"Hai, pak boy," sapa Cia dengan senyum lima jarinya. Pria itu hanya bisa tersenyum kikuk sambil melangkah mendekati bosnya yang sedang duduk dengan tablet di pangkuannya. Sedangkan Arsyilla duduk di lantai, karena sedang ngerjain pr.
Dhika tidak membahas masalah video dirumah, baru hari pertama jalani perjanjian. Jangan ada pertengkaran, paling tidak hari ini.
Dia emosi melihat video yang jumlahnya nggak terhitung itu, istrinya bilang durasinya panjang nggak bisa sekali up makanya titik-titik gitu, ada istri macam gitu? Ya, ada, dan sialnya itu istrinya.
"Pak, Boy?" Boy menoleh menatap nyonya mudanya, "udah liat status whatssup saya?" Tanyanya semangat. Pria itu menggeleng kaku, lehernya kayak di ganjel kayu.
"Coba liat. Habis itu koment ya?" Cia butuh suport system dari orang-orang sekitar.
Gimana Boy mau liat, bosnya udah kasi sinyal mematikan. Dia selalu tersiksa jika berada di antara keduanya. Dia kembali fokus menyampaikan beberapa hal yang terkait pekerjaan kepada Dhika.
"Nanti, saya lihat." Dengan sopan Boy menolak.
"Sekarang aja pak, terus kasi komentar langsung, kayak ajang-ajang berbakat gitu. Saya butuh dukungan dan semangat." Pintanya, dengan hati dag dig dug. Persis kayak di tengah panggung, mau di komentari juri.
"Syilla, kerjakan pr-mu. Kenapa kamu maksa orang?" Dhika melatih kesabaran.
"Saya kan mintanya sama pak Boy, kenapa bapak yang sewot? Pr gampil sama saya." Cia menunjukkan jempolnya yang menjetik kelingkingnya.
Cia kembali fokus menatap pengawalnya itu, mukanya penuh harap Boy ngeluarin ponsel, terus liat statusnya dan kasi komentar.
"Cepetan pak?" Desak gadis itu. Dengan tangan gemetar pria itu mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi dan melihat status whatssup nyonyanya. Rahang Dhika udah mengetat, tapi dia tidak bisa meledak sekarang. Gadis itu akan mendebatnya dan berakhir masuk kamar, tidak akan keluar lagi.
Sebenarnya bagi Boy, video tersebut tidak ada yang aneh, hanya dance biasa. Tapi kenapa wajah bosnya semenakutkan itu? Wajar untuk anak seusia nyonyanya bersenang-senang dengan teman sebaya. Lagipula di luar sana banyak remaja yang jauh lebih parah.
"Gimana pak?" Mata Cia berbinar liat pak Boy serius liat dia dance.
"Bagus, anda berbakat."
Cia menggeprak meja sambil berdiri lalu lompat-lompat kegirangan. Dhika dan Boy sedikit terkejut melihat reaksi spontas gadis itu.
"Tu kan bener, saya kayak udah feeling gitu pak, kalau saya ini berbakat dance. Gila, mantap kali kan pak? Nanti kalau saya terkenal, pas konser saya kasi bapak tiket untuk satu keluarga."
'Memangnya ada konser khusus dance?' Batin Boy. Mungkin ada, dia aja yang nggak tau, umur mereka kan beda jauh, pikirnya.
"Terima kasih." Boy tersenyum kikuk. Sedangakan Dhika menatap istrinya dengan alis mengernyit.
Cia nggak sadar, dia masih melompat kegirangan, mikir besok mau dance apalagi. Satu orang kasi suport rasanya kayak di hujami semangat sama idol kesukaannya. Song Jong Ki. Ok, idolnya tua tapi dia hanya sekedar ngefans bukan halu mau jadi pengganti Song Hye Kyo.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Dhika, dengan segera Boy pergi dari penthouse yang terasa dingin sekaligus panas itu. Cia tidak menyadari jika suaminya siap meledak namun menahan diri agar tidak memulai perang.
"Kamu tau malu tidak?"
"Ya tau la, malu kok nggak tau." Cia kembali duduk sambil buka buku. Ngecek ada yang salah nggak jawaban matematikanya. Nyatanya nggak ada, dia bangga dengan dirinya yang pintarnya nggak ketulungan.
Sebenarnya Dhika berharap, istrinya bertanya sesuatu tentang soal-soal itu, dan dia punya alasan mengajari gadis itu. Tapi yang di lihatnya Cia mandiri dengan soal-soal yang termasuk sulit.
"Kalau tau, kenapa meminta pendapat orang tentang liukkan kamu itu?"
Arsyilla memutar jengah bola matanya yang di hadiahi pelototan dari Dhika.
"Pak, saya dance nggak sambil naked, lagipula dancenya keren kok, kenapa harus malu? Dan lagi berhenti lah, nyebut liuk, meliuk, apapun itu. Nggak banget bahasanya tau." Protesnya
"Berani kamu naked, saya congkel biji mata kamu, begitupun seluruh bagian tubuh yang kamu pamerkan." Cia langsung ngebayangin, wajahnya pucat pasi.
Dhika yang melihat itu langsung kasian, dia lupa jika istrinya ini takut hal-hal semacam itu.
"Jadi benar bapak psiko?" Tanya Cia sambil menunduk.
"Kamu itu ya, cepat sekali percaya untuk hal yang tidak masuk akal, kalau pun saya psikopat, kamu bukan target saya."
Terdengar Cia menghela napas lega, asal bukan dia targetnya, dia udah tenang kok.
"Benar juga, saya bukan target yang sempurna."
"Syilla, saya mau bicara yang serius." Cia mendongak menatap horor gurunya.
"Setiap hari bapak bicara serius, emang pernah bercanda?" Dhika mengabaikan kalimat mengejek itu.
"Saya akan pindah ke America begitu kamu lulus sekolah, satu tahun dari sekarang."
"Serius?" Mata Cia berbinar. Dhika mengangguk.
"Jadi hadiah kelulusan saya, surat cerai dong pak?" Tanyanya penuh semangat.
"Bukan, tapi surat pindah ke America." Mata Cia menatapnya penuh tanya.
"Yang pindah bukan cuma saya, tapi kita." Cia masih diam mencerna perkataan suaminya yang kelewat egois.
"Saya nggak mau ke America, buat apa saya kesana? Nggak ada keperluan. Dan lagi saya mau kita cerai sebelum kuliah." Setelah diam beberapa saat gadis itu buka suara.
"Kamu sudah ada calon? Perjanjiannya saya menceraikan kamu, jika kamu menemukan pria yang mau menjalin hubungan denganmu sebagai suami-istri, bukan sepasang kekasih." Cia mutar otak.
"Nah, itu dia pak. Kayaknya udah nemu tambatan hati saya, terus mau nikah muda sambil kuliah kayaknya seru ya, tinggal satu kos tapi udah halalan thoyiban." Walaupun Cia halu, tapi harus terlihat nyata gitu lo, biar Dhika yakin.
"Siapa?!" Suara Dhika tanpa sadar sedikit meninggi.
"Rahasia la, lupa point nomor satu?" Rahang Dhika mengetat.
"Perjanjian awal saya tau siapa calon kamu itu."
"Seingat saya nggak deh pak."
"Kamu yakin mau nikah muda?"
"Yakin lah, nikah masih bayi gini aja saya bisa. Pasti nikah muda berhasil." Semangatnya.
"Tapi pernikahan yang akan kamu jalani itu berbeda dengan yang kita lalui sekarang."
"Ya apapun itu, saya pasti bisa." Yakin gadis itu.
Dhika bangkit menuju kamarnya tanpa mengatakan apapun. Cia yang melihat pria itu masuk, dia pun menutup buku dengan hati riang lalu beranjak kekamar tidurnya. Besok harus bangun pagi buat sarapan.
****
Keesokkan paginya Cia bangun jam setengah lima, udah pasang alarm jafi tepat waktu bangunnya, dia turun membuat segelas kopi untuk Dhika, dua sandwich dan segelas susu, setelah itu kembali kekamarnya untuk bersiap.
"Pagi, pak Boy." Cia turun dari lantai dua siap dengan seragamnya.
"Pagi." Cia menuju ruang makan dan melihat sarapan Dhika belum tersentuh. Dia duduk di kursinya dan mulai makan namun gurunya itu belum menampakkan diri sama sekali sampai dia selesai sarapan.
"Pak Mahar belum keluar kamar?" Tanyanya pada Boy.
"Bos, sudah pergi." Cia terpaku mendengar jawaban itu, ia memandangi sarapan buatannya. Tidak di sentuh sama sekali.
"Pak Boy, udah sarapan?" Sebenarnya dia nggak enak nawarin pria itu makanan yang tidak di makan Dhika.
"Sudah." Cia mengangguk, ia mengambil gelas kopi lalu menuju wastafel, membuang isinya dan mencuci benda tersebut beserta piring kotor yang lain. Menempatkan sandiwch buatannya ke kotak bekal.
Boy melihat apa yang di lakukan nyonyanya. Keriangan nyonya mudanya lenyap, tersirat kekecewaan di mata gadis itu. Sebelum pergi dia mencoret peraturan tugas membuat sarapan di kertas perjanjian yang ia tempel di pintu kulkas.
Dengan begini tidak ada tanggung jawab keduanya untuk menyiapkan sarapan atau makan malam satu sama lain. Jangan di pikir Cia akan meronta-ronta dan bertanya kenapa sarapan buatannya nggak di makan, itu bukan gayanyap.
Dia akan memberikan sandwichnya pada Aneth dan Cecillia. Rasanya enak kok, dia aja makan lahap. Sama tu guru kok cuma di angguri aja. Kan nggak ada akhlaknya.
Emang manusia satu itu paling nggak bisa menghargai usaha orang, pikirnya.