Setelah makan siang, aku pergi ke studio Kanami sesuai janji. Kunagisa mengaku, seperti biasa, tidak lapar dan segera tidur setelah lewat tengah hari. Dia itu teknisi cilik penderita kronis kurang tidur.
"Tolong bangunkan aku saat makan malam. Aku mau bertemu Iria," katanya.
Aku mengetuk pintu ruang kerja, menunggu jawaban, lalu memutar kenop. Lantainya terbuat dari kayu keras yang tidak dilapisi karpet. Dalam beberapa hal, aku teringat ruang seni di sekolah dasarku, kecuali tentu saja ruangan ini tidak diisi meja penuh goresan dan tidak ada pahatan plester palsu. Ukurannya juga tidak sebesar itu. Total area studio mungkin sekitar setengah luas kamar Kunagisa.
"Selamat datang. Duduk di sana," kata Kanami, setelah sebentar menatapku dalam keheningan dingin. Shinya pasti berada di kamarnya atau di suatu tempat, sebab Kanami satu-satunya orang di sana. Aku berjalan melewati rak berisi cat dan persediaan cat lalu mengambil tempat duduk.
Aku menghadap Kanami dan berkata, "Pertama-tama, terima kasih."
Tak dapat kusangkal dia itu wanita cantik. Dengan rambut pirang dan mata biru, layaknya salah satu putri terasingkan yang kau lihat di film-film lama. Dia juga memancarkan kecerdasan. Dan terlebih lagi, dia memiliki bakat artistik. Dia bagaikan mendapat rahmat dari Tuhan.
"…"
Tidak, mungkin aku tidak boleh mengatakan itu.
Dia memiliki sepasang kaki cacat, dan sampai beberapa tahun lalu, dia bahkan tidak mampu melihat. Kukira tak pantas bagiku untuk mengeluh. Namun di sisi lain, Kanami sendiri sepertinya tidak memandang kondisi tersebut sebagai cacat atau disabilitas.
"Tuhan itu adil. Jika aku berbadan sehat, sebaliknya akan tidak adil bagi yang sehat." "Kaki hanyalah hiasan." "Bahkan ketika kuperoleh kembali penglihatanku, dunia tidak benar-benar berubah. Dunia tampak sesuai bayanganku. Seleksi alam dan nasib punya selera yang buruk."
Semua dikutip dari buku seni Kanami.
Dia duduk pada kursi kayu bundar sama seperti tempat aku duduk. Dia mengenakan gaun, jadi kuperhatikan kelihatannya dia agak kurang nyaman.
"Kanami, kamu memakai baju itu saat melukis?"
"Apa kau meragukan selera modeku?"
Wajahnya berubah tegas. Rupanya ini bukan lelucon. Dia betul-betul jengkel. Aku pun bergegas mencari jalan keluar.
"Tidak, tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya berpikir pakaianmu mungkin akan kotor nantinya."
"Aku tidak perlu mengganti pakaianku setiap kali melukis sesuatu. Sampai saat ini, aku tidak pernah mengotori pakaianku sekalipun saat melukis. Aku bukan seorang idiot."
"Oh, begitu."
Kurasa itu sama seperti ahli kaligrafi. Bila dipikir-pikir, terkena cat pada pakaianmu mungkin terhitung kesalahan besar nan amatir. Bagi Kanami, salah satu seniman top di seluruh dunia, saran belaka mungkin tidak sopan, ibarat berkhotbah pada sang Buddha sendiri.
Aku mengangkat bahu. "Tapi apa boleh melukis seseorang sepertiku?"
"Maksudnya apa?" bentaknya, ekspresi tegas masih tergambar. Dia nampak sedang berada dalam suasana buruk. Atau tidak, mungkin inilah dia sehari-harinya.
"Er, tidak, hanya saja, bukankah harga dirimu sebagai seorang seniman akan turun?"
Misalnya, mungkin aman untuk mengatakan Kunagisa terampil pada bidang teknologi tak seperti orang lain di dunia. Namun, dia hanya melakukannya untuk bersenang-senang, jadi jumlah orang yang benar-benar mengakuinya luar biasa sedikit. Bisa dihitung jari.
"Wibawa dan keahlian itu hasil," Kunagisa bilang. "Tidak melakukan dan tidak dapat melakukan itu sama saja."
Kupikir hal sama berlaku pula pada pelukis. Jika kau hanya memilih subjekmu secara acak dan bermain-main sepanjang waktu, sulit membuat orang lain mengakui nilaimu sebagai seorang seniman.
Tapi Kanami mencela pemikiranku.
"Bukankah aku baru saja memberitahumu aku bukan idiot? Apa kau tak punya otak sama sekali? Aku tidak seenaknya memilih subjek. Kau tahu, jika kau tutup mulut, orang tidak akan melihat betapa bodohnya dirimu, jadi kenapa tak kau lakukan itu?"
Dia terdengar begitu muak sehingga hatiku pun hancur.
"Aku hanya… Aku benci pemikiran begitu. Membuatku ingin muntah. 'Oh, tidak ada subjek bagus untuk dilukis.' 'Modelku kurang indah.' 'Lingkungannya salah.' 'Bukan itu jenis subjek lukisanku.' Dan tidak hanya dengan pelukis. 'Oh, ini bukan keinginanku,' atau 'Guru, aku tidak tahu ingin melakukan apa.' Kamu pasti tahu orang-orang sering mengatakan hal-hal egois."
"Sebetulnya, iya." Aku sendiri, contohnya.
"Demi Tuhan," desahnya. "Aku benci orang-orang mengomel soal mana keinginan mereka dan mana yang bukan, mengesampingkan ketidakmampuan mereka sendiri. Aku ingin memberi tahu mereka untuk berhenti hidup seperti bajingan. Aku tak bermaksud bilang mereka semua harus mati, tapi mereka harus lebih rendah hati. Teruskan saja urusanmu dan berhentilah merengek sepanjang waktu. Aku tak peduli apa itu omong kosong membosankan atau tumpukan isi perut serangga, aku akan mengubahnya menjadi seni indah."
Meskipun penampilannya bagus dan manis, dia bangga sekali pada dirinya sendiri. Dia itu tanpa kompromi sehingga dia tidak mampu memaafkan orang lain yang berkompromi.
Dianggap setumpuk isi perut serangga bukanlah hal favoritku, tapi bila dia sanggup melukis itu, pasti dia bisa melukisku. Tampaknya mencoba berkomentar lebih lanjut akan dianggap tidak sopan, atau lebih tepatnya, sia-sia, jadi kuputuskan tutup mulut.
Kuperhatikan di belakang Kanami ada kanvas. Pemandangan pohon sakura dari sudut rendah tergambar di atasnya dengan pensil. Pohon itu dilihat olehnya pagi ini bersama Shinya.
Lukisan itu digambar tajam sekali, bak foto monokrom. Ekivalen sekitar sepuluh juta piksel. Tidak, itu bodoh. Tidak perlu meremehkan gambar rumit melalui metafora semacam itu.
Aku menunjuk ke gambar itu. "Kapan kamu menggambar lukisan itu?"
"Pagi ini. Punya masalah?"
Pagi-pagi sekali dia sudah mengamati pohon itu. Sekitar lima jam sebelumnya. Apa dia menyelesaikan gambar mendetail ini hanya dalam waktu lima jam? Rasanya menggambar lukisan itu akan memakan waktu setidaknya seminggu. Aku pasti menatapnya diiringi wajah skeptis, tanpa sadar, sebab dia menaruh senyuman lancang dan gusar.
"Hanya orang idiot menghabiskan tiga atau empat bulan melakukan sesuatu yang bisa diselesaikan seminggu. Idiot atau orang malas. Dan karena aku bukan keduanya, aku tidak menghabiskan lebih dari tiga jam untuk pekerjaan yang seharusnya tidak memakan waktu lebih lama dari itu."
Oww.
Sebagai perwujudan murni dari kemalasan, hal ini menyakitkan untuk didengar. Menyengat. Aku berharap Kunagisa juga mendengarnya.
"Betul, bukan? Bahkan kau pun terpaksa sedikit setuju, kan? " katanya bernada kasar, menuntut persetujuanku. Aku menangkap kesan seolah-olah dia menyerangku, terang-terangan menghinaku. Dan aku ragu itu hanya kekeliruan belaka.
"Uh, tidak, yah… ya. Baiklah, kamu benar-benar hebat."
"Ya, tentu," sahutnya, sama sekali tak tertarik pada pujianku. Komentarku terlampau hambar, jika dipikir-pikir. Kau benar-benar hebat, itu saja. Kedengarannya seperti perkataan anak kecil berusia lima tahun. Aku ini bodoh atau apa?
"Uh, jadi, Kanami, kamu membuat gambar detail?"
"Aku buat semua jenis gambar. Kau tidak tahu?"
Tentu saja. Lagi-lagi ujaran tak perlu keluar dari mulutku. Wanita di depan mataku, Kanami Ibuki, artis yang menolak gaya dan menyangkal pendirian kaku. Baik itu detail maupun abstrak, tak ada gambar yang tidak bisa atau tidak akan dia lukis.
Dia lantas menyipitkan mata ke arahku. "Tergantung pada satu gaya khas sama saja mendaki puncak kebodohan. Aku tidak mengatakan orang-orang mesti acuh tak acuh agar mereka jadi diri mereka sendiri, namun terlalu bersikeras menganut satu aliran itu hal aneh. Ini gila. Jika ada satu hal dalam hidup yang ingin kulakukan sesukaku, itu adalah melukis."
Mungkin begitu. Enggan setuju maupun tak setuju, aku cuma mengangguk setengah hati. Meneropong pikiran miskinku (atau tidak juga), dia pun mendengus. Nadanya bak ujaran kebencian.
"Hei… Apa kau pernah melihat hasil seniku?"
"Yah, beberapa kali, di beberapa buku senimu. Namun akibat ketidaktahuanku, ini pertama kalinya aku melihat secara langsung."
"Ah… Dan bagaimana menurutmu? Bukan buku seni, melainkan bunga sakura itu."
Bagiku, pertanyaan Kanami agak mengejutkan. Aku tak pernah menyangka orang yang disebut jenius ternyata peduli dengan pendapat orang lain. Misalnya, dimulai dari Akane Sonoyama, salah satu Tujuh Orang Gila. Tak seorang pun di ER3, termasuk rekan-rekan peserta programku, sekelompok orang tercela, mempedulikan penampilan mereka di mata orang lain.
Aku tahu nilaiku sendiri lebih dari siapa pun. Aku tak butuh pujian dari orang bodoh setengah-setengah. Itu cara berpikir bulat mereka.
"Uhmm," kataku, mencari-cari jawaban, "yah, gambar yang sangat bagus."
"Gambar bagus, ya?" dia mengulangi kata-kataku. "Tak usah mencoba menyanjungku. Aku tidak akan marah."
"Tidak, hanya saja aku tidak pandai memberi penilaian atau pandangan kritis untuk hal semacam ini. Aku cuma bisa bilang, menurutku indah sekali penggambarannya."
"Ah… Indah, ya?" Menatap kanvas, dia memasang ekspresi kecewa. Dia bergumam, seolah-olah pada dirinya sendiri, "Indah. Cukup indah. Bukan itu jenis pujian yang kau sematkan pada karya seni…"
"Hah?"
"Kau tidak mengerti? Sayang sekali… Aku benar-benar tidak ingin melakukan ini. Sayang sekali…"
Dia menghela napas berat, membungkuk sedikit, dan mengambil kanvas.
Dia mengangkat kanvas itu ke atas kepalanya…
… .Dan membantingnya pada lantai kayu.
Suara kayu pecah berkeping-keping.
Tentu saja, bukan lantainya yang pecah.
"Hei, a-apa yang kamu lakukan?"
"Seperti kau lihat, aku membuang hasil kekacauanku. Ah, kenapa harus begini?"
Seharusnya itu kalimatku. Dia menatap kanvas yang kini rusak, ekspresi sedih muncul pada wajahnya, dan dia pun menghela napas kembali.
"Ya ampun, sepertinya itu akan bernilai sekitar dua puluh juta suatu hari nanti."
"Dua puluh juta yen?" Aku memberanikan diri.
"Dua puluh juta dolar."
Mata uang berbeda...
"Tentu saja, kita bicara beberapa dekade kemudian."
"Artis terkadang bisa sangat ceroboh…"
Apa perlu dia melakukan itu tepat di depanku? Aku terpaksa merasa bersalah berhubung komentar buruk dariku telah mengundang bencana ini.
"Itu bukan salahmu. Ini tanggung jawabku. Aku bukan tipe orang bodoh yang memaksakan tanggung jawab sendiri pada orang lain."
"Tapi aku hanya seorang amatir. Kamu tidak harus melakukan hal semacam itu berdasarkan opini seorang amatir."
"Bukan seni bila kau harus memilih siapa saja pengagumnya," desak Kanami.
Jadi begitulah adanya.
Aku bisa mengerti itu.
Kata-kata dan tingkah lakunya dipenuhi dengki, namun yang pasti, wanita ini seorang seniman sampai ke tulang.
"Tapi itu sangat realistis, bagaikan sebuah foto…"
"Itu juga bukan pujian, kau tahu. Dengar, kalau kau terbiasa memuji orang dengan mengatakan 'itu seperti bla bla bla,' kusarankan sebaiknya kau berhenti. Ini benar-benar penghinaan tingkat tertinggi. Namun, jika otakmu benar-benar perlu mengotak-ngotakkan semuanya berdasarkan sebuah gaya, maka kurasa memang tak ada harapan." Dia berbalik ke arahku. "Kurasa aku bisa mengerti mengapa kau mengatakan lukisanku mirip sebuah foto. Lagi pula, foto awalnya berasal dari gambar."
"Apa itu benar?"
"Ya. Kau tak tahu?" Dia mengangkat alis.
Seakan berkata, "Kau tak tahu?" itu memang kebiasaannya.
"Penemu fotografi daguerreotype sebenarnya seorang seniman. Ternyata studi perspektif terkait dengan penemuan kamera. Setidaknya kau pernah dengar soal kamera obscura, bukan?"
Pernah dengar, ya. Disebut juga kamar gelap. Fenomena di mana jika kau membuat lubang di salah satu titik di dinding ruangan gelap gulita, pemandangan luar akan terproyeksi ke dinding seberang. Teknologi itu berusia cukup tua dan bahkan disinggung oleh Aristoteles pada abad sebelum Masehi. Seharusnya itulah asal muasal kamera.
"Salah satu teknik yang dirancang untuk menghasilkan gambar akurat," lanjutnya. "Ide utama di balik perspektif, yaitu untuk 'menunjukkan sesuatu sesuai kenyataan.' Begitulah kata seniman Perancis Courbet. Pendukung realisme, dia juga mengatakan, 'Aku belum pernah melihat malaikat, jadi mengapa harus kulukis?' Hal itu bertentangan dengan filosofiku. Bila kau menyuruh seorang anak menggambar sesuatu, dia tidak pernah memiliki perspektif atau kedalaman apa pun, bukan? Segala sesuatu akan ditampilkan pada latar terdepan. Ukuran benda juga dipilih sesuka hati, jadi misalnya rumah dan orang berukuran sama, atau yang terpenting digambar paling besar. Dengan kata lain, apa yang mereka letakkan di kanvas bukanlah seperti apa bentuk objeknya, melainkan bagaimana perasaan sebuah objek. Jika kau percaya menggambar itu sebuah bentuk unjuk ekspresi pribadi, maka menurutku itulah cara tepat melihatnya. Kalau dipikir-pikir begitu, gambar yang terlihat seperti foto sama sekali bukan gambar bagus, bukan?"
"Oke."
Begitu dia selesai memaparkan pandangannya, aku kehilangan arah pada isi pembicaraan di antara kami. Dan meski terus mengobrol, dia masih belum menyentuh kuasnya sama sekali. Kapan dia mau mulai?
"Sejujurnya, foto juga bukan representasi akurat dari sebuah realitas. Kalau kau menyunting baik-baik sebuah foto, maka tidak sulit menipu orang. Mungkin foto tidak jauh berbeda dibanding lukisan, dalam artian keduanya selektif."
"Uh, Kanami, apa kamu akan menggambarku?"
"Saat ini aku sedang menghafal." Tepat ketika aku mengira akan dipanggil tidak kompeten lagi, dia berbicara lembut padaku. Tentu aku tak menduga itu. "Mungkin kau tidak tahu? Aku harus bekerja sendiri. Saat ditemani orang lain, fokusku kacau balau."
Dia terdengar bak Leonardo da Vinci. Pelukis yang tidak melihat dan melukis pada saat bersamaan bukanlah seniman yang kau dengar setiap hari, namun mereka juga tidak langka, sehingga aku tak terlalu terkejut.
"Jadi, ketika membuat potret, aku hanya harus mengandalkan ingatanku."
"Kamu bisa melakukannya?"
"Bagiku, ingatan dan persepsi itu sama."
Sekarang dia terdengar seperti Hannibal the Cannibal.
"Mari kita mengobrol begini terus selama dua jam ke depan. Kemudian aku akan mulai melukis begitu kau pergi. Ah, setelah aku mengulang lukisan bunga sakura ini. Aku ingin mengubahnya menjadi sesuatu yang paling tidak dapat kau pahami. Untuk lukisanmu, aku perlu menaruh dua lapis warna, jadi akan memakan waktu cukup lama. Mestinya aku bisa memberikan hasilnya padamu besok pagi."
"Kamu akan memberikannya padaku?"
"Tentu. Lukisan seperti itu tak kubutuhkan. Aku tak tertarik pada lukisan jadi. Aku akan menandatanganinya, jadi andai kau menjualnya, kau bisa memperoleh nominal yang layak. Tentu saja kau selalu bisa menghancurkannya jika tak menyukainya, tapi agaknya itu sedikit sia-sia. Kira-kira nilainya mungkin sekitar lima puluh juta."
Sungguh materialistis, percakapan itu.
Mendesah.
"Oh, omong-omong," kataku, "Kudengar hubunganmu buruk dengan Akane."
"Betul sekali. Atau sungguh, itu semacam kebencian sepihak darinya. Aku, secara pribadi, tidak merasakan apa-apa selain kesan baik terhadap Sonoyama sang akademisi, Sonoyama sang peneliti, Sonoyama sebagai Tujuh Orang Gila ER3, hanya kekaguman… "
"Tidak ada selain… Dan bagaimana perasaanmu sebenarnya?"
Dia menyeringai kecil. "Sedangkan untuk Akane Sonoyama, dirinya saja, aku membencinya."
Dua jam kemudian.
Setelah meninggalkan studio Kanami, aku pergi lagi ke kamar Kunagisa. Dia sedang berada di tempat tidur, namun ternyata dia telah terbangun suatu saat dan tuntas memperbaiki jam tanganku. Jahil murni ala Kunagisa, tampilan digitalnya sekarang terbalik, tapi setidaknya jam itu berfungsi lagi, jadi aku menempelkannya di lengan kiriku, menepuk kepala Kunagisa yang sedang tertidur, mengucapkan terima kasih, dan mengunjungi kamar Akane.
"Lawan aku tanpa benteng, uskup, dan jendralmu," pintaku.
"Aku akan mengizinkan batasan lebih besar buatku," katanya, tersenyum gembira dan berlanjut mengisi papan shogi dengan bidak-bidak. "Sebuah mélange Timur-Barat."
"Rasanya lebih mirip pertandingan seni bela diri campuran..."
Meskipun diberi kemudahan, aku dihantam habis-habisan.
Tujuh kali berturut-turut.