"Mas, Nisya besok ijin mau menampingi murid yang akan mengikuti olimpiade," Aku menyebutkan kota yang akan kukunjungi, "Ini surat tugasnya dan sudah Nisya tanda tangani."
Aku meletakkan surat itu di nakas, selanjutnya mengambil tas dan menyiapkan barang yang akan kubawa besok.
"Kenapa baru bilang sekarang?" menghela napas kasar sepertinya dia tidak terima soal ijinku, "setelah kamu mempersiapkan keberangkatanmu!" lanjutnya.
"Maaf, kemarin lupa mau bilangnya."
"Berapa lama?" tanyanya kembali.
"Tiga hari."
"Salama itu? Apa memang harus kamu yang ikut?"
"Ada guru lain juga, berhubung Nisya sebagai wali murid siswa yang akan mengikuti lomba, jadi mau nggak mau Nisya yang harus mendampingi mereka."
"Laki-laki apa perempuan?"
"Apanya?"
"Guru lainya yang ikut pergi."
"Dua guru perempuan, dan dua lainya laki-laki."
Kulihat Mas Ryan meremas rambutnya kasar, "Kalau mas minta kamu mundur, apa kamu mau menurutinya?"
Dengan tegas aku menggeleng.
"Surat tugas sudah diproses, dan semua persiapannya sudah siap, jadi sangat tidak bisa untuk Nisya mundur."
"Sengaja, kan?" Mas Ryan beralih menghampiriku yang sedang mengambil beberapa baju untuk kumasukkan ke dalam tas. "Sepertinya kemaranmu masih berlanjut, biarpun mas sudah menyesali dan menjelaskan yang terjadi sebenarnya."
"Siapa yang marah? Nisya hanya sedang menjalankan tugas."
"Jadi kamu sudah nggak marah?" Mas Ryan menghentikan kegiatanku dengan mencekal sebelah lenganku. Selanjutnya kedua tangannya mencengkram bahuku dengan kencang dengan posisi kami yang saling berhadapan.
Tatapan matanya tajam menghunus kedua bola mataku. Melihatnya seperti ini aku melihat sosok baru lagi dari dirinya, selama ini Mas Ryan belum pernah menunjukan sikapnya yang seperti ini padaku.
"Mas, sakit," lirihku, aku berusaha melepaskan cengkramannya yang kurasakan semakin kuat. Tapi Mas Ryan justru malah semakin mempererat cengkramannya segingga aku sampai mengaduh kesakitan karenanya.
"Apa nggak cukup dengan kamu cuekin mas hampir dua minggu ini, Nisya! Mas masih terima karena mas sendiri juga sedang disibukkan dengan pekerjaan yang cukup menyita waktu. Mas sengaja memberi jeda buat kita kembali membahas masalah kemarin. Dan sekarang kamu malah ingin pergi dengan dalih tugas dan tanggung jawabmu sebagai guru!"
Bisa kurasakan napas Mas Ryan yang memburu, menahan amarah dan emosinya.
"Silahkan pergi! Sekeras apapun mas melarang, kamu juga tidak akan pernah mau menurutinya. Dimata kamu mas memang sudah cacat dari awal, sehingga sebesar apapun usaha mas untuk berubah tidak juga membuat kamu sepenuhnya bisa percaya sama mas. Maaf untuk kesalahan mas yang kemarin, mas pikir ini hanya sementara saja agar Alshad, tidak lagi mengingatmu terus menerus dan mulai terbiasa dengan Sarah. Tapi yang tidak mas sangka kalau kamu ternyata akan semarah ini, biarpun mas sudah mengakuinya dan meminta maafmu."
Mas Ryan melepaskan cekalannya dan berlalu meninggalkanku, aku merasakan nyeri di lenganku bekas cengkramannya. Ketika kulihat memang ada bekas kemerahan disana dan mungkin akan memar nantinya.
Sebenarnya aku tidak marah padanya, hanya saja rasa kecewaku masih ada jika teringat bahwa Mas Ryan dengan teganya tidak mengajakku untuk menemui anaknya, yang dia sendiri sangat tahu aku begitu merindukannya.
Kepergian Mas Ryan tak lantas membuatku menghentikan kegitan berkemasku, aku kembali memasukkan beberapa baju untuk kubawa besok. Dengan menahan ngilu di kedua lenganku, ada dan tidaknya ijin darinya aku memang harus pergi, seperti yang sudah dikatakannya tadi.
Esoknya aku masih menyiapkan keperluannya seperti biasa, Mas Ryan juga yang mengantarkan kepergianku. Biarpun dengan sikap dingin yang ditujukannya, aku tahu jika Mas Ryan mungkin kecewa dengan keputusanku, tapi apa boleh buat.
Aku segera pamit padanya, Mas Ryan masih mau membalasnya dengan mencium kening dan memelukku lebih lama dari biasanya.
"Jaga diri baik-baik selama di sana, dan segera hubungi mas jika terjadi sesuatu."
Pesan Mas Ryan lantas melepaskan pelukannya, aku segera berkumpul dengan para muridku untuk mempersiapkan keberangkatan kami, ada total 12 murid yang akan mengikuti olimpiade dengan 4 guru pendamping termasuk diriku.
Alina, sayang dia tidak bisa mengikuti olimpiade kali ini, karena harus mempersiapkan ujian kelulusan yang akan diadakan sebentar lagi. Jika tidak pasti dia yang ada bersamaku sekarang ini sama seperti tahun lalu, juga bisa kupastikan dia akan kembali memperoleh juara seperti yang sudah-sudah karena memang sepintar itu anaknya.
Sampai di tempat di mana acara akan dilangsungkan, kami mendapat masing-masing jatah satu kamar hotel untuk ditempati dua orang. Segera aku menata rapi barang bawaanku ke tempat yang sudah tersedia di kamar ini. Berikut juga Bu Retno rekan yang berada satu kamar denganku.
Setelah cukup beristirahat aku dan rekanku ingin mengumpulkan para siswa untuk memberinya sedikit wejangan dan juga semangat agar mereka bisa dengan lancar berjuang esok harinya. Acara memang baru akan dilakukan lusa, bertujuan agar peserta yang dari luar kota seperti kami bisa lebih dulu mempersiapkan diri.
Mengambil ponsel yang seharian ini kuabaikan, bermaksud sekedar melihat barang kali ada yang menghubungiku, dan nyatanya tidak ada panggilan ataupun pesan yang masuk ke ponselku. Pun juga dengan Mas Ryan yang kali ini tidak satu pesanpun kuterima darinya.
Agaknya Mas Ryan benar-benar marah dan kecewa dengan keikutsertaanku, ini baru pertama kalinya Mas Ryan marah sama aku. Sebab sebelumnya hanya aku saja yang sering marah terhadapnya, tidak mau ambil pusing akupun tidak ingin menghubunginya. Mungkin amarahnya masih belum mereda, dari pada menambah masalah baru mending aku juga tidak ingin mengganggunya.
Paginya saat aku terbangun rasa pusing sudah mulai kurasakan, berikut suhu tubuhku yang menghangat. Tapi karena ini adalah hari penting bagi kami semua, akupun berusaha untuk sebisanya terlihat normal agar semua bisa berjalan sesuai dengan harapan kami membawa nama baik sekolah.
"Selamat, ya! Buat yang lolos ke babak selanjutnya, dan bagi yang belum lolos ibu tetap bangga sama kalian semua yang sudah berjuang sampai sini. Terimakasih ibu sampaikan kepada kalian semua anak didikku, perjuangan kalian belum berakhir karena masih banyak lagi olimpiade selanjutnya yang sedang menanti kalian."
Ucapan terima kasih kusampaikan kepada semua murid yang telah berjuang. Ada lima muridku yang lolos ke babak selanjutnya, dan acaranya akan diadakan sore nanti, ini adalah babak penentuan dimana sang juara terpilih akan mendapatkan banyak reward, yang sangat menguntungkan bagi siswa yang menjadi pemenang nantinya.
Setelah selesai menikmati jamuan makan siang, aku dan semua rekan guru menyuruh para siswa untuk beristirahat bagi yang akan mengikuti babak final nanti, sementara untuk yang tidak lolos kami sepakat memberi sedikit waktu untuk mereka menyenangkan diri. Dengan berkeliling disekitaran hotel, yang memang terdapat pusat perbelanjaan dan juga tempat oleh-oleh didekat sini.
"Bu Nisya, mari saya temani barangkali ingin pergi juga seperti mereka," ajak Pak Adit, guru yang ikut serta kegiatan ini.
"Nggak usah, Pak. Saya di sini saja sekaligus ingin memastikan anak-anak bisa beristirahat dengan baik, agar nanti bisa melanjutkan acara dengan maksimal."
Aku menolak ajakannya karena memang sedang tidak ingin kemana-mana, aku sudah merasa capek sebenarnya, tidak hanya fisikku melainkan pikiranku juga butuh istirahat. Terlalu lelah memikirkan kemelud yang terjadi antara aku Mas Ryan dan Alshad.
Sampai saat ini Mas Ryan tak kunjung menghubungiku untuk sekedar menanyakan kabar. Semarah inikah Mas Ryan kepadaku? Apa aku memang sudah sangat keterlaluan sama dia? Lalu apa kabar dirinya yang sudah dengan teganya tidak jujur padaku jika selama ini sering mengunjungi anaknya tanpa melibatkanku.
"Bu, Ibu baik-baik saja, kan?" tanya Pak Adit, sambil memegang lenganku.
Aku sedikit meringis karena cekalan yang dilakukan Pak Adit tepat di sisi lenganku yang memar. "Eh, maaf Pak saya hanya merasa capek dan ingin beristirahat saja."
"Apa perlu saya antar, Bu?"
"Tidak perlu! Biar saya yang akan mengantar dan menemaninya istirahat."