Aiza tak banyak berkata setelah Arvino menarik pergelangan tangannya untuk menuju ruang dosen milik Arvino di lantai bawah. Arvino bisa merasakan bagaimana genggaman tangan Aiza begitu erat saling menautkan jari-jari mereka.
Hanya berpegangan tangan dan itu semua membuat Aiza bersemu merah sedangkan Arvino dilanda rasa syukur tak terkira. Terbiasa melakukan hal-hal romantis setelah menikah dan tiba-tiba tidak melakukannya walaupun hanya sebulan rasanya sangat lama sekali.
Arvino membawa Aiza kedalam ruangannya, menutup pintunya dan kini memutar tubuhnya hanya untuk menatap Aiza sambil mengerutkan dahinya.
"Ada apa?"
Aiza hanya menghedikan bahu dan berjalan ke arah jendela yang kini memperlihatkan pemandangan pohon-pohon dan rumput hijau didepan matanya sambil memunggungi Arvino.
Arvino hanya menghela napas. Tadi Aiza terlihat seperti merindukannya. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba terlihat kesal? Arvino melangkahkan kedua kakinya berdiri dibelakang Aiza walaupun hanya berjarak beberapa meter sambil menyenderkan pinggulnya di sebuah meja ruangan.
Arvino bersedekap. "Kamu kenapa?"
"Mas yang kenapa?" tanya Aiza balik dengan jutek.
"Apanya yang kenapa?"
"Mas aneh."
"Aneh darimana?"
"Mas cuekin aku"
Arvino menatap Aiza. Dilihatnya istrinya itu terlihat tidak perduli, ingin di perhatikan bahkan baru saja terlihat menghapus air matanya dengan cepat.
Apakah Aiza menangis?
"Mas gak cuek kok."
"Cuek!"
"Enggak Aiza."
"Mas mana mau ngaku."
"Masa?"
"Yasudah! Mas itu nyebelin! Resek, Aku gak di heranin, Sebulanan aku gak di perhatiin, Gak tidur disebelahku, gak meluk aku, gak jadi imam dalam sholatku seperti biasanya, gak buatin ayam goreng mentega kesukaanku bahkan sering pulang malam."
Aiza tertunduk. Ia menyalurkan rasa kesalnya sambil meremas ujung hijabnya. "Dan mas tidak pernah cium aku lagi." jujur Aiza dan terdengar dari nada suaranya yang pelan.
Ini pertama kalinya bagi Arvino Aiza berucap kata-kata yang lumayan panjang di balik cara bicaranya yang irit sejak dulu. Aiza terlihat seperti anak-anak yang ingin diperhatikan bahkan saat ini sedang protes karena merasa di abaikan.
Arvino sadar. Ia sudah berlaku hal demikian dengan Aiza. Tapi dikembalikan lagi, Arvino begitu karena ia kecewa dengan Aiza yang menunda kehamilannya. Tapi begitulah dirinya sekarang, sebagai suami ia harus mencoba mengalah memahami kondisi dan situasi istri nya. Harus menerima apapun yang sedang dialami Aiza termasuk bila saat ini Aiza mengeluarkan semua uneg-uneg yang terpendam selama sebulan.
"Terus kamu marah sama aku yank?"
"Gak. Biasa aja." ketus Aiza.
"Yakin?"
"Iya!"
"Yasudah."
"Tuh kan!" Aiza berbalik menatap Arvino tidak suka. Dan Arvino berusaha menahan senyum gelinya karena melihat wajah Aiza yang kesal.
Bagi Arvino, wajah Aiza yang marah saat ini terlihat menggemaskan bahkan hidungnya saja sudah memerah karena habis menangis. Ck, katanya tadi tidak menangis. Buktinya hanya melihat raut wajah Aiza saja semuanya sudah jelas.
"Kenapa?" tanya Arvino yang pura-pura tidak peka.
"Mas neyeblin!"
Arvino meraih selembar tisu dan mengulurkan pada Aiza. "Tuh ingus meler. Kayak anak kecil aja."
Dan akhirnya Arvino tertawa geli. Aiza merampas kasar tisu tersebut kemudian kembali memunggungi Arvino karena merasa malu.
Aiza sendiri tidak bisa menepis kenapa tiba-tiba dirinya merasa baper di saat situasi seperti ini? Niatnya untuk mencoba menjadi istri yang tegar dan kuat sepertinya gagal begitu saja kali ini.
Arvino hendak membalas ucapan Aiza ketika pintu terketuk. Arvino mengabaikan Aiza sejenak yang sedang merajuk kemudian membuka pintunya.
"Asalamualaikum pak. Maaf saya menganggu. Bapak sibuk?"
"Wa'alaikumussalam. Tidak. Ada apa?"
"Saya ada kirim pesan singkat ke bapak."
"Saya juga pak."
Dua orang mahasiswa datang keruangan Arvino. Ah Arvino lupa bila hari ini ia sedang diperlukan oleh dua orang mahasiswanya untuk bimbingan skripsi.
Arvino mempersilahkan mereka masuk dan duduk di sofa ruangan tersebut. Posisi Arvino berada di depan dua mahasiswanya, sementara dibelakang mereka terdapat Aiza yang masih diam merajuk sambil menatap jendela besar didepannya. Bahkan ia melihat istrinya itu lagi-lagi sedang menghapus air matanya kembali dengan kasar. Arvino terkekeh geli dalam hati tapi kali ini ia harus serius untuk membimbing mahasiswanya.
Arvino meraih skripsi salah satu mahasiswanya.Tatapannya serius sambil membolak-balikkan halaman demi halaman.
"Ini ada yang salah!"
"Yang mana pak?"
Arvino menutup skripsi tersebut dan mengembalikannya dengan salah satu mahasiswa yang ada didepannya. "Semuanya!"
"Tapi pak-"
"Saya tidak terima skripsi kacangan gitu! Seharusnya teori yang kamu cari harus akurat. Cara revisimu seperti copy paste dari internet yang memiliki sumber tidak lengkap."
Arvino bersedekap. Ia berusaha meredam emosinya sesekali ia melihat Aiza di belakang mahasiswa nya. Terlihat sedang mendumel sendiri sambil memanyunkan bibirnya.
Arvino kembali fokus. "Ini sudah hampir 3 tahun. Teman-teman kamu sudah pada lulus. Jangan suka molor."
Mahasiswa itu terlihat tunduk sambil membuka skripnya sendiri. Terlihat dari raut wajahnya yang lelah karena mungkin sudah susah payah dalam mengerjakan. Tapi Arvino tidak perduli. Mahasiswa memang harus kuat mental terutama saat memiliki dosen pembimbing seperti dirinya.
"Ada pertanyaan?"
Mahasiswa itu menggeleng. "Tidak pak. Saya akan merevisinya kembali."
Arvino mengangguk. "Baiklah. Kalau sudah tidak ada kepentingan disini silahkan keluar."
Dan Arvino merasa tidak peduli bila secara tidak langsung dianggap mengusir. Tapi Arvino tidak suka berlama-lama dengan mahasiswanya. Baginya, ketemu mahasiswa, mengajar, melakukan bimbingan skripsi, tanda tangan, setuju, selesai.
Apalagi saat ini ada Aiza diruangannya. Arvino kembali menatap Aiza, kini istrinya itu terlihat meremas-remas selembar tisu hingga berbentuk gumpalan. Aiza menyalurkan rasa kesalnya lalu membuangnya di lantai. Bahkan melemparkannya ke dinding seperti anak kecil.
Melihat hal seperti itu, rasanya Arvino ingin membungkam istrinya itu agar tidak merajuk dengan ciuman romantisnya. Tapi ia harus sabar karena saat ini ia sedang fokus dengan profesinya.
"Ini sudah betul. Tidak ada yang salah." ucap Arvino pada satu mahasiswa yang tinggal dirinya sendiri.
"Alhamdulillah Pak. Ya ampun akhirnya."
Arvino membubuhkan tanda tangannya sebagai persetujuan di skripsi mahasiswanya. Setelah itu tanpa basa basi lagi mahasiswa itu mengangguk hormat dan berjalan menuju pintu namun lagi-lagi ia menghentikan langkahnya.
"Pak."
"Ya?"
Mahasiswa itu membuka tasnya kemudian merogoh isinya lalu mengulurkan sekotak coklat pada Arvino.
"Buat bapak."
"Buat saya?"
"Iya pak."
Arvino mengerutkan dahinya meskipun sudah menerima sekotak coklat dari mahasiswanya sendiri.
"Kamu gak perlu repot-repot."
"Saya gak merasa begitu pak. Kebetulan saya habis liburan bulan madu sama istri.. ya anggap sajalah sebagai tanda terima kasih saya sama bapak karena sudah membantu saya selama membimbing skripsi."
"Kamu sudah menikah?"
"Alhamdulillah sudah pak."
"Berapa usiamu?"
"22 tahun pak hehehe."
Arvino hanya manggut-manggut dan ternyata mahasiswanya itu seumuran dengan Aiza.
"Kalau gitu saya pergi dulu ya pak. Maaf pak kalau saya bilang gini. Istri bapak lagi ngambek tuh, coba bujuk pak. Pakai coklat biar seperti suami-suami romantis gitu."
Arvino menatap tajam mahasiswanya itu. Ck, mentang-mentang sudah selesai segala urusan tentang skripsi seenaknya saja dia berkata seperti itu.
Mahasiswa itu hanya menyengirkan
bibirnya dan akhirnya keluar.
Arvino menghela napas. Lalu menutup pintu dan menguncinya. Bahkan menutup rapat tirai jendela dilanjutkan dengan mematikan akses cctv di ruangannya kemudian menoleh kearah Aiza yang masih terlihat kesal. Arvino memasang raut wajah smirk dan mendekati Aiza.
"Mas vino benar-benar nyebelin! Ih! Sebel sebel sebel!!!"
Arvino berkacak pinggang. Memperhatikan istrinya yang sedang marah. Ternyata bener ya. Katanya kalau sudah menikah setiap suami atau istri akan mulai mengetahui sifat-sifat asli pasangannya. Contohnya Aiza saat ini. Dulu sebelum menikah, Aiza terlihat tertutup. Cuek. Irit bicara bahkan enggan untuk bertatapan wajahnya dengannya.
Dan sekarang? lihat.. Aiza mulai lelah. Ia pun memilih duduk selonjoran di lantai sambil meluruskan kedua kakinya. Arvino terkekeh geli. Ia masih membiarkan istrinya yang begitu lucu. Merajuk seperti anak kecil yang kurang kasih sayang.
Aiza merasa kesal. Merasa terabaikan ia pun memilih berdiri lagi lalu membalikan badan kemudian terkejut melihat Arvino sudah berada di belakangnya. Aiza memalingkan wajahnya ke samping enggang melihat suaminya.
"Masih marah?"
"Tau ah."
Arvino melangkah mendekati Aiza. Aiza memundurkan langkahnya lalu mulai jual mahal karena masih merajuk hingga akhirnya sebuah dinding membuatnya tersudut.
Arvino mengukung Aiza dengan kedua lengan kekarnya dan menatap Aiza dengan serius. "Maafin aku ya yank."
"Gak mau."
"Kenapa?"
"Mas nyebelin."
"Makanya mas minta maaf."
Aiza menundukan wajahnya. Ia sadar ini semua berlebihan. Tapi wanita tetaplah wanita yang ingin di mengerti dan diperhatikan.
Arvino pun akhirnya memeluk Aiza dengan erat. Awalnya Aiza ragu, tapi lama kelamaan ia pun membalas pelukan Arvino. Ia tidak tahan untuk bersikap sok gengsi. Aiza pun menyandarkan pipinya pada dada bidang Arvino, mendengarkan bagaimana debaran jantung Arvino yang kini berdegup sangat kencang.
"Mas."
"Hm?"
"Maafin aku ya."
"Tidak apa-apa. Mas juga salah sudah mengabaikan kamu. Seharusnya gak. Maafin mas."
Aiza tersenyum kecil. Akhirnya Arvino sudah tidak mengabaikannya lagi. Akhirnya Arvino sudah kembali bersikap romantis padanya.
Aiza mendongakan wajahnya menatap Arvino yang kini menatapnya balik. "Aku kangen mas."
"Sama sayang. Mas juga." Arvino mencium kening Aiza "Sekarang mas harus belajar memahami kamu. Mas janji tidak akan memaksa kamu lagi. Kita serahkan saja semuanya pada Allah kapan Allah memberi kita keturunan lagi. Yang penting saat ini kita bersama. Kamu selalu ada disamping mas. Didekat mas, penyemangat mas."
Aiza berjinjit untuk mencium pipi Arvino hingga membuat suaminya itu terkekeh geli.
"Oh iya ada sekotak coklat tuh dari mahasiswa mas." Arvino menarik pergelangan tangan Aiza, meraih sekotak coklat yang dia letakkan diatas meja kemudian membawanya bersama Aiza untuk duduk di sofa empuk.
Aiza berbinar. "Alhamdulillah. Coklat!! Boleh aku coba?"
Arvino tersenyum. "Tentu. Buat kamu semuanya."
Aiza mulai menyomot satu coklat kemudian mengunyahnya. Berulang kali Aiza menawarkan coklat tersebut pada Arvino tapi Arvino menolaknya dengan alasan kenyang. Cokelat-cokelat itu memang manis. Tapi bagi Arvino, melihat Aiza saja saat ini sudah mengalahkan rasa coklat-coklat itu.
"Mas yakin tidak mau?"
Arvino menggeleng. "Mas kenyang."
"Tapi mas harus nyobain."
"Tidak Aiza."
"Ini coklat dari mahasiswa mas. Rasanya lezat."
"Mas tau."
"Ini rezeki mas. Setidaknya mas harus nyobain satu. Jangan menolak."
Bukannya menjawab, Arvino mendekati Aiza hingga kedua paha mereka saling bersentuhan. Aiza melirik kesamping dan seketika terkejut karena wajah Arvino sudah berada didekatnya.
"Mas.."
"Sejak tadi kamu nawarin mas coklat kan?"
Aiza mengangguk. Wajahnya sudah bersemu merah.
"Kalau gitu mas akan menyobanya. Tapi kita harus pulang kerumah. Mas rindu sama kamu." Bisik Arvino pelan.
Arvino tak banyak berkata, ia pun langsung membereskan semua perlengkapan alat tulisnya kedalam tas lalu menggandeng tangan Aiza keluar ruangan. Aiza sadar suaminya itu akan meminta haknya.
Mereka segera memasuki mobil, tak lupa Arvino memasang safetybelt pada Aiza. Arvino sadar Aiza sudah merona merah sejak tadi. Dengan perlahan Arvino mencium punggung tangan istrinya.
"Kamu cantik. Aku ingin kamu berada dipelukan Mas setelah sampai dirumah."
Aiza merindukan Arvino. sudah sebulan ini hubungan keduanya terlihat renggang. seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap. Aiza terlalu bahagia begitupun dengan Arvino yang sudah mengemudikan mobilnya.
Waktu terus berjalan. Sebuah getaran ponsel yang berasal dari dalam tas Aiza sejak satu jam yang lalu terabaikan begitu saja. Aiza tidak menyadarinya dan melupakannya begitu saja karena hati dan perasaannya sejak tadi terfokuskan oleh Arvino saat ini.
Sebuah alarm yang bergetar dari ponsel Aiza. Alarm yang memberitahukan bahwa sudah seharusnya satu jam yang lalu ia meminum pil kontrasepsinya.
🖤🖤🖤🖤
Kok baper sih liat mereka romantis-romantis gitu 😭?? Oh iya, Aiza itu pelupa ya sampai alarm pun gak menjamin sebagai pengingat dirinya 😂😅
Kalian baper gak sih liat mereka baikan? Kalau iya Alhamdulilah, kalau gak maafkan author ya 🙏
Mereka itu lucu, bertengkar terus baikan, saling memendam rasa tapi begitu berbicara dari hati ke hati bikin author yang nulis alur mereka ikut baper juga, aduhhh jadi pengen lari ke pelukan suami aja sekarang 🤣🤣🤣
wkwkwkw
Tapi, sekali lagi.. makasih buat kalian yang sudah ikutin part ini ya🤗
Jangan lupa ikutan Give Away better with you kalau kalian pengen novel gratisan dari Author 😉
Cuma bisa berharap semoga kedepannya Arvino Aiza tidak ada masalah lagi ya.. tapi kalian bisa kepoin spoiler chapter 58 di snapgram Author lia_rezaa_vahlefii.
Ini malam Jumat, jangan lupa baca surah Al Khafi 🤗
Sehat terus buat kalian ❤️
With Love
LiaRezaVahlefi