Chereads / Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura / Chapter 17 - Episode 16 : Gus Roy Vs Raden Farid (2)

Chapter 17 - Episode 16 : Gus Roy Vs Raden Farid (2)

"Sini, majulah gus Roy!" Raden Farid mengacungkan telunjuknya seraya bergerak ke belakang berulang-ulang sebagai isyarat untuk menyerang dirinya. Masih ada rasa percaya diri dalam diri Raden Farid walaupun hanya bersenjatakan sebuah tongkat kayu yang kemungkinan besar akan langsung patah jika ditebas oleh keris milik gus Roy. Wajahnya masih tenang memandang gus Roy yang masih bersiap untuk menyerangnya, posisi berdiri Raden Farid masih lurus tegap tak memasang kuda-kuda atau posisi untuk bertarung.

"Kau bercanda, Farid?"

"Aku tidak pernah bermain-main, Gus. Jujur saja, aku tidak pernah bertarung denganmu. Ehem. Tapi bolehlah kita sesekali bertarung. Atau, ini adalah kesekian kalinya kita bertarung semenjak kiyai Khozin bersamamu."

"JANGAN SEBUT NAMA KIYAI KHOZIN SEMBARANGAN!". Gus Roy maju melesat secepat angin puting beliung sambil menggerakkan keris ke kiri dan ke kanan layaknya seorang shogun yang siap menebaskan satu kepala pemimpin musuh dengan pedang katananya. Ia terus maju sementara Raden Farid masih berdiri tenang melihat gus Roy yang akan menghabisi nyawanya saat ini juga. Setengah langkah lagi keris akan menancap di dada Raden Farid dan kemenangan akan berpihak padanya.

"MATILAH KAU,FARID!!!" Ia melompat ke arah Raden Farid lalu menusukan keris tepat ke dadanya.

"Buk!" Kedua mata gus Roy terbelalak ketika tongkat kayu milik Raden Farid menusuk ulu hatinya. Sekejap ia tidak merasakan seluruh anggota tubuhnya dan seakan membeku semuanya. Keris yang ia genggam jatuh ke tanah dengan sia-sia. Gus Roy masih tidak yakin jika usahanya tidak berguna, padahal ia percaya sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Kuasa bahwa saat ini Raden Farid akan menghuni Jahanam paling dasar bersama orang-orang munafik dan para budak setan.

"Fa-Farid. K-kau?"

"Hohoho. Aku tidak semudah itu untuk dikalahkan oleh orang sepertimu, Roy. Aku tak selemah seperti yang kau kira. Walau tubuhku gemuk dan tak pernah bergerak, namun aku masih bisa membaca gerak-gerikmu. Dan kau masih saja lemah!"

Raden Farid memukul leher kanan gus Roy dengan sangat keras yang membuat tulangnya retak dan hampir patah. Setelah itu ia hujamkan tubuh gus Roy ke tanah hingga tanah di teras warung Panji Bukan Petualang retak. Seluruh pegawai di dalam hanya melongo menyaksikan pertarungan dua orang tua yang otot-ototnya masih lentur selayaknya anak muda. Pegawai laki-laki saling berghibah dan menunjuk-nunjuk kehebatan dua orang tua itu. Ada juga yang menyaksikan sambil menghisap rokok dan menyeruput kopi kemudian bertaruh uang siapa yang akan menang di antara dua orang itu. Sedangkan pegawai perempuan sibuk merekam dua petarung itu di gawainya masing-masing lalu di upload ke media sosial. Komentarnya pun beragam, ada yang mengatakan gus Roy dengan Raden Farid hanya bermain serial drama sinetron persilatan, ada juga yang menyinyir jika keduanya hanya berakting demi konten.

Sementara itu gus Roy berusaha untuk menggerakan tangan, kaki dan kepalanya setelah beberapa saat membeku. Ia meraba-raba tanah untuk mencari kerisnya yang terjatuh setelah dihantam oleh Raden Farid.

"Krak!" Telapak kaki Raden farid menginjak tangan kanan Gus Roy yang masih dalam posisi seperti bayi mencari mainannya. Ia hanya bisa berteriak sementara injakan Raden Farid semakin kencang untuk meremukkan tulang tangannya menjadi serpihan kecil.

"Jadi bagaimana, Gus? Masih ingin melanjutkan permainan?"

"A-aku tidak semudah itu menyerah kepadamu, Farid."

"NAMAKU RADEN FARID!!! Kau jangan seenaknya saja memanggilku seperti itu. Lihatlah aku! Akulah sang pemenang! Akulah sang putera keraton! Dan akulah sang penguasa kekuatan magis."

"Sudah kubilang, aku tak semudah itu kau kalahkan, Farid." Gus Roy menarik tangannya dari kaki Raden Farid lalu memukul pipi kanannya sekeras mungkin hingga memunculkan bekas lebam. Ditendang punggungnya dengan punggung kaki sebanyak tiga kali kemudian menghujamkan hadiah berupa tungkak kaki dari gus Roy. Raden Farid kini tersungkur begitu saja, kini Raden Farid sang penguasa berubah menjadi seperti seekor babi yang siap disula lalu dibakar di atas bara api panggang. Kesombongan yang baru ia banggakan berbalik menjadi permohonan ampun untuk tidak segera menelpon malaikat Izrail.

"Jadi, siapa sang penguasa sekarang?"

"Uhh, kurang ajar!"

"Hahahaha. Kesombonganmu membunuh dirimu, Farid. Kau mudah sekali merasa puas padahal kita baru memulai permainan ini. Sudah aku bilang, aku tak mau ikut campur dengan semua urusanmu. Hidupku sekarang telah tenang dan tentram. Aku hanya ingin menjalankan amalan yang diberikan oleh kiyai Khozin kepadaku. Dan kau, tak pantas memiliki kekuatan magis apapun! Kau bukan Tuhan! Dan tak pantas kesombongan membersamaimu."

Raden Farid merangkan dengan kedua tangannya bergantian sekaligus mencari tongkatnya yang pergi entah kemana. Hanya tongkat itulah satu-satunya yang bisa membuatnya bertahan hidup. Kakinya sulit sekali digerakan padahal saat berdiri ia masih bisa menggerakan kedua kakinya walau ringkih ditambah lagi badannya yang gemuk memperlambatnya maju ke depan.

"Pergilah dari sini, Farid"

"Su-Sulastri.

"Pergilah dari sini, Farid!"

"Aku, harus, mencari Sulastri sekarang. Sampai matipun akan kucari dia. Walau aku berada di alam kubur, arwahku akan mengelilingi seluruh bumi dan lautan bersama para iblis."

Raden Farid mulai terbatuk sebanyak tiga kali, dan yang ketiga mengeluarkan percikan darah segar berwarna merah. Mulutnya mulai melelehkan darah seperti vampir yang kekenyangan meminum darah dari leher sang puteri. Gus Roy mulai mengangkat kembali kerisnya lalu menggosok-gosoknya ke tanah. Entah ada alasan apa ia menggosokkan keris pusaka Jawa tersebut padahal tidak ada setetes pun darah menodai kerisnya itu.

"Kau sudah kuperintahkan untuk pergi dari tanahku, Farid. Tapi kenapa kau belum beranjak pergi dari sini? Dan, untuk apa kau terus mengganggu Dullah dan adikku? Padahal mereka tak membawa Sulastri pergi dari persemayamanmu."

"Sulastri. Sulastri. Sulastri."

"Daripada aku menunggu lama dan mendengarkan lantunan setanmu, aku akan menghabisimu saja."

Dari kejauhan Yuli berlari menuju gus Roy yang sudah siap menusukan keris ke punggung Raden Farid. Cak Dul mengejar Yuli disusul Ngalor dan Ngidul saling berkejaran menyelamatkan tuan mereka agar tidak mati sia-sia.

"Bismillahirohmaanirrohiim"

"Kang Mas! Hentikaaannn"

Suara ledakan berdentum dan menghempaskan seluruh benda di sekelilingnya termasuk gus Roy. Ia terpental sejauh 2 meter lalu menabrak tiang gazebo kedai. Beruntung keris yang ia pegang tak menjadi senjata makan tuan, masih selamat orang tua itu tak mati sia-sia. Cak Dul, Yuli, Ngalor, Ngidul dan para pegawai warung tak terpental. Hanya saja debu-debu menembus kelopak mata mereka hingga menyebabkan air mata berlinangan.

Gus Roy masih duduk lunglai dengan mata berkunang-kunang, mengapa ia tak segera mengambil bendera kemenangan agar bisa duduk tenang di depan laptop sambil bermain game tembak-menembak atau bermain game doto 3 sambil mengumpat tim sendiri padahal tidak ada satupun yang ia kenal. Kedua matanya melihat seorang gadis berperawakan sedang mengenakan gaun putih dan berambut panjang. Wajahnya pucat pasi, kedua bola matanya berwarna putih mengerikan. Ia mengangkat Raden Farid lalu menunjuk kepada gus Roy.

"Kau berhutang padaku!". Nada suaranya mengancam selayaknya pembunuh bayaran yang ingin membalaskan dendam.

"Su, Sulastri?"

"AWAS KAU!". Sulastri menghilang bersamaan dengan Raden Farid, Ngalor dan Ngidul. Gus Roy masih linglung pada kejadian sesaat. Beruntungnya dia tak mati di tangan Sulastri.