Sore hari tiba. Lembayung berwarna oranye menghiasi langit dengan penuh keindahan, Brama sudah berada di kediaman Aji. Ia berniat untuk mengajak sang kekasih makan bersama di tempat penjual bubur ayam bertenda di pinggiran jalan.
"Siap?," tanya Brama yang melihat Aji sudah rapi dengan kaus polos hitam dan celana jeans yang senada.
"Udah. Yuk kita pergi."
Mereka berjalan layaknya seorang teman. Tidak intens seperti pasangan lainnya. Aji dan Brama sangat pandai memainkan peran untuk bersembunyi dari hinaan masyarakat nantinya.
"Kita mau makan di mana, Bram?," tanya Aji yang tengah mengenakan helm.
Brama sengaja tidak membawa mobil seperti biasanya. Ia ingin menciptakan momen baru bersama sang kekasih.
Sebelumnya Brama tidak pernah mengajak Aji untuk menaiki motor kesayangannya. Karena menurut lelaki itu, Aji tidak boleh merasakan panasnya sinar mentari di siang hari.
"Kita makan bubur di tempat biasa, ya. Mau?."
"Mau, dong. Itu kan tempat kesukaan kita."
Senyum Brama terukir dengan sempurna. Kesederhanaan Aji inilah yang selalu membuatnya jatuh cinta setiap hari.
Semilir angin terasa sejuk menembus kulit terdalam. Aji yang berada di belakang pun melingkarkan tangannya pada pinggang Brama yang kokoh dan terpercaya. Terpercaya untuk menjaga dirinya.
"Kamu kedinginan, nggak?," tanya Brama.
"Nggak. Aku suka sama anginnya. sejuk," sahut Aji.
"Kalau dingin, kamu bilang, ya. Aku nggak mau kamu masuk angin."
Aji mengangguk saja, meskipun ia tahu kalau Brama pasti tidak akan bisa melihat anggukannya itu.
"Ji, terus dengan aku, ya."
***
Setelah sampai di tempat penjual bubur, Brama berinisiatif untuk menyiapkan kursi plastik untuk sang kekasih.
"Tumben banget ini bubur antri, ya. Biasanya jam segini udah kosong," ucap Aji memulai percakapan.
"Wajar, lah. Bubur ini kan paling enak. Kalau nggak, mana mungkin kita langganan di sini."
Mereka berdua terkekeh. Cukup untuk memecah waktu luang karena antrean yang panjang di tempat penjual bubur.
Namun saat sedang asyik bercanda ria, ponsel Brama berbunyi. Dengan malas-malasan lelaki itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya.
"Sheila. Ngapain dia telpon aku?," gumamnya.
"Mungkin dia kangen sama kamu. Jangan-jangan, kamu belum ngabarin dia?," tanya Aji.
"Aku emang gak ngabarin dia udah beberapa hari. Lagian males juga. Dia kan lagi di LN."
"Kamu gak boleh gitu, Bram. Gimana pun juga Sheila itu masih pacar kamu. Kamu harus adil. Aku mau, setelah pulang dari sini kamu kabarin dia, ya?."
Brama pasrah. Kalau Aji yang meminta, Brama tak akan kuasa menolak. Ia akan menuruti apapun permintaan Aji, asal lelaki itu akan tetap bersamanya.
"Kamu udah pesen?," tanya Brama mengalihkan pembicaraan.
"Udah. Kita tinggal tunggu aja."
Sebagian orang mungkin tidak akan percaya dengan pasangan gay yang ada di hadapan mereka saat ini. Pasalnya mereka tidak memiliki gestur seperti layaknya manusia setengah dewa atau yang kerap di sebut dengan banci atau waria.
Tubuh Aji dan Brama sangat tegap dan berotot. Seperti laki-laki normal kebanyakan. Suara mereka pun tidak kemayu atau di samar-samar kan seperti para wanita.
Terkecuali jika ada di antara mereka yang mendengar percakapan mereka dengan baik.
Dua mangkuk bubur sudah di tangan mereka. Brama dengan perhatiannya mengambilkan sendok dan minuman untuk Aji.
"Makasih," ucap Aji sebari tersenyum sangat manis di mata Brama.
Mereka mulai memakan bubur sesuap demi sesuap. Brama memperhatikan wajah Aji dari samping dan tersenyum saat itu juga.
"Andai di sini gak ada orang, udah gue cium itu bibir," batin Brama sebari menggelengkan kepala.
"Kamu kenapa?," tanya Aji menatap heran pada sang kekasih.
"Nggak. Makan lagi."
***
Malam pun datang. Warna gelap telah mendominasi langit saat ini. Hanya ada taburan bintang yang memberikan cahayanya pada langit.
Kedua sejoli Brama dan Aji sudah berada di atas motor menuju kos-kosan milik Aji. Mereka menikmati atas kebahagiaan yang diciptakan hari ini.
"Bram, kalau kita terpaksa harus berpisah, apa kamu siap?."
Brama menepikan motor dan menoleh ke belakang.
"Maksud kamu apa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Kamu udah nggak sayang sama aku?."
Aji terkesiap dengan pertanyaan beruntun yang Brama lontarkan.
"Bukan gitu. Tapi kamu tahu sendiri, kita ini nggak mungkin bisa bersatu, Bram. Ini bukan negara bebas, yang siapa aja bisa menikah, bahkan sesama jenis seperti kita sekalipun."
"Aku nggak peduli. Meskipun kita nggak bisa menikah layaknya pasangan lain, tapi aku pengen hidup sama kamu. Aku udah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama kamu. Aku nggak tau kalau hidup aku tanpa kamu bakal jadi kayak apa."
Aji terharu dengan apa yang Brama katakan. Tapi takdir menamparnya dengan kenyataan keras. Brama terlahir dari keluarga terpandang. Jika keluarganya tahu, Brama pasti akan dibawa pergi jauh untuk melakukan pengobatan.
"Maaf. Sebaiknya kita nggak ngomongin masalah ini di jalan," ucap Aji dan kembali menaiki motor Brama.
***
Brama termenung selama di perjalanan. Takdir seperti sedang mempermainkan hatinya. Baru saja ia melambung tinggi, kini ia harus dijatuhkan dengan ucapan Aji yang tiba-tiba.
Hatinya seolah teriris. Karena ketidakpercayaan yang Aji katakan tadi. Brama sedih, bahkan sangat hancur. Apa perjuangannya selama ini masih kurang, untuk membuktikan rasa cintanya pada Aji? Brama rasa tidak.
"Bram, makasih udah nganterin aku," kata Aji sebari melepas helm milik Brama.
"Aku perlu ngomong sama kamu," ucap Brama dengan wajah datar.
"Tapi ini udah malem. Aku nggak enak sama tetangga." Aji mengelak. Ia tahu apa yang akan Brama katakan. Ia tak akan sanggup joka Brama kembali membuka kenyataan bahwa mereka tidak mungkin bisa bersatu.
"Kenapa? Bukannya tetangga kamu juga udah tau, kalo kita te me nan?," jawab Brama dengan menekan kata-katanya.
"Bram, aku mohon sama kamu, kamu tolong ngertiin aku. Aku takut ada orang yang curiga sama kedekatan kita."
"Aku tahu, maksud kamu bukan itu. Apa ada orang lain yang mengisi hati kamu?."
***
"Kamu kasih kabar Sheila malam ini."
Kenapa ucapan Aji yang satu itu selalu terngiang-ngiang di dalam kepala Brama? Padahal bukan Sheila yang saat ini mengguncang hatinya, melainkan Aji.
"Gue nggak boleh egois malam ini. Gue harus kabarin Sheila, walaupun sekali."
Sudah beberapa hari ini Brama tidak membuka pesan yang Sheila berikan.
Setelah kembali dari kosan Aji, Brama merebahkan tubuh di atas kasur king size miliknya. Dengan melupakan sejenak masalahnya dengan Aji, ia membuka ponsel dan melihat ada ratusan pesan yang Sheila kirim dan sama sekali tidak ia buka.
"Apa gue harus bales pesan Sheila?," gumam Brama yang masih memainkan ponselnya.
Selang beberapa detik, ponselnya berbunyi. Pesan masuk atas nama Aji, dan membuat Brama langsung beranjak dari atas tempat tidur.
"Beri Sheila kabar, sekarang."
"Apa-apaan sih Aji. Ngapain juga dia kirim pesan kayak gini?."
Perasaan Brama semakin kesal dan campur aduk. Pesan yang ia kira berisi sebuah penjelasan, ternyata hanya berisi perintah yang tidak penting baginya.
"She, udah tidur ya?."