"Bukankah menakutkan jika seseorang sengaja, sadar, menggunakan orang lain semata-mata sebagai batu loncatan?"
Hmm. Aku pun penasaran.
Justru, memanfaatkan orang-orang tanpa disengaja─tapi diiringi niat tulus dan keyakinan semu yang dianggap baik─itu jauh lebih mengganggu.
"Haha! Tapi kamu pria baik-baik, kan?"
Aku baru saja ditertawakan.
Syukurlah, diriku sendiri baik atau bukan, tidak berpengaruh apa-apa. Sebaliknya, begini: ini bukan soal dua cara pikir berlainan, melainkan dua pilihan hidup berbeda. Perbedaan mutlak dan sangat besar antara orang-orang yang menjalani hidup bahkan tanpa perlu berjalan, menginjak-injak orang lain dan sebagian lain yang bahkan tak layak dipijaki. Pada akhirnya itulah letak persoalan menurutku.
Sebagai contoh, pelukis tanpa gaya maupun aliran.
Contohnya, seorang cendekiawan yang telah menuntaskan studinya.
Contohnya, seorang koki yang sudah mencicipi kesuksesan.
Contohnya, seorang peramal yang ilhamnya melampaui batas.
Wanita-wanita di pulau itu terlalu mencolok.
Baik tuan rumah maupun tamunya berasal dari keturunan yang sangat tidak biasa, marga disegani yang tak terhentikan, golongan yang mustahil dibendung rakyat jelata, pokoknya kelas istimewa. Keberadaan mereka begitu di luar jangkauan, begitu tinggi, bahkan siapa pun tak akan berani mendekati mereka.
Dan.
"Dengan kata lain, bisa disimpulkan dengan pertanyaan 'Siapa itu jenius, dan siapa yang bukan?' Bila merasa kurang kompeten─sebaiknya puas saja dengan kualitasmu, sungguh. Jika kamu benar-benar tidak tahu menahu. Saking lalainya hingga belum pernah membayangkan sedetik pun tentang tujuanmu hidup, tak pernah mencari makna hidup, tak pernah renungkan nilai kehidupan. Maka dunia ini akan jadi surga. Tenang, damai, dan tentram. Hal-hal sepele akan menjadi hal besar dan hal-hal besar sepele, dan kehidupan dijalani semaksimal mungkin."
Tentu memang begitu.
Dunia ini keras bagi sang brilian. Dunia ini keras bagi sang kompeten.
Dunia itu keras untuk si indah. Dunia ini keras untuk si penuh perhatian.
Dunia ini baik pada si inferior. Dunia ini baik pada si tidak becus.
Dunia ini baik untuk yang kotor. Dunia ini baik untuk orang bodoh.
Tetapi jika tahu, bila kau menyadarinya, maka itu sudah berakhir saat itu pula. Ini masalah tanpa solusi dan tanpa interpretasi. Telah berakhir sebelum dimulai, dan pada saat itu berakhir, lengkaplah sudah. Kira-kira cerita ini seperti itu.
Misalnya.
"Pada dasarnya, orang hidup berpedoman pada salah satu dari dua cara. Entah mereka hidup sadar akan ketidakberdayaan mereka sendiri, atau mereka hidup dalam kesadaran akan tidak berdayanya dunia. Dua cara. Entah kamu membiarkan nilaimu diserap dunia, atau kamu memahat nilai dunia dan menjadikannya milikmu."
Nilai dunia dan harga dirimu.
Mana harus diprioritaskan?
Dunia berangsur membosankan atau dirimu sendiri membosankan.
Mana lebih bisa diterima?
Pasti ada sejumlah ambigu dan ketidakpastian.
Apakah wajib ada kriteria pasti di sana?
Apakah ini benar-benar hanya pilihan antara A dan B?
Apakah kau harus memilih?
"Dari mana kejeniusan berawal dan di mana akhirnya?"
Di mana kebenaran dimulai dan dengan siapa itu berakhir?
Dengan siapa kebenaran dimulai dan di mana itu berakhir?
Jangan bertanya.
Aku disuguhi senyuman sinis.
"Jadi, kamu bagaimana?"
Baiklah.
"Bagaimana dunia ini menurutmu?"
Bagiku, setelah membawa pulang pengalaman dari pulau itu. Bagiku, kini berada di sisi si 'rambut biru'. Dan di hadapan orang ini─percuma saja memikirkan jawaban sebab hal itu hanya omong kosong tak bermakna.
Jadi, sepatah kata pun tidak kusuarakan.
Sebaliknya, aku membuang muka dan memikirkan hal lain.
Bagaimana mata orang ini menyaksikan dunia? Bagaimana rupaku dari sudut pandangnya?