Sinar mentari pagi mulai menyapa dunia dengan senyumannya yang memukau. Lautan biru bersama gelombang menari-nari diiringi lumba-lumba melompat berbalapan menuju ujung samudera Hindia. Burung camar mulai mengejar matahari lalu sesekali menyelam ke laut untuk sarapan pagi dengan sepotong ikan sarden atau makarel. Mesin solar yang menggendong pada perahu layar bergemuruh mengeluarkan asap polusi di pagi hari. Nelayan dengan bau amis ikan menata jaring berukuran 10x8 meter untuk membuat jebakan ikan sebagai santapan malam hari nanti. Beberapa nelayan ada yang masih di bibir pantai menyeruput kopi hitam panas sambil menghisap rokok kretek. Di pinggir kanan tersajikan 5 buah ubi madu rebus sebagai sarapan pagi yang sederhana pengganjal perut keroncongan.
Sebuah warung angkringan milik Udin yang berada di dekat pertigaan Drajad dan Daendels mulai terlihat sepi walau jalanan telah padat oleh mobil yang ingin mudik ke arah Tuban dan ada yang kembali pulang ke arah Gresik maupun Surabaya. Dalam tradisi penduduk desa selalu bertegur sapa terhadap orang yang ditemuinya biarpun dikenal atau pendatang baru yang asing.
Seorang pria berbadan tambun yang di seluruh tubuhnya penuh gumpalan lemak sampai tulang belikat tak tampak berdiri di depan gerobak angkringan Udin seperti seorang raksasa ingin menagih janji kepada seorang ibu untuk memakan gadis bernama Timun Emas. Bola matanya memerah berselimutkan kantung mata mirip muka panda. Perutnya seakan terisi hasil korupsi dan harta penindasan pada rakyat kecil dan petani tanpa ampun kemudian membusung sepanjang 15 sentimeter. Mulutnya berulang kali menguap sampai lalat pun terhisap masuk menjadi makanan pembuka.
"Din, aku kasbon dulu ya. Lupa tadi malam enggak ada uang. Padahal aku sudah terasa kuat di kantong celana ada segepok uang sepuluh ribu rupiah."
"Halah bang Panjul. Hutang kemarin belum dibayar, cah. Terus sekarang hutang lagi. Lama-lama bangkrut angkringanku ini. Total tadi malam ini 65 ribu loh. Belum sama yang kemarin-kemarin loh, bang."
"Ah, gampang lah, Din. Nanti kalau jagungku sudah laris besar pasti akan kubayar semua."
"Yeeeee, dari kemarin abang alasan gitu melulu. Ayo sini segera bayar!"
"Ya ya besok. Janji aku bayar. Sudah. Aku mau pulang terus tidur. Ngantuk banget."
Panjul berjalan sempoyongan seperti orang mabuk karena terlalu banyak minum anggur merah 10 botol dalam satu malam. Tak terbayangkan jika tubuhnya jatuh, pastilah seluruh bumi berguncang dan mengeluarkan isi perutnya. Gunung-gunung pun akan meletus memuntahkan lava panas dan lautan akan meluap menjadi tsunami raksasa yang menghempas semua makhluk daratan.
Panjul meninggalkan Udin seakan tak memiliki dosa sedikitpun. Padahal Udin telah baik hati memberikan hutang kepadanya ketika malam datang sampai pagi hari. Satai usus, satai sosis sapi, satai kulit, satai babat, satai bakso, bahkan seluruh nasi kucing yang terjual ludes dilahap oleh Panjul tanpa dibayar. 10 gelas kopi dihabiskan sendiri dalam sekali tenggak. Dalam batin Udin, "lama-lama bangkrut aku kalau diginikan terus sama bang Panjul". Namun apa daya badan kurusnya dan suaranya yang lembek tidak bisa membuat Panjul ciut nyali. Justru semakin kurang ajar kepada Udin.
Beban Udin juga bertambah dengan kehadiran cak Dul dan Mas Piet yang masih terlelap di karpet rotan yang telah menghitam. Air liur cak Dul menetes kemana-mana hingga menyebabkan bau tak sedap. Ditambah suara dengkuran mas Piet seperti lembu yang melenguh karena klimaks usai kawin.
"Duh Gusti. Cobaan apa lagi yang Kau timpakan kepadaku tadi malam? Pelanggan tak pernah membayar hutang ditambah dua bandit sialan yang tidur seenak pusarnya sendiri. Mau sabar tapi nanti ditindas. Asem."
Udin merebahkan diri sejenak berjauhan dari dua orang pencari penginapan gratis itu. Ia memikirkan bagaimana masa depan memiliki rumah mewah berlantai 3 dengan kolam renang pribadi yang sewaktu-waktu ingin menyegarkan badan saat panas, tinggal menyeburkan badan saja tanpa memikirkan waktu kapan akan ditutup. Pikirannya juga menuju tentang pemandangan garasi penuh mobil mewah seperti Lamborghini, Ferari, BMW, Mercedes-Benz, dan Pagani Zonda berjejeran rapi. Di ruangan tamu tersajikan televisi berukuran 75 inci dengan sound system memekakkan telinga lalu disebelahnya sebuah perangkat komputer khusus bermain game dengan beragam aksesoris boneka dan camilan hanya sekali tekan tombol di samping kiri, makanan sudah hadir dalam beberapa detik. Dan jika ingin memuaskan hasrat biologisnya, di dalam kamar sudah penuh oleh wanita cantik yang dikirim dari Turki, Arab dan Rusia dengan dada yang montok. "Ah, indahnya dunia jika setiap hari bergelimangan uang."
"Hei kamu! Mana si gondrong dan si gendut?". Seorang pria tambun berkumis tebal mengenakan baju adat jawa berloreng antara cokelat dengan hitam hingga menutupi seluruh tubun kecuali telapak tangannya. Keris khas pekalongan berbentuk seperti ular air yang meliuk-liuk di sungai Bengawan Solo terbungkus rapi di sarungnya yang bermotifkan kaligrafi Arab dan aksara jawa. Ia hanya mengenakan selop dan tidak bercelana. Hanya selembar kain sewek batik khas Yogyakarta menutupi perut dan seluruh kakinya yang berlemak, namun masih terpancar wibawa seperti Hadji Oemar Said Tjokroaminoto saat akan berpidato saat pembukaan kongres di Surabaya untuk melakukan perlawanan atas penjajahan Belanda terhadap bumi Nusantara yang asri dan demi kemerdekaan hidup. Dialah Raden Farid, ayah angkat Sulastri. Entah kenapa dia datang terlalu dini di warung angkringan Udin. Lalu untuk apa seorang ningrat singgah menuju warung rakyat jelata? Seharusnya istana atau restoran disinggahinya walaupun untuk minum kopi. Toh, kopi yang disajikan pastilah kualitas terbaik dari yang terbaik.
Ternyata dia tidak sendiri. Di belakangnya berdiri dua orang pria perkasa dengan lengan kekar berotot dengan tato naga dan tato wanita berpose seksi seakan ingin mengajak bermesraan. Satu orang ini berambut keriting dan gondrong sebahu. Tatapannya begitu serius tak memandang kemanapun meski memakai kacamata hitam melekat di kedua telinganya. Bibirnya berpuasa kata tak bergerak sedikitpun meski telah dipersilakan untuk berbicara, bahkan berteriak pun tak ada yang melarang. Jaket kulit dan celana jeans penuh sobekan menyelimuti badannya untuk melindungi panas matahari atau angin malam yang sangat menusuk tulang. Dan satu pengawal lagi adalah pria berbadan gemuk, berkulit putih, dan tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Ia mengenakan kaos hitam bertuliskan "Metallica". Celana jeans penuh sobekan serta sepatu boots menambah kesan garang bagi siapa saja yang melihatnya.
Tangan Raden Farid memberikan isyarat dengan tangan kanannya sebagai pertanda ingin menghisap tembakau yang dibungkus kertas rokok. Pengawal gondrong mengambil satu batang rokok dari dalam sakunya lalu menyalakan api agar citarasanya mantap di mulut Raden Farid. Sedangkan pengawal botak memayungi Raden Farid agar terhindar dari matahari yang mulai menyengat dan semakin waktu berkelana mengenai ubun-ubun. Raden Farid menghisap dalam-dalam rokoknya lalu menyemprot ke arah wajah Udin yang masih setengah ngantuk.
"Aku disini enggak mau berlama-lama di hadapan warungmu yang menyedihkan ini. Katakan padaku, kemana kau membawa Sulastri?"