Seminggu terlalu cepat berlalu dan hari ini tiba, hari dimana Arsyilla akan menikah dengan gurunya sendiri, dari single menjadi double, Dia akan menyandang Status istri di usia muda.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arsyilla Ayunda binti Bagus Trihadmoedjo putri bapak untuk Saya, dengan mas kawin tersebut tunai."
"Sah." Saksi menjawab, semua yang hadir bernafas dengan lega karena pria itu bisa mengucapkan ijab qabul dengan satu tarikkan nafas.
Dhika melihat gadis berkebaya putih yang memakai sunting sederhana berjalan kearahnya dengan di apit oleh Mama dan ibu mertuanya.
Dhika akui Arsyilla sangat cantik, dalam sejenak Dhika terpana. Namun segera ia tepis rasa itu.
Arsyilla tidak melihat ada yang berbeda dari seorang Mahardhika, yang memang selalu tampil rapi dan tampan. Arsyilla tidak pernah merasa ada yang spesial dari gurunya ini.
Setelah pemakaian cincin pernikahan di lanjutkan dengan do'a dan nasihat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apa itu hak dan kewajiban dari suami ke istri begitupun sebaliknya.
Ah, acara minta restu juga tidak tertinggal. Gadis itu hanya perlu sedikit terharu untuk membuat acara ini berlangsung agak dramatis, dia geli sendiri dengan actingnya yang jago.
'Tunggu! Kakeknya pak tua ini dimana, kok nggak keliatan?' monolog batin Arsyilla.
Pernikahan berlangsunh dengan cepat dan di akhiri dengan khidmat, pasangan pengantin itu langsung pergi menuju apartemen Dhika.
Keduanya tidak ingin tinggal lebih lama, mereka enggan berada dalam satu kamar yang sama.
Yang jelas tidak akan ada malam pertama.
Arsyilla telah mengganti pakaiannya dengan cepat, semua serba sederhana, tidak sulit melepas kebaya itu bagi Asryilla.
"Hati-hati ya? Ingat lusa Kita akan berkunjung kerumah Kakek." Arsyilla belum pernah bertemu dengan Kakeknya Dhika yang menjadi sahabat karib almarhum kakeknya.
***
Perjalanan tidak terlalu jauh dari rumah Dhika ke apartemennya, saat lift membawa mereka ke lantai paling tinggi, Arsyilla tau jika ini bukan apartemen melainkan Penthouse.
"Bapak tajir juga ya?" Arsyilla menggeret kopernya keluar lift hingga masuk kedalam penthouse mewah bergaya minimalis, cowok banget.
"Kamarmu di sana," tunjuk Dhika kelantai dua dengan tangga tanpa penyangga, mengerikan kalau sampai salah langkah.
"Ok," jawab Arsyilla.
"Setelah meletakkan barangmu, kembali. Saya ingin bicara tentang peraturan di sini." Tanpa menjawab Arsyilla melangkah menuju kamarnya.
Begitu pintu terbuka terlihat kamar yang simple namun elegant, tampaknya ini kamar tamu. Tidak berniat menimakti kamarnya, dengan segera Arsyilla menyusun pakaiannya di walk in closet yang masih kosong, pakaian Arsyilla bahkan tidak memenuhi satu lemari pun.
Sebelum kembali turun, Arsyilla menyempatkan waktu untuk mandi, ia gerah karena tubuhnya yang lengket akibat keringat.
"Ah, seger." Tubuhnya menikmati rendaman dalam bathub. Arsyilla menertawai dirinya sendiri, sebab nasibnya yang mirip kisah dalam novel.
Lucu! Itulah yang dirinya rasakan, bagaimana remaja umur 17 tahun sudah menikah, bahkan dirinya baru tiga tahun ini merasakan yang namanya menstruasi.
"Di jadikan novel, laris kali ya," gumamnya sambil terkekeh kecil.
***
Sementara di lantai bawah di kamar utama, hal yang sama juga di lakukan Dhika, dirinya mandi dan berendam di bathub. Tubuhnya butuh istirahat begitupun pikirannya.
Saat makan malam tiba baru Arsyilla turun, itupun karena perutnya lapar. Jangan salahkan dirinya yang tertidur habis mandi.
"Kamu mengabaikan ucapan Saya, Syilla?" Dhika yang sedang duduk diruang tv melihat Arsyilla turun dari lantai dua.
"Bentar ya Pak, perut Saya lapar." Arsyilla langsung ngacir kearah dapur untuk melihat apa yang bisa di makan untuk mengisi perutnya yang telah meronta.
"Pak, nggak ada makanan gitu yang bisa Saya makan?" Arsyilla berjalan gontai kearah ruang tamu
"Saya sudah pesan online," jawab Dhika.
"Dud--,"
Belum siap Dhika bicara, Arsyilla sudah mengehmpaskan tububnya di sofa, tubuh mungilnya di balut dengan setelan training bermerk.
Dia yang seperti ini malah terlihat seperti anak Sd si mata Dhika.
"Bisa kita serius sejenak?" Arsyilla menegakkan tubuhnya dan mengangguk.
"Peraturannya, pertama kamu tidak boleh membawa teman kemari, apapun alasannya. Kedua kamu tidak boleh masuk kekamar dan ruang kerja Saya tanpa izin."
"Berlaku juga buat Bapak?" Dhika mengangguk, sebab dirinya memang tidak memiliki teman untuk di bawa ke penthouse ini.
Arsyilla juga mengangguk sebab peraturan ini sangat menguntungkan baginya.
"Ok, deal," ucap Arsyilla mantap.
"Ini," ucap Dhika sambil menyerahkan kartu kredit.
"Untuk apa?"
"Pakai untuk kebutuhan Kamu." Arsyilla menggeleng cepat.
"Saya nggak bisa nerima apapun dari orang yang tidak ada hubungannya dengan Saya, kartu Saya juga lebih dari cukup isinya."
"Saya suami kamu jika kamu lupa."
"Itu cuma status, selebihnya nothing." Arsyilla gerah jika sudah membahas status.
"Apapun itu terserah, yang jelas pakai kartu ini. Saya tidak mau di nilai pria yang tidak bertanggung jawab."
"Siapa yang nilai? Orangtua Saya atau orangtua Bapak? Denger ya, Saya itu mandiri, uang jajan juga pakek uang sendiri." Arsyilla tidak sepenuhnya berbohong.
Ia memiliki penghasilan sendiri dari hasil menjual souvenir dari berbagai daerah, ia menjual secara online dan hasilnya jug lumayan.
Paslah untuk kebutuhan Arsyilla.
"Benarkah? Lalu kenapa kamu takut saat orangtuamu mau mengambil semua kartumu?" Alis Dhika naik sebelah.
"Itu beda, Pak. Saya kan niatnya mau minggat, ya butuh dana yang banyak lah untuk biaya hidup." Ingin rasanya Dhika tertawa saat ini.
"Udah Bapak nggak usah repot sedekah ke Saya. Saya belum fakir kok." Terdengar hembusan nafas lelah dari Dhika.
"Apa salahnya kamu terima saja, tidak usah debat." Dhika menatap dalam manik indah Arsyilla dengan bulu mata yang panjang dan lentik.
"Bapak bisa nggak usah maksa? Saya paling nggak suka di paksa."
Bunyi bel apartemen berbunyi, tapi Dhika masih menatap mata Arsyilla, mata yang bisa menawarkan kehangatan.
"Pak, nanti lagi kalau mau melototi Saya, sampek biji mata Bapak keluar juga nggak apa-apa. Sekarang makan dulu aja, tuh pesanan udah datang." Perut Arsyilla udah tidak bisa berkompromi lagi.
Dhika menarik nafas pelan, lalu berjalan kearah pintu dan mengambil pesanan yang sudah di letakkan di depan pintu.
Tidak ada yang berniat meracuni mereka, lagipula di lantai ini cuma dirinya yang tinggal.
Arsyilla sudah menunggu di meja dapur, dengan piring dan segelas air untuknya, Dhika yang melihat itu hanya bisa geleng kepala saja.
"Kamu hanya menyiapkan piringmu?"
"Jadi untuk siapa lagi?" Alis Arsyilla berkerut, dengan menggigit ujung sendok membuat Dhika menahan nafasnya sejenak.
"Kamu tidak tinggal disini sendiri."
"Ya udah la Pak, gitu aja di permasalahkan." Arsyilla bangkit dan mengambil peralatan makan Dhika berserta air minumnya.
"Cincin kawinmu mana?" Dhika tidak melihat cincin yang melingkar di jari manis Arsyilla, saat gadis itu menenggak minumannya.
"Saya simpan, buat apa juga di pakek. Nanti kalau pas ketemu orangtua aja di pakeknya."
"Kamu takut gebetan Kamu lihat?" Arsyilla merasa gurunya ini mulai nyinyir.
"Kok Bapak kepo? Suka-suka Saya lah, lagian ya, Saya nggak mau sampai lupa dan berakhir kedua sahabat Saya curiga." Apalagi Arsyilla sedikit pelupa orangnya.
Arsyilla menghabiskan nasi goreng itu dengan kunyahan yang cepat, rasanya pun nikmat sekali, lain waktu dia akan bertanya dimana gurunya memesan nasi goreng ini.
Arsyilla cukup tau diri untuk mencuci piring dan membereskan bekas makanannya, anak itu meski terlahir kaya namun tidak manja seperti gadis kaya pada umumnya.
"Mau kemana kamu?" Dhika yang masih makan melihat Arsyilla yang hendak pergi.
"Saya mau kerjain tugas matematika, kalau sampai nggak, besok saya bisa ribut lagi sama cabe-cabean di sekolah, sebab mengumpat idolanya." Dhika menyunggingkan senyum saat mendengar sindiran Arsyilla.
Tapi sayang Arsyilla tidak melihat senyum menawan itu.