"Baik, kawan-kawan. Aku sudah siap menjadi barista. Emm, sekarang apa yang harus aku lakukan?"
Cak Dul memandang sepeda motor Yuli yang di atasnya terdapat dua karung kopi robusta yang telah dikeringkan. Masing-masing karung seberat 5 kilogram dan jika ditotal menjadi 10 kilogram karung kopi. Tangan cak Dul menggerayangi setiap karung biji kopi yang dipandanginya seperti seorang wanita seksi di pinggir pantai Kuta dengan penuh gairah dan birahi.
"Kalau boleh jujur sih, Yul. Kopimu itu bagus banget. Aromanya tercium sangat kuat meskipun belum kamu buka."
"Ngomong-ngomong, bagaimana pendapat bapakmu ketika kamu memutuskan bekerja bersama kami?"
"Ya pasti sangat menyayangkan dong, mas. Harusnya kan kerja di luar kota atau seenggaknya kerja di Lamongan kota yang lebih berkelas sedikit."
Sebuah botol kosong melayang dan jatuh tepat di atas ubun-ubun cak Dul dengan begitu keras. Beruntung saja tulang tengkoraknya masih aman dan tidak retak. Coba saja kalau pecah pasti dia akan mengalami gagar otak parah dan tak bisa lagi bekerja untuk memperbesar warung kopi atau sekadar untuk hidup.
"Dasar mulut lamis! Kalau enggak terima maju sini." Yuli menatap tajam wajah cak Dul dan mas Piet dengan penuh kesal. Ia tak peduli jika cak Dul adalah orang yang dicintainya dan untuk pertama kalinya ia mengungkapkan rasa cinta kepada lelaki selain ayahnya. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja bersama cak Dul dan Mas Piet. Namun semangatnya menguap karena emosi akibat cibiran kedua orang itu yang tidak berdasarkan fakta. Masih untung kesabaran Yuli masih belum di ambang batas, jika hal itu sampai terjadi bisa-bisa seluruh jalan Pantura porak poranda olehnya.
Yuli melanjutkan kegiatannya yaitu membuka kopi yang berada di dalam karung lalu dimasukkan ke dalam wadah yang akan dihidangkan kepada pelanggan warung. Cak Dul berdiri kemudian membantu Yuli agar pekerjaan semakin cepat. Sementara mas Piet masih bingung harus melakukan apa melihat dua orang yang sedang dimabuk cinta berkedok pekerjaan. Tangannya mencabuti rumput kecil yang berkerumun di kakinya sambil mengorek tanah barangkali ada sesuatu yang bisa dimakan. Tapi manamungkin mas Piet serakus dan sebodoh itu sampai cacing tanah dan kecoa dilahap habis olehnya.
"Cak, aku mulai lapar nih." Mas Piet mulai mengeluh kepada cak Dul yang masih mengambil segenggam biji kopi yang telah dikeringkan.
"Lah salah sendiri tadi aku masak mie instan tapi kamu malah asyik dengan mimpimu."
"Ya gimana lagi, cak. Habisnya aku bertemu lima orang gadis perawan berumur 20 tahun sedang mandi tanpa melepas kain kemben mereka di sebuah aliran sungai yang begitu bening."
"Ohhh gitu. Terus-terus?" Cak Dul mulai menyimak cerita mas Piet dengan sedikit tertawa kecil.
"Beningnya itu seperti permata kristal. Aromanya sangat lezat seperti steak dengan daging premium dan rasanya lebih manis dari campuran susu cokelat dengan madu."
"Lalu setelah itu, apa yang kamu lakukan, mas?"
"Jadi tuh aku memakai baju ala adat Betawai. Memakai baju kain berlengan panjang dan celana pencak silat. Sebuah peci hitam menutup rambutku. Tapi cak, badanku tak segendut ini. Justru berkebalikan 360 derajat. Tanganku berotot dan badanku kotak-kotak loh, cak. Dan aku enggak menyangka bisa seperti itu."
"Setelah itu?"
"Aku heran mengapa ada suara wanita sedang sorak bergembira. Ah ternyata ada kumpulan gadis cantik-cantik dan montok. Lalu mendadak aku haus dan langsung aku minum air sungai tersebut. Sungguh lezat tiada kira."
"Lah itu aku kebangun gara-gara kamu ngiler, mas. Langsung aku ke belakang mengambil air."
"Kemudian aku mendekati perempuan-perempuan itu. Aku jalan pelan-pelan agar tak ketahuan oleh mereka. Aku lihat tubuh mereka mulus dan rasanya tak pernah disentuh oleh laki-laki manapun."
"Ya terus terus?"
"Tak sengaja kakiku menginjak sebuah ranting dan mengagetkan mereka. Tersiramlah aku, cah."
"Hehehe."
Mas Piet lalu menatap cak Dul dengan sinis dan memalingkan mukanya untuk menghapus malu yang dialami tadi pagi. Dia menggaruk kepalanya lalu menghela nafas pelan-pelan. Lidahnya mulai capek untuk melanjutkan cerita dari mimpi yang dialaminya.
"Bangun-bangun langsung basah seluruh ruangan. Mau marah tapi badanku langsung menggigil. Lalu." Belum selesai mas Piet bercerita, datanglah Yuli membawa nampan dengan secangkir kopi cappucino lengkap dengan sebungkus kecil gula pasir. Foam tebal susu berbentuk hati menghiasi campuran kopi dan susu untuk memberikan semangat pagi.
"Ayo ngopi dulu, mas."
"Waduh. Sebenarnya aku mau nih, Yul. Tapi perutku masih belum terisi makanan. Takut asam lambung naik. Heheh."
"Yasudah tidak apa, mas Piet. Kalau begitu aku duduk dulu bersama enggak masalah kan?"
"Tapi aku mau keluar sebentar,Yul. Mau beli makanan. Heheh."
Mas Piet berjalan kaki menjauh dari warung kopi menembus jalanan yang sudah ramai oleh kendaraan roda empat dan roda delapan yang guncangannya mampu menggetarkan jalan raya dan sampingnya. Perutnya sudah tak sanggup menahan lapar dan terus berontak agar segera diisi oleh sesuap nasi dengan ayam ditambah satu sendok sambal terasi. Gerak jalannya begitu pongah seperti tak makan selama sebulan penuh. Rasanya ingin pingsan, namun jika terjadi siapa yang akan membawanya ke rumah sakit? Jarak terdekat adalah 20 Km.
Melihat mas Piet menjauh dari warung kopi, Yuli pergi ke dapur lalu berencana untuk melakukan eksperiman lain. Ia ingin mencoba resep sederhana dahulu yaitu kopi susu gula aren dengan toping butiran cokelat. Mula-mula Yuli mengambil satu gelas kopi berukuran 100 ml kemudian dimasukan ke dalam penggiling kopi. Aroma kopi menyengat memasuki hidungnya dengan rasa yang begitu harum dan alami. Dihidupkan tombol on/off dan satu persatu biji-biji kopi menjadi bubuk kopi. Ia taruh dalam wadah dan dipindahkan ke dalam porta.
"Cak, air panasnya habis ya?"
"Habis."
"Ah, kok cepat sekali sih? Padahal aku masak satu rantang penuh."
"Maaf, Yul. Tadi aku pakai untuk cuci piring. Lagi butuh banget. Sayang kalau hanya memakai air galon"
"Hah?! Astaghfirullah, cak. Ya enggak gitu juga konsepnya! Kan kamu bisa pakai air sungai untuk mencuci piring."
"Ah, lagi mager."
Dengan penuh kecewa Yuli mengambil air dari galon menggunakan pompa air. Diisinya sampai penuh dan dimasak selama 5 menit. Setelah air mendidih, Yuli memasukkannya ke dalam teko. Lalu ia tuangkan air ke dalam rokpresso secara memutar agar bagian kopi bubuk merata seluruhnya. Yuli mengumpulkan seluruh tenaganya lalu menarik kedua tuas samping kiri dan kanan rokpresso agar seluruh saripati kopi keluar seluruhnya. Ia menahan nafas selayaknya seorang penyelam yang mengarungi samudera Hindia.
"Hemm, hanya sekecil ini dengan tenaga ekstra ya. Pantas harga kopi murni di kedai selalu mahal". Yuli mengomentari cairan hitam itu sambil berpikir sejenak. Dari ribuan warung yang berada di desa Lamongan, hanya cak Dul dan mas Piet lah yang berani menjual kopi murni dengan harga petani. Ia mencicipi sedikit kopi tersebut. Seketika mukanya masam, baru tahu ternyata perasan kopi sangat pahit.
Yuli melanjutkan aksinya dengan menuangkan susu murni kemasan ke dalam gelas dan menambahkan es batu dan gula merah cair. Saat melihatnya, Yuli masih teringat dengan Sulastri yang meneror beberapa hari lalu. Akankah ia akan kembali meneror warung ini? Semoga saja tidak. Dan terakhir Yuli menambahkan seluruh kopi di campuran susu, gula merah dan es batu tersebut.
"Tadaa! Es kopi Neira siap dihidangkan."