Chereads / Mencintaimu Dalam Diam / Chapter 51 - Chapter 50

Chapter 51 - Chapter 50

Jakarta, 16:00 sore - D'Media Corp.

Waktu semakin berlalu. Detik demi detik terus berjalan seiring berjalannya waktu. Devika tengah menatap layar ponselnya setelah Fikri kembali menghubunginya.

Semalam adalah hal yang memang spesial baginya. Bayangkan saja, dengan penuh perhatian Fikri kembali datang ke kota Jakarta hanya untuk menemui dirinya. Padahal bisa saja pria itu melakukan video call atau hanya sekedar melakukan chating melalui pesan singkat seperti biasanya.

Tapi ya begitulah, Fikri sangat mencintai Devika sehingga pria itu rela berkorban hanya untuk mendatanginya. Tak hanya itu saja, layaknya calon suami yang baik, Fikri pun membawakan sekotak menu makan malam dan murni home made buatannya di apartemen ke ruangan Devika di D'Media Corp.

Ya, Fikri sudah memutuskan akan membeli sebuah apartemen di Jakarta. Tempat ia akan membangun rumah tangga bersama Devika setelah menikah.

Pepatah mengatakan cinta hadir karena terbiasa bersama seiring berjalannya waktu. Tidak diragukan lagi benih-benih cinta perlahan mulai hadir di hati Devika saat ini. Fikri benar-benar merubah penampilannya yang dulunya sangat culun berkaca mata tebal kini menjadi sosok pria tampan dan rupawan terlebih saat ini ia menjabat sebagai Presdir di perusahaan ternama setelah kakeknya itu memerintahkan padanya.

Ah, hanya karena memikirkan Fikri saat ini rasa kerinduan membuncah di hatinya. Tenyata benar ya.. kalau sudah kasmaran jika satu jam saja tidak bersapa di chattingan seperti biasanya rasanya sungguh menyiksa.

Dua jam yang lalu Fikri mengabarkan dirinya sedang berada di Amerika karena mengurus beberapa berkas penting untuk pemindahtanganan jabatan perusahaan padanya. Saking terlalu memikirkan Fikri, Devika lupa jika ia harus segera pulang kerumah.

๏ฟผ

Penggalan chapter 49

Seharusnya tadi siang ia meminum obat vertigo yang sudah di resepkan dokter padanya. Namun akibat buru-buru berangkat kerja, Devika lupa membawa obatnya.

Devika segera menutup layar laptopnya. Ia harus segera pulang kerumah mengingat rasa pusing dan kepalanya yang terasa berputar-putar akibat maag akutnya semakin menjadi-jadi.

Devika pun keluar dari ruangnya menuju pintu lift yang di khususkan untuk dirinya. Sesampainya di lobby, ia pun bertemu Reva. Seorang wanita yang merupakan adik tingkatnya di universitas sekaligus menjadi pekerja bawahannya saat ini.

Reva yang kini melihat Devika hanya tersenyum sopan sambil menunduk hormat layaknya status seorang pekerja dan pemimpin perusahaan jika sedang bertemu.

Reva pun melihat Devika berlalu menuju basement begitupun dengannya yang berniat keluar pintu lobby untuk segera memesan layanan taksi online karena hari ini Reva tidak membawa mobilnya yang sedang berada di bengkel.

Namun, sebelum benar-benar Reva mencapai pintu lobby utama, Ia melihat Devika hampir saja limbung ke lantai bawah sambil memegang dahinya kalau saja seorang pria yang secara refleks tidak menahan tubuhnya. Dengan cepat Reva mendekati Devika dengan panik.

"Bu Devika!"

Beberapa orang pun mengerumuni Devika dan menatap cemas Presdir mereka.

"Ibu tidak apa-apa?" tanya Reva yang kini beralih merengkuh pundak Devika.

Devika menoleh kearah Reva dengan terkejut dan ia pun berucap terima kasih pada seorang pria yang merupakan karyawannya di D'Media Corp yang sudah membantunya.

Sejenak, Reva tidak memikirkan lagi rasa cemburunya terhadap Devika karena saat ini rasa kemanusiaannya untuk menolong sesama harus ia lakukan kepada atasannya.

"Saya tidak apa-apa Reva."

"Tapi wajah ibu pucat. Ibu sedang sakit?"

"Hanya pusing."

"Mari saya antar ke mobil ibu."

Devika merasa tubuhnya lemas. Apalagi saat ini ada Reva yang sudah berniat baik merengkuh pundaknya dan mengantarkannya ke parkiran mobil.

"Maaf merepotkanmu ya Rev. Tapi terima kasih sudah menolong saya."

"Sama-sama Bu. Kebetulan saya tidak merasa kerepotan."

Devika tersenyum tipis. Mereka pun mulai memasuki basement parkiran mobil. Dan sesampainya disana, Reva mengerutkan dahinya. Ia merasa heran karena tidak ada supir pribadi atau mungkin, sosok Fikri yang sedang menjemput Devika.

"Ibu sendirian?"

"Ya saya sendiri. Ada apa?"

"Apakah tidak masalah ibu menyupir dalam keadaan tidak baik-baik saja? Em maksud saya ibu sedang pucat dan pusing."

Devika memaksakan senyumannya meskipun ucapan Reva memang benar. Kepalanya semakin berputar-putar saja bahkan saat ini untuk berdiri saja ia merasa hendak terjatuh lagi.

"Bu Devika. Maaf jika berkenan saya yang akan menyetir mobil anda."

"Tidak perlu Reva. Saya bisa sendiri."

Dan Reva tidak setuju dengan pemikiran itu. "Tapi Bu. Saya khawatir dengan kondisi anda. Anda tidak perlu memikirkan saya. Saya bisa menghubungi layanan taksi online ke alamat saya untuk kembali pulang setibanya di rumah ibu."

Devika sudah tidak bisa menolak tawaran Reva lagi. Karena itu ia pun hanya mengangguk dan memasuki mobilnya. Reva pun bernapas lega. Sungguh ia khawatir dengan kondisi Devika yang benar-benar tidak terlihat sehat seperti biasanya.

Akhirnya sesuai tawaran Reva, ia pun kini mengemudikan mobil Devika ketika waktu menunjukan pukul 5 sore.

"Sekali lagi terima kasih ya Reva. Saya benar-benar merepotkanmu."

"Sama-sama Bu Devika. Sudah saya katakan kalau saya ikhlas dalam membantu ibu."

"Jangan panggil saya ibu. Panggil Devika saja. Kita sudah berada di luar pekerjaan."

Reva hanya mengangguk. Jalanan ibu kota memang sedang macet saat ini.

"Aku tidak menyangka akhirnya kita bertemu lagi. Aku ingat banget kamu dulunya adik tingkat. Deket sama Aiza juga?"

Sesekali Reva menoleh ke arah Devika. Jalanan mulai kembali lancar dan Reva mengemudikannya dengan kecepatan sedang.

"Iya Bu. Em maksud saya iya Kak Dev." kekeh Reva karena canggung. "Kebetulan Aiza tinggal satu kost denganku waktu di Samarinda meskipun hanya bersebelahan."

"Kalau ingat Aiza. Tiba-tiba mengingatkan masalalu."

Reva memilih diam tanpa banyak berkomentar. Sungguh ia tahu bagaimana maksud dan perasaan Devika saat ini. Situasi sekarang adalah hal pertama kalinya mereka berbicara seperti ini bagaikan teman yang sudah mengenal sejak lama

"Dulu aku sering cemburu denganย  Aiza karena aku menyukai kak Arvino. Tapi mau gimana lagi kalau Kak Arvino bukan jodohku. Seminggu yang lalu dia menikah dengan Aiza di rumah sakit meskipun secara dadakan. Ah wajar aja sih, apalagi kak Arvino dari dulu pengen banget nikah sama Aiza."

Dan Reva memang mengetahui hal itu karena seminggu yang lalu ia mengubungi Aiza secara langsung.

๏ฟผ

Penggalan Chapter 41

"Aku tahunya dari Kak Devian yang bercerita padaku kemudian aku pergi menuju kota Samarinda hanya untuk melihat proses akad nikah sederhana mereka."

"Kak Devika kesana?"

"Iya. Dan aku bertemu dengan Fikri. Teman dekatmu yang culun itu." kekeh Devika dengan geli hingga akhirnya dengan terpaksa Reva pun ikut tertawa hambar karena dengan mendengar nama Fikri saja rasa cemburu itu kembali hadir.

"Aku tidak menyangka kalau teman dekatmu itu suka denganku Rev. Ya awalnya sih aku emang gak suka. Tapi sepertinya aku.. jatuh cinta padanya."

Reva memaksakan senyumnya. "Em kalau begitu selamat ya. Aku dengar kalian akan menikah."

"Alhamdulillah iya Rev. Jangan lupa datang ya."

"Kapan?"

"Insya Allah seminggu lagi."

Secepat itu Devika dan Fikri akan menikah? Perasaan cemburu dan menyiksa bagi Reva saat ini hanya membuatnya diam sambil menganggukkan kepalanya pada Devika. Apakah ia akan sanggup menghadiri acara pernikahan seorang pria yang ia sukai dan menikah dengan wanita lain? Sosok wanita yang saat ini sedang ia tolong.

Tapi apa mau dikata jika memang Fikri tidak menyukai dirinya bahkan memilih wanita lain. Anggaplah saat ini ia akan mengikhlaskan mereka karena Reva sudah menjaga jodoh orang lain selama kurang lebih 4 tahun semasa kuliah-

"Reva awass!!!!!!!!!!" Brak!

Mobil mereka pun akhirnya terlempar dengan jarak lumayan jauh hingga kecelakaan beruntun pun terjadi.

Reva terlalu berkecamuk dengan pemikirannya sendiri dan berdialog dengan isi hatinya yang terdalam karena patah hati sehingga ia pun tidak memperhatikan sebuah lampu merah di persimpangan jalan yang sedang menyala.

Seharusnya Reva berhenti. Namun sungguh disayangkan Reva tidak menyadari hal itu dan berakhir dengan di tabrak naas oleh sebuah mobil kontainer besar yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah sebelah kiri bertepatan ketika saat itu posisi Devika duduk di bagian kiri bersampingan dengan posisi Reva yang menyetir mobilnya disebelah kanan.

Suasana begitu kacau saat itu. Kecelakaan yang menimpa Devika dan Reva karena mobilnya yang terlempar lumayan jauh di tambah dengan kondisi mobil Devika yang rusakย parah mengakibatkan kecelakaan beruntun sehingga pada akhirnya membuat Devika kehilangan nyawanya di tempat.

๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž

Suasana kian tegang. Hari sudah semakin senja. Devian yang memang sedang melakukan pelatihan kedokteran di kota Jakarta dan sedang berkunjung ke sebuah rumah sakit tempat teman semasa kuliahnya itu kini terkejut melihat beberapa tim medis mengeluarkan brankar pasien korban kecelakaan dari dalam ambulans dan itu adalah Devika.

Devian tidak bisa berhenti mengeluarkan air matanya sendiri. Ia tidak menyangka jika dua brankar yang di dorong oleh beberapa tim medis adalah korban adik kembarnya dan Reva.

Saat ini Devian tengah berjuang menyelamatkan nyawa Devika meskipun logikanya sendiri melumpuhkan akal sehatnya yang berkata bahwa adiknya itu telah tiada. Bahkan ia tidak perduli lagi untuk segera mengambil alih tugas seorang dokter lain yang kini tengah menyelamatkan nyawa Devika disana. Masa bodoh dengan itu semua. Yang Devian pikiran saat ini adalah ia seorang dokter. Ia akan berusaha menyelamatkan Devika.

"Dev!! Dev kakak mohon bertahanlah!" panik Devian dengan buliran air mata di pipinya.

Devian tengah memasang alat Defiblilator di bagian dada Devika untuk memulihkan dan menstabilkan ritme normal jantungnya.

"Dev!! Aku mohon.. bangunlah!"

Dan lagi, Devian berharap adik kesayangannya itu akan bangun. Kondisi Devika begitu mengenaskan. Seluruh tubuhnya dipenuhi darah bahkan Devian pun mengabaikan kemeja putihnya yang terkena darah Devika karena masih mengalir dengan deras. Wajah Devika penuh lebam bahkan pendarahan hebat dibagian kepalanya.

Tim medis sudah memeriksa bahwa kondisi Devika sebelumnya memang sedang tidak sehat akibat maag akutnya. Tak hanya itu saja, akibat kecelakaan itu Devika mengalami patah tulang di bagian lehernya.

"Dev!!!! Dev! Jangan tinggalkan aku dev!"

"Dokter Devian hentikan." cegah seorang dokter yang merupakan rekan Devian.

"Tidak! Dia masih hidup! Adikku tidak mungkin pergi!"

"Dokter Devian-"

Suara bunyian panjang menggema di seluruh ruangan UGD yang berasal dari samping Devika. Semua sudah jelas bahwa monitor tersebut sudah menampilkan garis panjang di layarnya dan menandakan bahwa kehidupan Devika berkahir.

"Tidak-tidak ini tidak mungkin." Devian menggelengkan kepalanya. "Dev.. Dev A-aku mohon jangan tinggalkan aku!"

"Dokter Devian-"

"Dev!! Devika bangunlah!!" Devian terus mengguncang tubuh Devika yang sudah tidak bernyawa.ย 

"Dokter Devian-"

Devian menepis tangan dokter yang ada disampingnya yang berusaha mencegahnya. Devian terus menangis memeluk tubuh Devika. Ia tidak menyangka bahwa adiknya itu telah pergi begitu cepat.

Rasanya sungguh menyakitkan di hati Devian. Hatinya begitu tersiksa karena kehilangan adik kembar kesayangannya itu. Dengan menguatkan hatinya dan berusaha kuat, ia pun memposisikan kembali tubuhnya dengan berdiri tegak dan menyentuh lembut pipi Devika dengan berkata lirih.

"Selamat jalan Dev. Aku menyayangimu. Aku akan selalu merindukanmu yang suka cerewet itu. Istirahatlah dengan tenang." Devian mencium dengan lembut kening Devika yang sudah memucat di penuhi luka.

Dengan langkah pelan, Devian memundurkan langkahnya. Bahkan tidak mau sedikitpun Devian melepaskan tatapannya pada Devika yang kini tengah di tutupi selimut putih oleh suster untuk segera di bawa ke kamar jenazah.

๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž

Fikri berlarian menuju rumah sakit ketika ia sudah tiba di parkiran mobil rumah sakit. Fikri sangat syok begitu Devian menghubunginya beberapa menit yang lalu.

Belum melihat keadaan Devika saja kedua matanya sudah berkaca-kaca. Masih ada harapan dihatinya bahwa ini semua hanyalah ilusi. Ini semua hanyalah mimpi buruk dan begitupun ia terbangun, semuanya tidak nyata.

Tapi apa yang ia pikirkan sejak tadi tidak sesuai harapannya. Dari jarak beberapa meter, ia melihat kedua orang tua Devian berdiri sambil berpelukan.

Pak Amran. Ayah Devika sekaligus calon ayah mertuanya itu sedang memeluk istrinya yang sedang menangis histeris. Devian terlihat bersandar di dinding sambil memejamkan kedua matanya. Bahkanย  Fikri bisa melihat kemeja Devian dipenuhi darah Devika yang bersimbah.

"Dia didalam." lirih Pak Amran begitu melihat Fikri datang.

Fikri merasakan hatinya begitu sesak. Pertahanan air mata Fikri pun akhirnya tumpah. Tubuhnya melemas sehingga saat ini ia jatuh terduduk dan bersimpuh didepan brankar Devika ketika memasuki kamar jenazah.

Suasana begitu dingin. Dengan menguatkan hatinya Fikri kembali berdiri dengan lesu. Ia menyeka air mata di pipinya kemudian membuka kain penutup dan menatap wajah Devika yang benar-benar penuh luka lebam. Ia pun memejamkan matanya sejenak seraya berkata lirih

"Baru saja tadi malam kita bertemu lagi. Baru saja tadi malam aku buatkan kamu makan malam di apartemen terus aku antar keruangan kerja kamu. Dan.." Fikri merasakan goresan terluka di hatinya.

"Dan baru saja tadi malam kamu mengungkapkan perasaanmu padakuย  Dev. Hampir 4 tahun lebih aku menunggumu menyukaiku balik. Hampir 4 tahun aku menunggu kamu membalas perasaanku dengan mencintaiku. Bahkan selama ini hanya kamu yang inginkan. Bukan siapapun. Tapi kenapa kamu pergi begitu cepat?"

Fikri pun menutup kembali kain penutup Devika dan memundurkan langkahnya. "Aku tau ini takdirku. Aku tau ini sudah menjadi ketetapan Allah."

Fikri sudah tidak bisa membendung perasaanya lagi. Karena itu ia segera membalikkan badannya sambil bergumam. "Selamat tinggal cinta pertama dan terakhirku. Sungguh aku begitu mencintaimu disisa terkahir hidupmu."

๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž

"Bapak sedang tidak bercanda kan?"

Seorang pria paruh baya bernama Pak Rio sekaligus pengacara Devika pun kini mengeluarkan beberapa berkas penting dari tas kerjanya. Saat ini mereka berada di kediaman orang tua Devian di Jakarta.

Rio pun menatap Devian dan kedua orang tuanya secara bergantian. Tak lupa ada sosok Fikri disana.

"Saya serius." ucap Rio lagi. " Satu bulan yang lalu ibu Devika telah mendaftarkan diri ke Bank Mata Indonesia untuk mendonorkan kornea nya atas nama pasien Tuan Arvino Azka."

"Donor mata?" Devian menatap pak Rio tidak percaya. Sungguh ia tidak tahu hal apapun yang disembunyikan oleh Devika selama ini. Apalagi kedua orang tuanya dan Fikri pun juga tidak mengetahuinya.

"Surat dari Bu Devika menjelaskan bila almarhumah meninggal, dengan sukarela almarhumah akan mendonorkan kornea nya pada Tuan Arvino."

"Bagaimana dengan Reva?" tanya Fikri pada akhirnya.

"Saat ini ibu Reva sedang mengalami koma dan sayangnya dia tidak memiliki kedua orang tua karena menurut informasi yang saya dapatkan dari pihak rumah sakit, Ibu Reva berasal dari panti asuhan."

Devian terdiam seribu bahasa. Begitupun dengan Pak Amran selaku ayahnya hingga akhirnya ia pun beralih menatap Fikri.

"Fikri, hubungin kedua orang tuamu beserta dokter rumah sakit yang sedang menangani Arvino saat ini. Katakan pada mereka bahwa kornea Devika telah siap."

Fikri hanya mengangguk. Dalam diamnya ia menuruti semua perintah pak Amran untuk menghubungi bunda Ayu meskipun hatinya masih syok dan tidak menyangka dengan keputusan Devika selama ini.

๏ฟผ

Penggalan chapter 42

Bahkan setelah selesai menghubungi Bunda Ayu dan Ayah Azka, saat itu juga Fikri bersiap diri ikut berpulang ke Samarinda menggunakan pesawat pribadi milik kakeknya.

Ada hal yang harus ia urus di kota tersebut sekaligus membawa beberapa pakaiannya. Ia sudah memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Bahkan ia pun sudah memutuskan untuk meninggalkan segala sesuatu tentang kenangannya semasa kuliah disana.

Dan begitu sampai di Samarinda waktu sudah menjelang magrib. Selagi menunggu kedatangan kedua orangnya beserta Arvino, Fikri terlihat sibuk dengan Pak Amran danย  kakeknya yang sedang berbincang mengenai pemindahantangannya perusahaan Devika padanya.

๏ฟผ

Penggalan chapter 45

๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž

Beberapa hari kemudian, Fikri terdiam dalam kesendiriannya. Saat ini ia menetap di Jakarta setelah operasi yang di lakukan kakaknya itu berhasil.

Fikri bisa melihat bagaimana semua orang di sekitar Arvino bahagia. Termasuk kakak iparnya itu si Aiza.

Hanya mengingat nama Aiza saja Fikri pun mendecak sebal.

Gara-gara kakak iparnya itu berulah, Arvino pun berakhir dengan kecelakaan. Tentu saja karena Arvino rela mengunjungi kota Balikpapan hanya untuk menjelaskan kesalahanpahaman beberapa bulan yang lalu dan mengalami kecelakaan saat di perjalanan hingga berakhir dengan kebutaan.

Dan jangan lupakan sebuah informasi penting bila penyebab kematian Devika tentunya berasal dari Reva yang juga mengemudikan mobil calon istrinya itu hingga berakhir dengan kecekakaan naas.

"Jadi apakah kamu tidak keberatan nak?"

Suara Ayu tiba-tiba hadir begitu saja memasuki ruangan apartemennya. Fikri pun menoleh kebelakang ketika dirinya sedang berada di balkonnya sejak tadi. Dan memaksakan senyumnya pada bundanya.

"Tentu saja Fikri tidak keberatan bun meskipun pihak wedding organizer tidak bisa mengembalikan uang DP yang sudah aku bayar untuk acara pernikahanku sama Devika. Tapi daripada mubazir, aku akan menyerahkan semuanya pada Kak Vino. Lebih baik mereka segera menikah apalagi dia sudah bisa melihat. Wedding organizer itu rekomendasi dari Devika dan kebetulan bisa diatur meskipun pernikahannya diadakan di luar kotaย  asal kita tidak membatalkannya."

Ayu tak banyak berkata. Ia hanya memeluk tubuh putranya yang saat ini sedang mengalami kesedihan bahkan keterpurukan di hatinya atas kepergian Devika.

"Bunda harap kamu bisa memaafkan atas semua ini."

Fikri hanya menarik napasnya sejenak dan membalas pelukan bundanya.

"Bunda akan biacarakan hal ini pada Naura dan Arvino agar kakak mu bisa mengadakan resepsi dengan Aiza. Kami semua sudah sepakat untuk tidak memberitahukan hal ini pada Arvino dan Aiza. Sudah cukup dengan rasa kesedihan yang selama ini mereka alami."

Fikri hanya mengangguk. Tapi ayu tidak mengetahui sebuah ucapan yang di katakan oleh Fikri dalam hatinya dan hanya Allah dan dirinya yang tahu.

"Tapi bagaimana denganku bun? Kesedihanku yang begitu berat dan menyiksa seperti ini tidaklah mudah ketika wanita yang aku cintai itu sudah membalas perasaannya padaku namun setelah itu dia pergi menghadap Allah selama-lamanya."

๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž๐Ÿ’ž

Terima kasih sudah membaca. Author harap kalian sabar ya mengikuti alur ini.a