agar nanti ketika dia datang aku sudah selesai dengan tugasku.

Benar saja, setelah aku selesai dengan urusan dapurku terdengar deru mesin mobil Mas Ryan tengah memasuki garasi, aku lekas menghampirinya dan menunggu dia selesai dengan urusan memarkirkan kendaraannya.

"Pulang sama siapa tadi? Maaf mas tadi sedikit sibuk dan nggak sempat pegang ponsel," ucapanya setelah aku mengulurkan tangan untuk menyambut kedatangannya dan dibalas Mas Ryan dengan ciuman singkat didahiku.

"Diantar Mas Biru tadi, sekalian bareng Sena juga."

"Tolong sampaikan terimakasih dari mas, ya. Maaf juga sudah ngrepotin."

Mas Ryan merangkul bahuku sambil berjalan memasuki rumah "Nisya siapin airnya dulu, ya. Untuk Mas mandi?"

"Nggak usah Sayang, biar mas sendiri saja,"

tolaknya.

"Ya sudah, Nisya tunggu di meja makan saja kalau gitu."

Mas Ryan mengangguk dan pergi meninggalkanku, tidak ada yang aneh dari Mas Ryan. Apa mungkin benar yang dikatakannya jika memang dia tengah sibuk dengan pekerjaan.

Karena terlalu lama menunggu, aku berinisiatif untuk menyusulnya ke kamar. Kulihat dia sedang bicara serius dengan seseorang lewat telepon yang menempel di telinganya, melihat kedatanganku Mas Ryan lantas segera mengakhiri panggilanya.

"Maaf ya, pasti kamu sudah lama nungguin mas, tadi ada telepon masuk dari teman kantor," jelasnya.

Aku langsung mengajaknya untuk turun, dan bersiap memulai acara makan malam kami, Mas Ryan terlihat begitu lahap dengan makanannya, sebenarnya dia lapar apa memang doyan, sih. Batinku.

"Mas, pelan-pelan makannya," tegurku.

"Mas lapar banget Sayang, tadi siang nggak sempat makan," balasnya.

"Sibuk banget, ya?" tanyaku memastikan.

"Iya, tapi ya nggak sibuk-sibuk banget juga, sih."

"Mau nambah?" tanyaku saat kulihat piringnya sudah kosong.

"Boleh, sedikit saja, ya." Mas Ryan memberikan piringnya padaku.

Dan aku mengisinya lagi dengan nasi berikut teman-temannya, juga menuang air di gelas yang sudah berkurang setengah isinya.

Mas Ryan, kenapa sepertinya aku merasa kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Tapi entahlah akupun bingung karena dia seperti tidak sedang melakukan kesalahan apapun, terlihat dari sikapnya yang tenang dan masih perhatian kepadaku seperti biasanya.

Apa mungkin hanya perasaanku saja? Mungkin aku harus mulai percaya kepada suamiku sendiri. bukanya dia sudah berubah setelah perdebatan kami waktu itu? Aku akan mencoba untuk percaya sepenuhnya kepada Mas Ryan, dan mengurangi buruk sangkaku terhadapnya.

Sudah satu bulan berlalu, selama itu pula aku tidak pernah bisa menemui Anaknya, Alshad. Ketika aku ingin bertemu, selalu saja Mbak Sarah menolak dengan alasan yang menurutku dibuat-buat olehnya. Mas Ryan pun sama, ketika aku ingin mengajaknya seolah-olah dia pun melarangku dan mengatakan jika Alshad baik-baik saja selama tinggal bersama ibu kandungnya.

Aku bisa apa selain pasrah, menahan rindu yang sepertinya tidak akan bisa tersalurkan entah sampai kapan. Aku memang tidak punya hak atas anak itu, tapi rasa sayang yang kuberikan untuknya selama ini benar-benar tulus dari lubuk hatiku yang terdalam. Aku sudah menganggap Alshad seperti anak kandungku sendiri.

"Lagi mikirin apa?" tanya Mas Ryan, mungkin dia melihatku yang sedang melamun.

"Kangen sama Al," ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

Kami sedang berada di ruang tengah tempat kami biasa menghabiskan waktu selepas makan malam. Sembari melihat televisi, ataupun melakukan kegiatan lainnya untuk menghabiskan waktu bersama sebelum tidur.

"Nanti, ya. Jika ada waktu mas janji akan membawamu menemuinya."

"Dan waktunya itu kapan? Mas sepertinya ikut melarangku untuk bertemu dengan Alshad."

"Bukan melarang, mas hanya memberi mereka waktu untuk bersama, terbukti kan kalau Al, sudah bisa nyaman tinggal bareng ibunya."

"Tahu dari mana jika Al, sudah nyaman tinggal di sana?" tanyaku yang membuat Mas Ryan tersentak.

"Ya ... mas hanya menebaknya saja, karena jika tidak pasti Sarah sudah menyerah untuk mengurusnya."

Ada sedikit keraguan yang kutangkap dari raut muka Mas Ryan. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan mending kamu istirahat saja, mas masih mau memeriksa pekerjaan dulu sebentar."

Akupun menuruti perintahnya, segera tidur untuk menenangkan kembali pikiranku yang sudah mulai lelah, mungkin ini juga penyebabnya sedari tadi hanya prasangka buruk yang melintas di kepalaku tentang Mas Ryan.