Chereads / Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura / Chapter 14 - Episode 13 : Izinkan Aku Ikut Bersamamu

Chapter 14 - Episode 13 : Izinkan Aku Ikut Bersamamu

Raden Farid, Ngalor, dan Ngidul pergi meninggalkan warung angkringan Udin tanpa merasa berdosa sedikitpun. Secepat debu menghempas mereka hilang dari pandangan mata, sama ketika mereka datang tanpa memakai kendaraan apapun. Raden Farid memiliki kekuatan supranatural yang sukar disaingin oleh semua orang bahkan dukun dan kiyai tak mampu menandinginya. Tapi ia seperti padi, semakin ia menguning maka ia senantiasa menunduk. Raden Farid lebih memilih diam daripada memamerkan kekuatannya kepada orang-orang. Khawatir akan diarak keliling kampung kemudian diikat di tengah sawah lalu dibakar hidup-hidup. Terlebih, ia tinggal bersama Sulastri di Zombok berdua tanpa sanak famili mengunjungi. Namun kini Sulastri kabur entah kemana tiada satu orang yang mengetahui batang hidungnya. Ia masih dianggap biang kesialan oleh penduduk Zombok, mereka enggan menyentuh bahkan mendekati pun tak mau. Mereka takut jika tinggal satu atap bersama Sulastri, jika itu terjadi maka kelak salah satu keluarga akan ada yang mati secara mendadak. Mereka juga tak ingin mati di tangan Sulastri lalu membiarkan organ dalamnya dilumat habis tak bersisa. Lebih baik mereka tinggal bersama kambing dan babi daripada harus tidur bersama Sulastri.

"Ini kesalahan kalian berdua! Tapi kenapa aku harus dilibatkan? Aku hanya ingin hidup damai, aku hanya ingin berjualan demi bisa menyambung hidup. Tahu akan begini jadinya, lebih baik aku tak menolong kalian berdua."

"Bang, aku sendiri juga enggak tahu apa maksud semua ini." Mas Piet berusaha menenangkan Udin yang tampak kesal meratapi keadaan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mutiara indah pepatah itulah yang pantas tersemat kepada Udin. Detak jantung kencang mengakibatkan pori-pori kulitnya menghasilkan banyak keringat dingin di sekujur tubuh yang hanya berbalut tulang dan kulit. Masih tidak ada jalan keluar bagi Udin untuk lari dari lilitan masalah.

"Mas Piet, sebenarnya siapa sih orang yang lagaknya mirip sultan Ningrat Jawa itu? Di Lamongan kan harusnya enggak ada kerajaan semacam Jogja. Ada masalah apa sih antara kalian dengan dia?"

"Jadi begini, bang. Kemarin ada perempuan menelpon kita untuk pesan kopi susu. Tapi." Mas Piet menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan pelan-pelan. Lidahnya masih terbata-bata mengucapkan kata kepada Udin yang menyilangkan tangan di dada.

"Penelpon bernama Sulastri memesan 10 es kopi susu. Tapi dia mintanya aneh-aneh, harus dicampurkan dengan lima tetes darah manusia. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Ah, ingin menangis selama seminggu rasanya jika harus mengingatnya kembali, bang. Tapi cak Dul bersikeras untuk melayani Sulastri. Cak Dul mencampurkan 6 gelas kopi dengan darahnya sendiri. Tapi karena aku iba melihat cak Duk, sisanya adalah darahku."

"Lalu siapa si Raden itu?"

"Aku dan cak Dul sendiri tidak tahu siapa dia. Awalnya aku kira Sulastri adalah perempuan yang cantik dan ramah. Ternyata dia adalah setan."

"Hah?! Setan? Zaman sudah secanggih ini masih ada aja orang yang percaya sama setan. Hahahah."

"Hei. Aku serius, bang. Sulastri ternyata adalah setan. Saat kami datang Sulastri menjadi sosok setan berambut panjang dengan matanya yang merah menyala seperti sosok genderuwo. Kami hampir dijadikan santapan makan malamnya, bang. Ditambah lagi sudah tengah malam. Antara untung atau sial, sosok orang tua memakai baju adat Jawa datang dan menghentikan Sulastri. Namanya Raden Farid."

"Lalu bagaimana Sulastri bisa pergi?"

"Mana aku tahu, bang. Kita habis pulang dari Zombok sudah enggak ada keinginan untuk kembali lagi melayani Sulastri dan menganggap semuanya berlalu."

Udin menarik nafas sedalam mungkin lalu mengeluarkannya kembali. Mas Piet menaruh kepala di kedua tangan berminyak akibat keringat pagi paparan sinar matahari. Setiap pagi biasanya ia selalu bersiap-siap untuk mandi, merapikan diri agar terlihat menawan lalu membantu cak Dul membawakan barang-barang berupa tabung gas, galon air, sekardus biji kopi, dan 10 kaleng susu kental manis. Namun pagi ini mas Piet masih meratapi nasib, baik warung kopi cak Dul maupun nasibnya. Tidak mungkin seorang Udin yang tak memiliki salah apapun dengan Raden Farid harus menanggung dosa bersama.

"Hei, ada apa dengan kalian? Kok sedih begitu?" Yuli tiba-tiba datang dengan mengendarai sepeda gunung yang biasa ia bawa berkeliling desa. Kali ini ia memakai sweater berwarna merah jambu dan bercelana khusus olahraga. Sepatu kets berwarna biru bersol putih digunakan agar telapak kakinya yang putih tidak memar. Gadis cantik adik kandung Gus Roy datang dengan pesona yang memukau dan tidak akan pernah merasa bosan bagi siapapun yang memandangnya. Ditambah lagi balutan kerudung panjang sampai dada serta berkacamata bulat menghiasi wajahnya. Sebagai pemanis, ia pasangkan peniti bergambar mawar merah di bagian bawah kerudung.

"Eh, ehh, ehhhh. Siapa itu mas Piet?" Udin langsung merapat ke tubuh mas Piet lalu mengeluarkan tatapan mesum dan aura buayanya ke arah Yuli. Jantung mulai berdebar bukan karena ketakutan namun ada rasa yang datang secara tiba-tiba.

"Oh, dia Yuli adiknya Gus Roy. Dia memang cantik pakai banget. Sayangnya belum nikah."

"Wah, Enggak apa-apa deh kalau aku jadi yang pertama?"

"Ngaco ngaco banget sih kamu, bang. Sudah jutaan orang datang ke rumah untuk melamarnya, tapi ditolak semua."

"Anu mas Piet, dia sekarang lagi dekat sama siapa ya kalau boleh tahu?"

"Itu. Yang sedang pingsan sekarang."

"Dullah"

"Betul."

Sebuah sepatu kets melayang dan mengenai dahi Udin hingga memerah. Tangannya langsung mengelus bagian yang sakit agar tidak mengeluarkan benjolan sehingga pesona ketampanannya menjadi hilang. Yuli menatap mereka seperti singa menarget rusa. Kedua tangan memegang pinggang, lagaknya sudah persis ibu kos yang menagih mahasiswa penunggak iuran bulanan.

"HEI! KALIAN NGOMONGIN AKU YA?!!"

"Eng, enggak ning Yuli. Kita loh lagi membahas Sulastri."

"Alah, enggak usah bohong kalian semua! Mau aku lempar sepatu lagi?!"

"Ya ya, maaf."

Tiba-tiba jari jemari cak Dul bergerak diiringi suara erangan kecil dari bibirnya. Pelan-pelan kedua matanya memandang dunia sekitar. Sayangnya tak seindah surga, malah dua manusia yang berlumuran keringat dan minyak tubuh dengan aroma amis seperti ikan sarden di pasaran. Ia baru saja bangkit dari kematian singkatnya, beruntung tidak bertemu malaikat penanya kubur. Mengingat masih belum ada amal kebaikan dalam diri cak Dul untuk mempertanggungjawabkannya kepada sang malaikat. Sayangnya pandangan cak Dul masih linglung untuk melihat dengan jelas. Rasanya bumi bergoyang di kepalanya. Samar-samar ia melihat gadis berkerudung merah di hadapan cak Dul.

"Yuli?" Dirangkulah tubuh cak Dul seerat mungkin oleh Yuli. Baru kali ini ada gadis yang menyayanginya sepenuh hati dan tak mengharapkan untuk mati mendadak. Cak Dul membalas pelukan Yuli sambil berlinangan air mata hingga membasahi sweater hangat yang terbuat dari bulu domba terbaik di peternakan.

"Aku mengkhawatirkanmu, mas. Aku kira kamu akan mati meninggalkan kami semua."

"Apa yang terjadi? Dimana Udin? Dimana mas Piet? Apakah warung Udin dan warungku baik-baik saja?"

"Semua aman terkendali. Aku sudah mampir ke warung ternyata kamu tidak ada, yasudah kebetulan aku lewat kesini dan ketemu dengan kalian semua."

"Dimana Raden Farid? Jangan sampai orang itu lolos!"

"Siapa Raden Farid, mas?"

"Ceritanya panjang. Aku harus bergegeas ke warung. Aku mau jualan. AKU MAU JUALAN!"

"Mas. Tenangkan dulu seluruh raga dan jiwamu. Kau masih belum sepenuhnya pulih. Istirahat sejenak dahulu. Aku buatkan wedang uwuh ya?"

"Enggak perlu."

"Mas, kondisimu sedang begini. Jika demikian mas Dul, izinkan aku ikut bersamamu."