"Ci, lo nggak apa-apa kan?" Tanya Cecilia khawatir, sementara Zanetha pergi membelikan Arsyilla minuman.
"Masih emosi gue," ucapnya menahan diri untuk tidak mengamuk.
"Ok. Tarik nafas, keluarkan perlahan. Lakukan itu sebanyak yang lo bisa." Arsyilla mengikuti intrupsi sahabatnya.
"Gimana?"
"Lebih baik," ucap Arsyilla.
"Ni, minum lo." Zanetha membelikan sebotol minuman dingin.
"Thanks, Neth." Arsyilla menenggak hampir habis minuman botol itu.
"Hai, mantan gebetan?" Sapa Alex di ikuti beberapa gebetan yang baru di putusin Arsyilla.
"Gila lo ya, jadi trending topik di sekolah. Gue yakin besok si Maya bakal malu kesekolah, rambutnya hampir botak. Dia kan over banget sama penampilan, tapi laku juga nggak." Alex sangat tau membuat suasana kembali mencair, terbukti Arsyilla yang tertawa renyah.
"Duh, gimana mau move on, tawa lo itu buat makin jatuh cinta tau nggak Ci." Andi mendapat tatapan tajam dari Arsyilla.
"Lah kan emang bener, ada yang mau ngebantah ucapan gue lo pada?" Dengan serempak para cowok menggeleng pelan.
"Gue rasa cupid salah manah deh," ucap Zanetha.
"Maksud lo?" Kali ini Revan yang bertanya.
"Lo pada waktu cupid mau manah, lo gabut semua, terus cupid manahnya kearah Cia. Makanya kalian bisa klepek-klepek sama Cia." Zanetha dengan segala teorinya.
"Apaan sih lo Neth? Garing tau," ucap Alex yang gagal faham mencerna maskud ucapan Zanetha.
"Cil, sahabat lo tu," ucap Arsyilla sambil menyenggol bahu Cecilia.
"Sahabat lo kali," jawab Cecilia jengah. Semua tertawa karena melihat wajah Zanetha kesal.
Zanetha tidak sakit hati karena begitulah cara mereka bersahabat.
***
Gabriel saat ini berada diruang Osis untuk menyiapkan semua tugas yang di embannya, secara tidak sengaja Dia melihat Alfandi berjalan bersama Maya, gadis yang baru saja ribut dengan Arsyilla.
Fandi siswa yang pendiam, tidak banyak teman, tapi dari semua orang kenapa cowok tampan itu bersama Maya, pikirnya.
Karena rasa penasaran, Gabriel mengikuti arah kedua orang itu, dan gudang sekolah adalah tujuan mereka.
Alfandi dan Maya melihat kekanan dan kiri untuk melihat jika tidak ada yang mengikuti mereka, setelah itu mereka masuk kedalam gudang dan menguncinya.
Jangan tanya dari mana mereka mendapatkan kunci. Tentu saja Maya menyuap petugas sekolah.
"Kamu nggak apa-apa May?"
"Sakit," ucap Maya yang kembali menangis, dengan segera Fandi membawa gadis itu kedalam pelukannya.
"Udah tau Dia itu bar-bar, Kamu harusnya jangan cari masalah sama Dia." Maya mendorong tubuh tegap Fandi hingga pelukannya terlepas.
"Semua karena Kamu lambat, harusnya sekarang itu Aku liat Cia nangis karena Kamu permainin!" Bentak Maya.
"Aku nggak bisa, karena Cia belum tentu juga suka sama Aku. Kamu tau sendiri, Dia masih anggap Aku gebetan." Entah kenapa hati Fandi merasa sedih karena itu.
"Harusnya paksa dong Fan, Kamu tau kan kalau dengan cara itu bisa nentuin hubungan Kita bisa lanjut atau nggak."
"Kenapa harus dengan nyakitin Cia? Apa salah Dia?" Fandi tidak habis pikir dengan gadis yang hampir dua tahun mengisi hatinya ini.
"Karena Dia mendapatkan perhatian seluruh orang di sekolah ini, Aku benci. Dia bahkan nggak takut sama Aku."
"Terus kalau Dia dapat itu semua, ngerugiin Kamu?"
"Ya, Aku mau selalu jadi yang terdepan dan Kamu tau itu." Fandi merasa gadis di depannya ini bukanlah Maya yang dulu.
"Aku pikir bukan itu masalahmu dengan Dia hari ini."
"Dia menghina Pak Dhika dan Aku nggak Suka."
"Alasannya?" Tanya Fandi menyelidik. Sebab Maya juga bahkan berlaku tidak pantas pada guru paruh baya bernama Pak Ramlan, hanya karena guru itu paling rendah ekonominya di sekolah ini.
"Ya, Aku nggak suja aja. Kamu tau Pak Dhika jadi idola sama semua murid termasuk Aku, Aku nggak terima idola Aku di hina."
Maya berusaha menutupi kegugupannya.
"Alasanmu nggak berdasar May," jawab Fandi pelan.
"Fan, Aku cuma mau Dia ngerasain jatuh sekali aja. Biar Dia nyadar nggak selamanya Dia berada di atas angin." Maya mulai bersikap manja, dan mencium sekilas bibir Fandi. Fandi luluh dan membawa Maya kedalam pelukannya.
"Hanya kali ini Aku ikutin ide gila mu May, kedepannya kembalilah menjadi gadis yang manis." Dalam hatinya, ia merasa gelisah karena akan menyakiti gadis yang sebenarnya sudah memberikan Dia rasa nyaman.
"Aku janji," ucap Maya sambil memeluk Fandi dengan erat. Dia masih menyukai pacarnya ini tidak ada lagi cinta, sebab setelah melihat Dhika, dirinya jatuh cinta sama guru sekaligus kepala sekolahnya itu.
Tanpa keduanya sadari ada yang mendengar pembicaraan mereka dengan menahan emosi. Dirinya ingin membuat perhitungan dengan mendobrak pintu gudang tersebut namun ada tangan lain yang menahannya.
***
Dhika menghubungi orangtua Arsyilla dan mengatakan jika tidak perlu datang kesekolah, hanya terjadi kesalah pahaman kecil, itu yang dirinya katakan pada kedua orangtua Arsyilla.
"Cia, pulang." Hari ini sangat melelahkan. Karena tidak ada yang menjawab dirinya langsung pergi menuju kamarnya.
Arsyilla melempar asal tasnya, dirinya tidak mengerti kenapa tidak merasakan sakit hati seperti gadis pada umumnya.
'Apa Aku tidak punya hati' batinnya.
Drrt ... drrtt ... drtt
Bunyi ponsel Arsyilla tanda pesan masuk.
"Cia, are you ok?" Bunyi pesan itu yang dikirmkan oleh Fandi.
"Yes, Aku bukan cewek yang gampang mewek," balas Cia. Ia melempar ponselnya lalu mengganti pakaian, setelah itu dirinya tidur untuk menjemput alam mimpi.
***
Fandi mondar mandir di kamarnya yang bernuansa putih, warna umum untuk anak laki-laki. Dia merasa ada yang berbeda dengan Arsyilla, gadis itu cuek padanya.
Semalam Fandi ingin membalas pesan, tapi tau jika nomornya telah di blocx0yk oleh gadis itu, tapi saat iseng melihat story tidak di sangka Dia bisa kembali melihat storynya Arsyilla, dan langsung dirinya mengirimi Arsyilla pesan.
Tidak sabar menunggu balasan Arsyilla, Fandi langsung menelponnya. Ini untuk pertama kali pemuda itu menghubunginya dari telpon, biasa dirinya hanya membalas chat dari Arsyilla, atau Dia yang lebih dulu mengirim pesan pada gadis manis itu.
Fandi mengumpat karena Arsyilla tidak mengangkat telponnya.
"Kamu kenapa, Cia." Fandi tak henti memikirkan gadis itu.
****
"Hai calon besan," sapa Santi pada Sarah.
"Hai," sapa balik Sarah dengan semangat. Saat ini mereka ada dirumah Arsyilla untuk membicarakan perihal pernikahan sambil menikmati makan malam.
"Kalian mau konsep yang seperti apa?" Tanya Sinta menatap Arsyilla dan Dhika.
"Sesimple mungkin, dan Aku nggak mau ada resepsi, terus pernikahan Aku juga harus tersembunyi," ucap Arsyilla santai.
"Kenapa begitu?"
"Aku masih sekolah jika Mama lupa, tolong jangan buat malu Aku yang berstatus istri di usia muda." Arsyilla menatap keempat orangtua dengan tatapan yakinnya.
"Kamu bagaimana Nak Dhika?"
"Aku setuju."
"Baik kalau begitu, Kita tidak perlu menyiapkan hal yang besar, pernikahan ini akan di hadiri oleh orang yang penting saja."
Tama dan Sinta memahami situasi ini kelak akan menguntungkan Arsyilla yang mungkin akan banyak terluka akan hubungan ini.
"Tapi ini kan pernikahan yang pertama dan terakhir Kamu, Cia." Sarah menatap sedih putrinya.
"Udah la Ma, apa artinya resepsi kalau Kita nggak bisa memaknai pernikahan dengan baik. Aku juga masih kaget dengan hubungan seperti ini." Arsyilla memang kadang dewasa di saat yang di butuhkan.
"Kalau begitu, tinggal persiapkan cincin kawin dan maharnya."
"Lah, untuk apa nyiapin Mahar? Kan udah ada ni Pak Maharnya." Arsyilla terbahak, dan Dhika meliriknya tajam.
Remaja ini selalu punya cara untuk menguji kesabarannya, dan untungnya Dhika tidak tertarik menanggapinya.