"Ma, Pa. Cia mau ngomong." Setelah selesai makan malam, Arsyilla meminta kedua orangtuanya mendengarnya yang ingin bicara serius.
"Apa, sayang?" tanya Bagus.
"Cia mau nikah sama Pak Mahar?" Bagus dan Sarah saling pandang karena terkejut, hampir saja bola mata keduanya keluar.
"Woah, cepet sekali mikirnya Cia? Pasti Kamu nggak tahan sama ketampanannya calon mantu Mama kan Sayang?" Sarah menaik turun kan alisnya.
Arsyilla ingin ganti Mama sekarang.
"Tunggu. Pak Mahar itu siapa?" Bagus bingung dengan siapa putrinya mau menikah.
"Ya ampun, maksud Cia itu Mahardhika, Pa. Cia rada gesrek emang, manggilnya Mahar." Bagus tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penjelasan julietnya.
Ya Dia menganggap dirinya dan Sarah adalah Romeo dan Juliet.
'Lebay' kalau kata Arsyilla.
"Mama sama Papa, nggak sedih gitu putri kesayangannya mau nikah?" Arsyilla kadang berpikir benarkah dirinya anak kandung kedua orangtuanya.
"Loh, kenapa harus sedih? Harusnya bahagia donk, anak Mama nggak sempat ngerasain jadi perawan tua."
Sarah berkata tanpa beban dan dosa.
"Belum tentu juga kan Cia jadi perawan tua?" Arsyilla menggembungkan pipinya, tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Kamu itu tukang gonta-ganti pacar, nggak yakin Mama, Kamu akan nikah muda."
Sarah benar, Arsyilla tidak berniat menikah di usia muda.
"Apa yang membuat Kamu cepat mengambil keputusan?" tanya Bagus.
"Cepat atau lambat sama aja kan Pa, hasilnya," jawab Arsyilla malas.
"Benar juga, buat apa buang energi untuk hal yang sia-sia, iya kan?" Arsyilla mengangguk lesu.
"Tapi, Cia punya permintaan." Arsyilla menegakkan tubuhnya dan menatap serius kedua orangtuanya.
"Apa itu?"
"Cia mau semua keputusan yang Cia ambil setelah menikah, Mama dan Papa tidak boleh ikut campur." Bagus mencium aroma yang tidak beres di sini.
"Kamu merencanakan sesuatu Cia?" Mata Bagus memicing layaknya detektif yang sedang mengintrogasi tersangka.
"Rencana apa? Cia cuma nggak mau, rumah tangga Cia di recoki." Arsyilla melirik kearah Sarah dan Bagus mengerti maksud putrinya.
Bagus tau istrinya akan merecoko Arsyilla dalam segala hal, Sarah dan kelakuannya yang kadabg kelewat ajaib.
"Baiklah, Kami tidak akan ikut campur." Arsyilla lega karena bisa mengelabui ayahnya sementara Sarah tidak mengerti apapun.
"Kalau begitu, Papa akan menghubungi keluarga Sanjaya dulu," ucap Bagus.
"Mama juga mau hubungi pihak designer untuk menentukan baju yang akan Kamu pakai."
Dengan girang Sarah mengambil ponsel dan menghubungi salah satu nomor di ponselnya, entah siapa itu Arsyilla tidak tau.
Arsyilla menatap jengah ibunya yang semangat seperti Dia yang akan menikah ulang dengan sang ayah.
"Mama, kok semangat kali sih. Udah nggak betah ya liat Cia lama-lama dirumah?" Sarah langsung menghentikan gerakan jempolnya.
"Kenapa Kamu ngomongnya gitu?" Mata Sarah sudah berkaca-kaca.
"Habis Mama semangat banget," jawab Arsyilla pelan.
Sarah bergeser dan duduk di sebelah putrinya, sambil mengusap kepala Arsyilla Dia berkata, "Mama hanya merasa bersyukur Kamu akan bersama orang yang tepat, meskipun Dia itu Kamu anggap tua, tapi Mama yakin Dia mampu mengimbangimu, sayang."
Sarah tidak pernah ingin bicara hal yang bisa membuatnya menangis, tapi kali ini ia harus dewasa dan menempatkan posisi sebagai ibu dengan baik.
"Kalau nyatanya Mama salah gimana?"
"Mama yang akan mengambilmu kembali darinya, dan Mama tidak akan mengizinkan Dia kembali padamu." Arsyilla mengangguk setuju.
"Janji Ma?"
"Tentu nggak dong." Sarah tertawa keras.
Arsyilla yang awalnya sudah terbawa suasana haru, kini kembali kesal.
"Maaf, Mama bercanda. Mama janji." Sarah mengecup kening putrinya dengan sayang.
Arsyilla adalah permata yang tidak ternilai, dirinya tidak akan membiarkan siapapun menyakiti putrinya, meski dirinya sering bertengkar dengan Arsyilla, tapi tidak ada yang bisa menandingi rasa sayangnya pada Arsyilla.
***
Tama baru saja menerima telpon dari sahabatnya Bagus, dan dengan segera dirinya memberitahukan itu kepada Sinta, istrinya.
"Benarkah, Pa?!" Sinta sangat semangat sampai lupa keanggunannya, ia terlalu menyukai Arsyilla.
"Mama, jangan terlalu bersemangat."
"Bagaimana tidak semangat Pa, Cia itu kayak moodbooster Mama, gadis itu sangat menggemaskan."
"Piara kucing saja yang lebih menggemaskan dari bayi itu." Dhika menyela pembicaraan kedua orangtuanya, Dia ikut bergabung di ruang keluarga.
"Kamu ini, jangan samakan Cia dengan kucing. Dan Dia bukan Bayi, tapi bisa menghasilkan Bayi." Sinta sangat bahagia sekarang, rumah ini tidak akan sepi lagi.
"Terserah," ucap Dhika tanpa minat.
"Tadi Kamu ketemu Dia nggak di sekolah?" Sinta sudah duduk di samping putranya untuk mendengar jawaban dari Dhika.
"Ketemu," jawab Dhika singkat.
"Menurutmu Cia cantik tidak kalau di sekolah?"
"Ma, stop. Tugasku disekolah itu bukan memperhatikan penampilannya."
Seketika Sinta diam dan bergeser mendekati suaminya, meski dirinya seorang sikolog tapi Dia nyerah jika harus memahami sifat putranya sendiri.
"Aku mau bicara serius." Tama dan Sarah menatap Dhika menunggu putra mereka bicara.
"Setelah menikah, Aku akan pindah ke apartemenku, Kalian jangan datang tanpa sepengetahuankku, dan juga jangan merecoki rumah tanggaku."
Sarah dan Tama hanya bisa mengangguk setuju. Sarah merasa sedih karena Arsyilla tidak akan tinggal bersamanya.
"Dan hal pentingnya adalah, Aku akan membawa Syilla pindak ke America begitu Dia lulus sekolah."
"Dhika!" Suara Tama menggema.
"Kalian telah berjanji padaku, jadi jangan ingkar." Dhika tidak perduli tatapan marah ayah dan tatapan sedih ibunya.
"Kamu masih mau memperjuangkan Dia, sementara Dia hampir membuat Kakekmu mati mendadak Dhika."
"Semua karena Kakek menyuruhnya untuk pergi dari hidupku, dan lagi Dia memang pernah mengandung anakku."
Tama dan Sints lupa bahwa selama kuliah di London, Dhika telah tercemar dengan pergaulan bebas dan tanpa sepengetahuan keluarganya, dirinya hidup bersama sang kekasih layaknya suami istri.
"Kamu akan menyakiti Cia," lirih Santi.
"Itu pilihan Kalian, sejak awal Aku tidak pernah menginginkannya."
"Bicarakan ini dengan Kakekmu," ucap Tama.
"Aku sudah bicara padanya, selama Aku menikah dengan Syilla, Dia tidak akan mengusikku lagi." Setelah mengatakan itu Dhika pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang tidak bisa mengatakan apapun.
"Kita akan merusak hidup gadis manis itu, Pa."
"Kita berdo'a saja Cia bisa membuka pintu hati Dhika, Ma. Sebelum semua terlambat."
Sinta mengangguk pelan lalu memeluk suaminya.
****
"Selamat pagi cek gu." Arsyilla bersenandung pagi menyapa dua sahabatnya.
"Selamat pagi Ratu php," sahut Zanetha sambil menyalin Pr.
"Mulai sekarang gue akan copot gelar itu dari pundak gue, berat euy mikulnya." Canda Arsyilla.
"Maksud lo?" tanya Cecilia.
"Gue berhenti pacaran dan akan eliminasi semua gebetan gue, tanpa terkecuali."
Zanetha kini tidak lagi fokus pada Pr nya, karena ucapan Arsyilla lebih menarik.
"Serius lo? Demi apa?"
"Demi Alfandi suami masa depan gue." Senyum kembang menghiasi wajah cantik Arsyilla.
"What? Lo pacaran sama si cerdas yang tampan itu?!" Teriak Zanetha anstusias.
"Lo apaan sih Neth? Teriak aja! Biar seluruh siswa denger dan gue malu." Arsyilla menatap kesal sahabatnya yang suka sekali teriak ini.
"Ya, maaf. Gue kan kaget."
"Alah, lo itu kebiasaan tau nggak. Kalau ada yang denger gimana? Jatuh dong harga diri gue, ngaku-ngaku pacaran sama Alfandi."