Gus Roy diangkat oleh cak Dul dan Yuli ke dalam gazebo warung Panji Bukan Petualangan lalu diminumkan secangkir teh hangat manis rasa madu kelengkeng. Gus Roy menarik nafas dalam-dalam lalu dihembuskan melalui mulut pelan-pelan. Jantungnya masih berdetak kencang setelah tragedi itu. Sulastri datang tak diundang pulang tak berpamitan. Hilang. Hilang begitu saja tanpa jejak.
"Yul, tolong ambilkan rokok di dekat kasir dong. Mulutku sudah asam enggak menyedot tembakau."
"Ih, kang mas. Kondisi masih cedera kok malah minta rokok? Nanti tambah parah loh."
"Halah, aku enggak apa-apa. Sudah. Ambilkan aku rokok sekarang. Jangan lupa asbak dan korek apinya, Yul."
"Siap, kang mas."
Yuli meninggalkan gus Roy untuk mengambil rokok di dalam kasir dan berjalan dengan anggun sampai-sampai seluruh pegawai memandang kecantikannya yang begitu mempesona. Cak Dul membalas mereka dengan tatapan yang mengerikan sembari mengertakkan jari jemarinya serta lengan yang berotot. Sontak mereka langsung memalingkan muka dan melakukan pekerjaan masing-masing daripada harus menginap di rumah sakit.
"Sudahlah, Dul. Tak perlu emosi begitu. Pegawai-pegawaiku memang agak barbar dan, yaaa sedikit bersifat buaya. Tapi aku adalah pawang mereka."
"Hem? Pawang bagaimana ya, gus?
"Halah, kamu enggak tahu atau hanya mengetesku saja, Dul?
"Loh, saya serius enggak tahu. Saya enggak bohong, gus."
"Halah. Jangan deh kamu masih kecil. Ngomong-ngomong kok Yuli lama sekali. Samperin dia sekarang, Dul."
Cak Dul berdiri lalu masuk ke dalam sebuah dapur yang beberapa perabotan masak berjatuhan. Wajan yang berada di atas kompor kini terkapar di atas tanah dingin tanpa alas dan tikar. Sutil, pisau, garpu, sendok, beberapa cangkir, dan panci tergeletak tak terurus. Sarang laba-laba bergelantungan di langit-langit dan tak berpenghuni, mungkin bisa disamakan seperti rumah hantu. "Tidak ada siapapun disini". Gumam cak Dul. Langkah kakinya terus Langkah kakinya terus berjalan menembus gelap dan dinginnya dapur kedai. Pegawai gus Roy sedang keluar membersihkan halaman yang porak poranda akibat pertarungan sengit antara gus Roy dengan Raden Farid.
"Yuli, dimana kamu?" Cak Dul memanggil Yuli namun tidak jawaban.
"Yuli?!" Masih tidak ada jawaban lagi. Cak Dul mulai curiga lalu dicarilah Yuli di setiap sudut tempat seperti di bawah wastafel, dalam kamar mandi, bahkan di belakang kompor. Namun Yuli tidak juga ketemu. Pandangan matanya melirik ke kiri dan ke kanan namun tidak ada siapa-siapa. Auranya mendadak berubah menjadi panas, padahal sebelum masuk masih terasa dingin. Pelan-pelan ia angkat kaki kanan kemudian kiri. Rasanya ada yang membisik di telinga kanan cak Dul seperti suara gadis yang sangat lembut dan mendawai hingga membuat dirinya merinding karena tidak ada seseorang. Suara itu terus mendekat sampai cak Dul ingin pingsan ditambah lagi ada sebuah tangan yang menggerayangi bahunya.
"Mencari siapa, mas?"
"ALLAHU AKBAR!!!"
"Kenapa. mas? Kok kaget lihat aku?"
"Aku kira ada hantu di belakangku!"
"Ih, mas Dul. Kurang ajar kamu ya."
"Ya maaf, Yul. Lagian kamu ngapain berada disini? Kamu sudah ditunggu sama gus Roy itu loh."
"Aku hanya penasaran pada bagian dalam kedai milik kang mas. Sudah lama aku ingin tahu, tapi dia tak pernah mengizinkanku masuk."
"Memang kenapa?"
"Entahlah. Kalau aku mampir ke kedai ini, kang mas selalu menyuruhku duduk di luar saja. Dia selalu melarangku untuk masuk. Padahal aku ingin tahu bagian dalam kedainya. Atau aku bantu sedikit-sedikit lah."
Cak Dul memandang serius wajah Yuli yang berada di hadapannya walaupun mata gadis itu tak langsung menatap kedua bola mata cak Dul. Gadis itu sungguh menawan baginya, ingin langsung dipeluk tubuhnya yang kurus itu dan mencium pipinya dengan lembut. Ini memang kesempatan bagi cak Dul karena mereka hanya berdua di dalam ruangan yang pengap dan sedikit cahaya matahari. Tapi dia masih bisa menahan diri karena Yuli adalah perempuan yang sangat taat pada agama.
"Yul, aku punya pertanyaan untukmu. Apakah nanti tidak membuatmu tersinggung?"
"Mau tanya apa, mas?"
"Kenapa sih kakakmu itu benci sekali sama aku? Padahal aku enggak punya salah apa-apa dengannya."
Yuli tertawa kecil sampai gigi-gigi depannya terlihat. Tangan kanannya manja sontak memegang tangan kiri cak Dul yang dingin dan basah karena keringat.
"Kamu enggak tahu ta sama mas Roy? Masa kamu lupa?"
"Memang kenapa sih dengan gus Roy?"
"Apa kamu yakin sudah lupa dengan sesuatu yang ada pada dirinya?"
Yuli mencubit pipi kiri cak Dul hingga memerah. Ia begitu gemas dengan kepolosannya seperti anak TK yang otaknya masih seperti gelas kosong.
"Mas Roy memiliki derajat yang hampir makrifat"
"Makrifat katamu?"
"Ya, mas. Jadi sederhananya ruh dia dengan Tuhan sudah sedekat antara jari telunjuk dengan jari tengah."
"Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku?"
"Dia bisa melihat isi pikiran dan isi hati seseorang. Jadi dia hanya menggodamu saja."
Cak Dul semakin penasaran dengan sikap Yuli yang selalu menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan sambil memainkan jarinya seperti ada sesuatu yang ingin diungkapkan. Wanita memang tidak sefrontal lelaki. Jika lelaki menyukai atau membenci sesuatu, ia akan mengungkapkannya langsung tanpa memberikan kode atau gerak tubuh tertentu. Sedangkan wanita, mereka terkadang membingungkan layaknya pelajaran matematika, filsafat dan fisika bercampur menjadi satu. Membingungkan. Terkadang jika salah menebak, mereka akan mengungkapkan kekesalannya.
"Kau sudah bertanya terus kepadaku, cak. Sekarang boleh tidak aku bertanya sesuatu kepadamu?"
"Emm, yasudah tidak apa. Kamu mau tanya apa, Yul?"
"Kamu selama ini suka pada seorang perempuan tidak?"
"Ya jelas dong! Aku kan masih normal."
"Enggak usah ngegas gitu dong, cak. Aku kan tanya baik-baik ke kamu. Hihi."
"Memang kenapa sih, Yul? Kenapa kamu tanya gitu ke aku?"
"Ya enggak ada apa-apa sih. Seandainya seseorang yang kamu suka itu juga menyukaimu bagaimana?"
"Ya, emm. Aku akan memperjuangkannya."
Jantung Yuli semakin berdegup kencang dan mulai berkeringat di bagian keningnya. Bukan karena kepanasan atau akan menjalani sidang pengadilan, tetapi ia ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam dalam relung hatinya. Lidahnya masih saja keluh untuk berbicara "aku mencintaimu" karena selama ini dia belum pernah pacaran sekalipun dengan lelaki manapun. Meski sudah banyak laki-laki yang datang ke rumah untuk melamarnya, tapi dia hanya bisa menolak. Ia tak tertarik dengan laki-laki, bukan karena tak normal tapi masih malas untuk tunduk kepada mereka.
"Cak, apakah kamu menyukaiku?"
"Hah?! Kenapa tiba-tiba kamu bilang gitu sih, Yul?"
"Aku telah mendengar banyak dari mas Roy."
"Tapi, tapi bukannya kamu dulu sangat membenciku?"
"Ya, itu dulu. Sekarang sudah beda."
"Ya sih. Kan aku sudah gondrong sekarang."
"Bukan hanya itu. Sekarang, aku menyukaimu, cak Dul."