Chereads / Second Love (Duda Pilihan Papa) / Chapter 18 - ~17~ Kenapa Harus Marah?

Chapter 18 - ~17~ Kenapa Harus Marah?

"Marah sama, mas?"

Mas Ryan menghampiriku yang tengah menyiapkan sarapan.

Semalam setelah pergi ke kamar Alshad, aku memang memilih untuk tidur di sana dengan mengunci pintuya dari dalam. Bukan karena marah sama Mas Ryan, melainkan aku yang ingin menyendiri agar tidak mendengar obrolan mereka tentang anaknya. Yang membuatku semakin dilanda kerinduan dengan sosok anak kecil itu. 

Aku tertidur dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja, sebab bayang-bayang Alshad selalu menghantuiku ketika mataku terpejam. Mungkin terlalu lama menangis, sehingga saat pagi aku terbangun masih kudapati bekas air mata yang mengering di wajahku.

"Enggak, kenapa harus marah?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Dan kenapa memilih tidur di kamar sebelah?" tanyanya, sejenak menghentikan kegiatanku.

Aku mendengkus tanpa sadar, "Nisya hanya kepikiran sama Al, makanya semalam tidur di kamarnya," kilahku.

Melanjutkan kembali kegiatanku dengan tatapan Mas Ryan tak lepas dariku. Aku tak sempat memasak pagi ini, sehingga memilih untuk sarapan seadanya saja. Beruntung Mas Ryan tidak terlalu rewel soal makanan.

"Bukan untuk menghindari mas?" 

Aku menggeleng sambil terus melanjutkan kegiatanku, membuatkannya segelas susu dan roti mentega. Saat tanganku terulur guna mengambil setangkup roti juga mentega yang berada di tengah-tengah meja, sudah ada tangan lain yang melakukannya.

"Biar mas yang siapin, duduklah hari ini mas yang akan mengantar kamu ke sekolah."

Akupun menurut dan membiarkan saja Mas Ryan mengambil alih pekerjaanku. Karena sejujurnya aku sedang malas berinteraksi dengannya lebih lama lagi.

Pikiranku seperti tidak pada tempatnya, melainkan tertuju kepada sosok anaknya, Alshad. Selama tinggal bersamaku tidak pernah sekalipun anak itu sakit, hanya sekali ketika dia mendapat suntikan vaksin di sekolahnya. Itupun hanya demam biasa dan dia sudah sangat rewel malam harinya. Yang aku khawatirkan adalah, bisa nggak Mbak Sarah sabar mengurusnya? Mengingat anak itu yang akan terus merenggek dan mengeluh pusing ketika demam.

Tanpa terasa cairan sebening kristal itu kembali jatuh dari kedua mataku, kuusab dengan segera sebelum Mas Ryan menyadarinya. Namun terlambat sebab bukan tanganku yang melakukannya melainkan jemari dari Mas Ryan.

"Kenapa? Kamu sakit?" tanyanya khawatir.

Inginku berkata iya, tapi seolah kepalaku mengatakan tidak dengan gerakan menggeleng pelan.

Aku memang sedang sakit, sakit yang tidak akan bisa sembuh, jika belum bertemu dengan sumber rasa sakit itu sendiri, yaitu Alshad Ahmad Salim.

Hening, kami sarapan dalam diam, aku ingin pamit dan berangkat sendiri seperti yang kulakukan beberapa hari ini, tapi Mas Ryan melarang dan memaksaku untuk tetap pergi bersamanya. Akupun kembali menurutinya karena memang sedang tidak ingin berdebat dengannya untuk hal sepele.

Suasana hatiku yang tidak stabil berimbas pada kegiatan mengajarku pagi ini, beberapa kali aku hampir melakukan kesalahan, dan akhirnya kupilih untuk menyudahi proses belajar mengajarku sebelum semuanya semakin kacau dan tak terkendali.

Beruntung hari ini jadwal mengajarku hanya sampai siang,  jadi bisa pulang lebih awal. Aku sudah ada rencana untuk berkunjung ke suatu tempat yang sudah lumayan lama tidak pernah kusambangi lagi. Atas saran dari Yasa dan juga Sena, aku akhirnya tidak lagi memikirkan masa lalu yang bisa dibilang sedikit menyulitkanku untuk melangkah maju. Tapi hari ini aku akan kesana bukan untuk mengenangnya, namun hanya sebagai bentuk penghormatanku sebagai orang yang pernah memiliki rasa yang sama, namun tidak ditakdirkan untuk bersama pada akhirnya.

Usai memesan taksi, aku lantas membereskan barang bawaanku dan menuju pintu gerbang agar begitu taksi yang kupesan tiba tidak perlu menunggu lama. 

Di tengah perjalanan, mobil yang kutumpangi mendadak berhenti di jalur penyeberangan. Setelah kuamati tepat di depan kami ramai para pejalan kaki yang hendak menyeberang. Aku menoleh ke arah samping berniat untuk mengurangi rasa bosan dengan melihat suasana tepian jalan.

Saat itulah netraku menangkap sebuah pemandangan, yang jika orang lain yang melihatnya pasti akan menganggap biasa saja, dan mewajarkan kegiatan keluarga kecil yang nampak bersenda gurau di dalam restoran cepat saji khas anak-anak.

Namun tidak bagiku, aku merasakan nyeri yang teramat melihat pemandangan itu. Sesak mulai kurasakan menghimpit dadaku, mereka memang layak disebut sebagai keluarga kecil bahagia. Ada ibu, ayah, juga anak sebagai pelengkapnya. Entah untuk yang keberapa kali dalam sehari, kedua mataku mengeluarkan cairan beningnya.

Bisa kulihat dengan jelas binar bahagia mereka semua, terkhusus Alshad. Anak yang sempat kutangisi semalam suntuk karena mendengar kabar dirinya sedang sakit, kini dia terlihat baik-baik saja bahkan lebih dari itu.

Dan yang membuatku miris adalah, keberadaan suamiku diantaranya.

"Pak, kita putar balik saja, ya." aku menyebutkan alamat baru yang akan kudatangi, "maaf ya Pak, sudah merepotkan Bapak," sambungku.

Beruntung beliau tidak menolak permintaanku, dan berbaik hati menuruti kemauanku. Sepertinya aku tidak akan pulang ke rumah malam ini, dan pilihan yang tepat yaitu menyendiri di rumah pribadiku. Aku butuh waktu untuk mencerna baik-baik maksud dari Mas Ryan yang tidak mengajakku untuk menemui anaknya. Karena aku merasa jika keberadaanku tidak dianggap olehnya, dan itu membuatku seperti tengah dipermainkan oleh mereka terlebih Mas Ryan, suamiku sendiri.

"Sayang, kamu mau mas jemput jam berapa?" tanyanya dari seberang sana.

Mas Ryan menghubungiku sore harinya, saat aku sudah berada di rumah pribadiku.

"Nisya sudah pulang dari siang tadi mas, ke rumah mama, dan mungkin malam ini menginap di sini." bohongku.

"Kenapa nggak telepon mas? Kan mas bisa anterin kamu tadi ke sananya."

"Nggak papa, Nisya tahu mas lagi sibuk banget jadi tadi langsung pulang sendiri."

"Iyaa sudah, hati-hati di sananya dan sampaikan salam mas buat mama sama papa, ya."

"Mas!" panggilku sebelum Mas Ryan mengakhiri panggilanya.

"Ternyata benar apa yang mas katakan, kalau ternyata Alshad memang sudah senyaman itu tinggal bersama ibu kandungnya. Selama ini aku sudah salah menghawatirkan apa yang tak seharusnya kulakukan. Darah memang lebih kental dari pada air kan, Mas. Dan aku ingin mengucapkan terimakasihku karena sudah diberi kesempatan untuk menjadi bundanya, walau hanya sebentar saja."

Setelah mengatakan itu aku langsung mengakhiri panggilan darinya, mencoba untuk mengeluarkan segala pikiran yang ada dikepalaku tentang anak yang begitu kurindukan.

[ "Kamu kenapa? Apa ada masalah, mas nggak ngerti sama apa yang kamu omongin tadi, kita ngobrol ya, mas akan jemput kamu nanti malam."]

Pesan Mas Ryan langsung kubaca setelah dua panggilan darinya kuabaikan. Perubahan Mas Ryan masih bisa kurasakan, dia sudah tak lagi mau menunda-nunda jika memang ada masalah diantara kami. Mungkin dia merasa jika aku tengah menghindarinya dari semalam.

["Nggak usah, Mas. Besok pagi-pagi Nisya pulang, jadi mas nggak perlu jemput."]

Kutekan tanda kirim, dan setelah pesan itu dibaca oleh Mas Ryan, aku segera menonaktifkan ponselku.

Memilih untuk menyibukkan diri dengan melanjutkan kembali pekerjaan yang dikirimkan Yasa melakui email, masalah yang dialaminya kemarin tak kunjung usai sehingga masih saja merecokiku. Namun setelah beberapa saat larut dalam pekerjaan, pikiranku tak kunjung teralihkan oleh pemandangan yang kusaksikan tadi siang.

Aku tidak iri dengan kebahagiaan yang mereka ciptakan, hanya saja selama ini aku terlalu menghawatirkan hal yang tak sepatutnya. Apalagi semalam, aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak, memikirkan anak itu yang katanya sedang sakit.

Mungkin aku yang terlalu terlena melakoni peranku sebagai bundanya, sehingga fakta seolah menamparku untuk kembali pada kenyataan. Bahwa aku hanyalah bersifat sementara.

Mungkin juga aku harus merelakannya, karena jika tidak aku akan semakin merasa sakit mengingat fakta jika aku yang sebenarnya adalah sebagai ibu penggantinya saja. Dan sekarang ketika ibu yang sesungguhnya telah kembali, akupun harus berbesar hati mengikhlaskannya meski itu sulit.

Aku tersenyum dalam kemirisanku, Mas Ryan, entah dengan cara apa aku meluapkan kekecewaanku terhadamu.