"Ngalor, Ngidul! Hancurkan barang-barang di warung ini!"
"Siap, Den"
Ngalor, sang preman berambut gondrong berjalan gagah menghentakan bumi kemudian melempar seluruh makanan seperti satai usus, satai telur puyuh, satai usus ayam, satai gajih sapi, dan tempat pembakaran yang penuh arang ditendang hingga mereka berserakan dimana-mana membuat jalanan menghitam.
Ngidul sang preman botak melempar seluruh perabotan warung seperti gelas, piring, sendok, garpu, kursi dan gerobak dilempar sebegitu ringannya ke tengah jalan. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat tanpa mampu berbuat apa-apa. Mulut hanya melongo membiarkan lalat masuk berkemah di mulut yang berbau busuk. Ibu-ibu yang duduk hanya berbisik satu sama lain dan saling berghibah.
Raden Farid hanya memandang warung angkringan dengan penuh kebencian dalam dada. Tatapannya setajam pisau belati dan dingin bagai es. Sebuah tongkat sepanjang 70 sentimeter menopang tubuh gendutnya yang rapuh berkerut termakan usia dan dosa agar tidak jatuh. Jika jatuh, kekuasaan terhadap dunia akan pergi darinya. Kesombongan serta kepicikan dari seorang Raden Farid tidak ada yang menandingi, bahkan seorang Fir'aun yang mengaku sebagai Tuhan pun masih kalah dengannya. Dia memang tidak tamak serta menimbun harta seperti Qarun yang katanya kunci gudangnya dibawa bersama 70 ekor unta. Namun siapa sangka jika lidahnya bergetar mengucapkan satu kata, siapapun akan tunduk dan bersujud di hadapannya.
Udin masih masih menggetarkan kedua kakinya sambil bermandikan keringat yang membasahi seluruh tubuh. Ngalor dan Ngidul masih belum puas untuk memporak poranda warung sederhana milik Udin yang hampir rata dengan tanah. Cak Dul dan Mas Piet terus menyanyikan dengkuran dari mulutnya berlomba-lomba bersama suara embikan kambing ternak yang merumput bersama pak tani. "Eh eh eh. Apa-apaan ini? Tolong yang sopan dong, cah. Masih pagi kok main angkat saja! Aku habis begadang tau!" Cak Dul meronta kaget karena dipaksa berdiri tanpa persiapan apapun. Nyawa masih belum berkumpul jadi satu dalam tubuh kurus berotot yang harus dipenuhi daging sapi agar sempurna. Sedangkan mas Piet diam mematung sambil terus mengangkat kedua matanya untuk menyapa dunia yang berharap akan indah di pagi ini.
"HOI UDIN! NGAPAIN KOK AKU DIPEGANG SEPERTI MALING AYAM SAJA!"
Ngalor memegang cak Dul seolah dia adalah tahanan kabur dari penjara di tengah malam ketika sipir tahanan sedang tidur nyenyak dengan mengendap-endap melalui pintu jendela lalu kabur secepat kilat. Kedua tangan cak Dul terus digoyang-goyang agar terlepas dari tangan yang begitu kuat darinya. Dicekiklah leher cak Dul agar kehabisan napas dan tidak banyak mengomel di depan Raden Farid. Dia terus meronta-ronta seperti sapi yang terikat ribuan tali di kaki untuk disembelih.
"Hei Udin! Kamu ini sedang ngapain sih? Mereka ini anak buahmu apa? Atau kamu mau menangkap kami? Lalu apa sih salahku kepadamu? Padahal kita baru tadi malam bertemu, mengapa kamu tega melakukan ini kepadaku?"
"BANYAK OMONG!" Ngalor melayangkan tangan kanannya tepat ke arah kepala belakang cak Dul sampai hampir terpental. Cak Dul merasakan getaran hebat merasuki hingga ke dalam otaknya. Ia merasakan rasa sakit begitu dahsyat seperti mau pecah kepalanya. Pandangannya berputar entah kemana. Hanya bayangan putih berada di depan ingin mengajak pergi menuju tangga surga yang berdiri gagah di langit ketujuh. Ia masih merasakan nafas menghembus di bibirnya, akankah nyawa akan pergi bersama malaikat maut begitu cepat? Tidak mungkin harus mengakhiri semua. Tapi apa gunanya hidup memandang dunia apabila tak berguna. Cak Dul memutuskan untuk memejamkan mata.
"Cak Duuuuulllll."
"Sudah diam! Kalau kamu terus berteriak seperti itu terus, akan kupatahkan seluruh tulang-tulangmu lalu kulempar tubuhmu ke Bengawan Solo. Biar habis kau dicincang buaya. Hahahaha."
"B,bang Udin! Siapa dua orang ini? Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Sudah kubilang diam!" Kali ini si Ngidul pengawal berkepala botak menampar pelipis kanan Cak Dul. Beruntungnya ia tak sampai pingsan seperti apa yang diperbuat oleh Ngalor kepada cak Dul. Mungkin Ngidul begitu iba melihat wajah melas mas Piet sampai terkencing-kencing sehingga seluruh kekuatan dari telapak tangannya tidak dikeluarkan seluruhnya. Ngalor melepaskan cengkeraman tangannya dari cak Dul dan mendorong tubuh cak Dul secara perlahan sampai menyentuh tanah.
Raden Farid berjalan perlahan sambil diiringi tongkat kayunya. Suara batuk terus keluar dari mulut beraroma tembakau bakar. Ia tak kapok walaupun tubuhnya terus memperingatkan tanda bahaya jika kebiasaan rokok terus dilanjutkan. Namun ia tak peduli dengan kesehatan, asal mulut nikmat lanjutkan saja kebiasaan merokok. Ngalor berlari meninggalkan tubuh cak Dul yang lemas tak berdaya kemudian menuntun Raden Farid berjalan.
"Sudahlah, Lor. Aku tidak apa-apa. Tubuhku memang lemah, tapi ada tanggungjawab besar yang harus aku emban. Uhuk. Uhuk. Aku hanya ingin Sulastri kembali ke rumah. Dia sudah seperti darah dagingku sendiri. Walaupun dia pernah gila sampai membunuh ibu kandungnya sendiri. Uhuk. Tapi, dia harus pulang. Roh yang menempel dari dalam tubuhnya harus keluar sekarang juga!"
"Mohon bersabar, wahai Raden Farid. Dengan cepat pasti akan saya cari Sulastri sampai ketemu. Walaupun harus mengelilingi dunia, pasti akan saya lakukan demi perintah dari Anda, yang mulia."
Udin masih terlihat shock meratapi warung angkringan yang masih berserakan barang-barangnya. Beruntung hanya 3 gelas, 6 piring dan arang yang bertebaran di jalan raya saja terbuang sia-sia. Sialnya tidak ada lagi makanan yang akan disajikan saat siang nanti. Seluruh camilan satai sudah diinjak oleh Ngalor dan Ngidul lalu membuangnya ke jalan raya seakan satai-satai adalah barang sisa tak berguna yang patut hancur. Udin mengangkat gerobak yang terbalik, meja yang berpindah tempat diubah menuju semula. Satai dibiarkan menjadi penyetan burung camar atau membusuk menjadi santapan belatung dan lalat hijau.
Udin menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. Telapak tangan mengelus dada agar selalu kuat menahan ujian yang diberikan untuk Udin. Dia tak mau berlarut dalam kesedihan cukup lama. Daripada meratapi kesedihan lebih baik bekerja banting tulang demi sesuap nasi setiap harinya.
Raden Farid mengacungkan tongkatnya di dagu mas Piet, rasa ingin membunuh telah menggelora dalam dada. Jika itu pedang, tak segan ditebasnya kepala hingga menggelinding di jalanan. Dengan mantap, Raden Farid berkata.
"Hei gendut! Kau yang tadi malam datang tanpa salam. Aku ingin kau dan temanmu yang gondrong itu mencari Sulastri. Akan kuberi waktu selama 3 malam. Jika terlambat, kepalamu akan kupersembahkan kepada Nyai."
"Ta-tapi aku tidak tahu dimana anak itu pergi." Mas Piet mulai membela diri sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Ngidul yang mulai kencang.
"Aku tak mau tahu, anak muda. Yang jelas, segera cari Sulastri."