Beberapa hari kemudian.
Arvino berusaha menahan sabar dan tidak setuju dengan pemikiran Aiza yang membuatnya kesal. Saat ini, Arvino dan Aiza sudah berpulang kerumah mereka. Bukannya mengobrol dengan santai, keduanya malah berselisih pendapat satu sama lain.
"Mas tidak setuju!"
"Kenapa?"
"Mas ingin cepat memiliki anak. Mas ingin kamu cepat hamil. Mas tahu kita sama-sama menginginkan keturunan kan?!"
"Aku-"
Arvino memilih memeluk tubuh Aiza. "Jangan lakukan itu Aiza. Mas mohon."
"Tapi aku cemburu."
"Apalagi sih yang harus kamu cemburuin?!"
Arvino melepas pelukan mereka dan akhirnya kini saling bertatap dengan posisi duduk berhadapan di sofa.
"Kamu tahu kan kalau sejak dulu kamu yang aku pilih? Itu semua hanyalah masalalu. Pandanglah aku dengan kebaikan Aiza. Setiap suami memiliki kekurangan. Kekuranganku adalah salah satunya masalaluku. Kalau kamu menerimaku menjadi suamimu mestinya kamu juga harus bersedia menerima kekuranganku Aiza."
Arvino terlihat frustasi. Ia memilih berdiri dan memunggungi Aiza. Karena itu Aiza pun memeluk erat tubuh tinggi Arvino dari belakang.
"Maaf."
Arvino menghela napasnya. Ia ikut menggenggam punggung tangan Aiza yang melingkar di perutnya. "Aku memaafkanmu. Tapi tidak dengan caramu yang ingin menunda kehamilan. Sekarang jujur sama aku, tujuan kamu untuk apa?"
"Aku.." Arvino masih menunggu Aiza melanjutkan bicaranya. Hingga akhirnya Aiza berkata lirih.
"Keguguran itu sangat menyakitkan Mas. Aku.. aku masih ingin masa pemulihan dulu. Aku.. aku ingin Mas sabar."
Bayangan raut wajah Aiza yang kesakitan setiap kali ia merasakan efek pascra keguguran itu membuat Arvino berpikir ulang. Aiza benar. Hanya karena itu Arvino sendiri merasa tidak tega dan akhirnya membalikkan tubuhnya menghadap Aiza. Arvino menyentuh pipi Aiza.
"Tapi janji ya jangan lama-lama menundanya."
Aiza mengangguk. "Insya Allah Mas."
Arvino hanya mengecup kening Aiza dan menggendongnya kedalam kamar mengingat beberapa jam yang lalu mereka baru saja pulang dari rumah sakit.
Aiza hanya diam tanpa berbicara. Bahkan setelah Arvino menurunkan
tubuhnya diatas tempat tidur dilanjutkan dengan menyelimutinya, Aiza merasakan bagaimana raut wajah Arvino yang begitu sedih dan menahan kekecewaan.
"Tidurlah kamu harus istrirahat. Sesuai janjiku yang tertunda, Mas akan membuat makanan favorit kamu didapur."
Arvino hendak pergi dan Aiza mencegah pergelangan tangannya. "Mas."
"Ya?"
"Maaf."
Arvino tersenyum. Sebuah senyuman yang berusaha ia perlihatkan pada Aiza dibalik kekecewaannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu benar. Kamu sedang masa pemulihan. Mas akan menunggu dengan sabar."
Sekali lagi, Arvino merunduk dan mencium kening Aiza. Sesuai permintaan Aiza. Istrinya itu ingin menunda kehamilan sejenak. Arvino sudah kembali menyelimuti tubuh Aiza.
"Tidur dulu. Nanti Mas bangunin." Aiza mengangguk dan Arvino pun keluar kamar hingga raut wajah yang tadinya sumringah itu kini kembali tersenyum getir. Semua demi Aiza.
💞💞💞💞
Satu bulan kemudian.
"Jadi skripsi saya di ACC kan pak?"
Arvino mengangguk. "Iya. Sudah hampir 6 bulan saya rasa sudah cukup."
Seorang pria yang merupakan siswa Arvino pun segera membereskan buku-buku kuliahnya. Setelah dirasa sudah selesai, Arvino segera keluar dari kelasnya dan berjalan dengan langkah tegap mengabaikan tatapan mahasiswi angkatan baru yang menatapnya tanpa berkedip karena terpesona oleh ketampanannya.
Hal yang biasa bagi Arvino.
Arvino segera melangkahkan kedua kakinya menuju koridor kampus. Dari jarak kejauhan, Arvino melihat Aiza berjalan kearahnya dan ia baru ingat bahwa hari ini Aiza akan bertemu dengan salah satu petugas universitas untuk meminta jadwal seminar proposalnya.
Aiza sedikit terkejut begitu melihat Arvino berjalan didepannya. Suaminya itu begitu tampan hari ini. Memakai kemeja yang di gulung setengah hingga kesiku bahkan terlihat rapi karena sudah bercukur tadi pagi.
Aiza malu karena merasa tidak enak terhadap situasi yang terjadi diantara mereka selama sebulan ini. Karena itu, Aiza menundukan wajahnya dan begitu posisi mereka sudah dekat ia masih menundukan wajahnya.
Arvino tertegun. Ia tidak menyangka bahwa Aiza hanya sekedar lewat dan tidak menyapanya. Ini tidak bisa di biarkan. Sudah satu bulan dirinya bersama Aiza bagaikan orang asing dan tidak seperti pasangan pada umumnya meskipun bertegur sapa hanya sekedarnya.
Disisilain, kerinduan yang menjalar dihati Arvino begitu membuncah. Ia harus mengakhiri ini semua. Istrinya itu adalah anugrah dan amanah dari Allah yang harus ia jaga, ia sayangi dan ia cintai. Tidak di abaikan seperti sekarang.
Semenjak Aiza terasa jauh dari sisinya, Arvino merasa kehilangan. Tidak ada raut wajah malu yang selalu ia tunjukan. Rona merah di pipinya jika ia tersipu bahkan cara manjanya yang sering dilakukan Aiza begitu menginginkan sesuatu.
Arvino menarik napasnya sejenak. Ia pun membalikkan badannya dan menatap Aiza yang sudah memunggunginya begitu melalui dirinya dan memanggilnya.
"Aiza."
Aiza berhenti. Jantungnya berdegup sangat kencang. Hanya mendengar suara Arvino yang memanggilnya pun perasaan rindu itu begitu terasa bahkan membuatnya gelisah dengan menyalurkannya sambil memeluk erat buku kuliahnya.
"I-iya pak?'
"Ikut saya keruangan."
Arvino masih bersikap secara formalitas dilingkungan kampus mengingat saat ini masih ada beberapa mahasiswa angkatan baru sedang berlaku lalang di koridor.
"Ada apa pak?"
"Ada hal penting yang ingin saya bicarakan.."
"Tapi-"
"Saya tidak menerima penolakan."
"Pak Samuel sedang menunggu saya. Maaf saya tidak bi-"
"Aku tidak perduli! Ini perintah Aiza! Bahkan aku adalah suamimu dan aku tidak ingin penolakan!" nada suara Arvino pun akhirnya meninggi.
Arvino sudah tidak tahan lagi untuk bersikap formalitas kepada istrinya sendiri. Aiza pun terkejut bahkan para mahasiswa angkatan ajaran baru pun menatap keduanya dan mulai terlihat kasak-kusuk.
Arvino mengabaikan itu semua. Bahkan ia tidak perduli lagi. Yang ia inginkan sekarang adalah Aiza segera menurut perintahnya. Karena itu, tanpa ragu Arvino pun melangkah mendekati Aiza hingga akhirnya mereka pun saling berhadapan.
"P-pak.."
"Aku kangen sama kamu Aiza."
Aiza tertegun. Rasanya ia ingin menangis karena merasakan hal yang sama dengan Arvino selama ini. Begitupun Arvino yang kini menatap Aiza dengan sendu sambil menggenggam sebelah tangan Aiza dan meremasnya dengan lembut.
Hanya karena perlakuan Arvino saat ini Aiza sudah tidak bisa membendung air matanya sendiri hingga akhirnya air mata itu meluruh di pipinya sambil membalas erat pegangan tangan Arvino dan saling menautkan jari-jari mereka. Akhirnya, kesabaran Aiza dan Arvino dalam menjalani semuanya pun membawa pada sesuatu yang baik.
"Mas butuh kamu. Mas butuh privasi untuk kita. Mas ingin kita berdua, saling berbicara dari hati ke hati. Sekarang."

💞💞💞💞
Cieee yang kepotong,
Cieee yang penasaran
"Kok di potong sih kak?"
Kabur ahh 🤣🤣🤣🤣
Memang ya, Arvino sama Aiza itu sama-sama bikin kita dagdigdug macam naik Rollercoaster dari awal.
Tapi, makasih banget sudah sabar menunggu update ini ya.. kesibukan author di dunia nyata harus bisa membutuhkan waktu untuk melanjutkan kisah ini sampai sekarang.
Kalian harus bisa memahami satu hal.
Nulis itu pakai hati, pakai perasaan dan karena itu kalau boleh jujur, Demi Allah rasanya pengen nangis dan baper saking ngedalami banget sosok karakter Arvino dan Aiza.
Dan..
Kira-kira hal apa ya yang akan di bicarakan oleh mereka? Sepenting apa sih? 🙄
Dan bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Kalian bisa kepoin spoiler chapter 57 di snapgram lia_rezaa_vahlefii ya..
Sehat selalu buat kalian.
With Love
LiaRezaVahlefi ❤️