2
Pagi hari keempat di pulau itu dimulai sangat normal. Sungguh, betul-betul normal.
Aku terbangun sama seperti biasanya. Pada saat sampai di kamar Kunagisa, dia sudah bangun dan sedang duduk di depan komputernya. Dia bilang sedang memeriksa emailnya. "Tata rambutku," katanya, tanpa banyak menyapa. Aku mengikat rambut di bagian atas kepalanya menjadi dua ekor, yang disebut juga "ekor kembar". Kupikir kali ini ikatannya cukup mudah dilepaskan sendiri.
"Aku ingin sarapan hari ini," katanya, jadi kami berangkat menuju ruang makan. Mengintip ruang tamu di tengah perjalanan, Maki dan Shinya ternyata masih minum anggur di sana. Mereka pasti terjaga sepanjang malam sambil minum. Mereka benar-benar tidak mempermasalahkan usia mereka, pikirku, tapi tentu saja aku tetap diam.
Bermaksud sopan, aku mengundang mereka untuk sarapan dan mereka pun bergabung. Kami berempat memasuki ruang makan. Yang sedang duduk di meja antara lain Akane dan, jarang-jarang, Iria.
"Oh, tidak biasanya," kata Iria. "Semua orang berkumpul seperti ini bahkan di pagi hari… Yah, rasanya lebih dari sekadar kebetulan. Haruskah aku memanggil yang lain? Akan menyenangkan bila semua bisa hadir sarapan bersama."
Dia memanggil Akari di dekatnya dan memintanya untuk menjemput Yayoi, yang tidak diragukan lagi berada di dapur, dan para pelayan lainnya.
"Baiklah, aku akan menjemput Kanami," kata Shinya. "Dia mungkin sudah kelar melukis sekarang. Hmm, aku ingin tahu apa dia masih tidur… Eh, menariknya dia tidak rewel saat hari baru dimulai. Meskipun kepribadiannya menjengkelkan."
Dia tertawa kecil sendiri dan menatapku. "Kuharap kamu suka dengan gambar yang dilukisnya," kata Shinya. Dia pun segera meninggalkan ruang makan.
Ini akan menjadi kesempatan pertama Kunagisa dan aku sarapan bersama seluruh penghuni pulau itu─tapi itu tidak pernah benar-benar terjadi.
Saat Shinya kembali ke ruang makan, dia membawa berita kematian Kanami.
"Kanami telah ... dibunuh."
Begitulah cara dia mengutarakannya, dan sesosok mayat lebih dari cukup untuk memastikan pernyataan Shinya. Tidak mungkin Kanami meninggal karena sakit atau kecelakaan, atau bahkan bunuh diri─tubuhnya lenyap seutuhnya dari leher ke atas.
Namun tetap saja…
Kasus pembunuhan.
Dan bukan hanya pembunuhan, tapi…
"Aku, aku… Benar. Setelah makan malam, aku bersama Kunagisa sepanjang waktu. Aku mandi di kamarnya, lalu dia bilang dia lapar, jadi kami pergi ke ruang tamu. Dalam perjalanan kami bertemu Akari. Betul, kan? Iya. Di ruang tamu kami bertemu Hikari, Maki, dan Shinya, dan kemudian… gempa bumi pun terjadi. Ada gempa bumi, kan? Kami berada di ruang tamu sampai gempa itu mereda. Setelah itu, aku mengantar Kunagisa kembali ke kamarnya, lalu… aku pergi tidur. Aku bangun hari ini pukul enam, dan aku sudah berada di sisi Kunagisa sejak itu."
Aku mencoba sebaik mungkin agar terdengar tenang, bahkan saat tatapan semua orang tertuju padaku.
Pemeriksaan alibi.
Mengapa mulai denganku, aku tidak tahu, tapi Iria memintaku, jadi aku merasa tidak diberi keleluasaan. Kiranya dia menganggapku sebagai tersangka utama.
Ruang makan.
Makan sarapanku yang agak dingin.
Sepertinya tidak ada orang lain yang bisa makan setelah melihat mayat tanpa kepala itu, dan memang aku merasa mual, tapi masakan Yayoi terlalu lezat untuk disia-siakan, aku tidak bisa membiarkan masakannya terbuang percuma.
Meja bundar.
Iria, Rei, Akari, Hikari, Teruko, Akane, Maki, Yayoi, Shinya, Tomo Kunagisa, aku sendiri. Kami semua duduk di kursi dengan posisi sama persis, dan tentu saja kursi Kanami kosong pada posisi jam lima. Kursi itu tidak akan pernah terisi lagi.
Bereaksi atas kesaksianku, Iria memiringkan kepalanya sedikit ke arahku. Kemudian dia melirik ke arah kursi jam satu. "Hikari, apa itu benar?"
"Ya," pelayan wanita itu mengangguk. "Sampai gempa terjadi… Um… jam satu ya? Ya, jam satu. Kami berlima termasuk diriku sendiri mengobrol sepanjang waktu. Aku bisa jamin itu."
"Mungkin seseorang pergi untuk permisi sebentar?"
"Tidak," kata Hikari dengan sedikit ketidakpastian. "Menurutku tidak. Meskipun aku tidak bisa mengatakan secara pasti."
"Tidak ada yang pergi," kata Kunagisa, memperkuat kesaksian Hikari. "Dan aku punya ingatan sempurna. Tidak ada yang meninggalkan ruang tamu."
"Betul begitu?" Iria memejamkan matanya. "Kalau begitu, kamu dan Kunagisa, Sakaki, Himena, dan Hikari semuanya bisa saling menguatkan sampai gempa bumi terjadi, benar kan? Bagaimana saat gempa bumi berakhir?"
"Aku tidur sendirian, sehingga kurasa aku tidak punya alibi."
"Terima kasih. Kalau begitu, kukira berikutnya aku harus memberikan alibiku. Tadi malam aku bersama Rei dan Sashirono di kamarku mengobrol. Makan malam kemarin bahkan lebih enak dari biasanya, jadi aku meminta resep pada orangnya langsung. Benar kan, Sashirono?"
Mungkin karena namanya tiba-tiba muncul, Yayoi terlihat agak terperanjat. "Ya," dia mengangguk singkat.
Rei mengangkat bahu sekelumit, tapi tidak berkata apa-apa. Jika kau memikirkannya baik-baik, dia pasti orang yang berkepala dingin, mengingat situasi ini akan membuat siapa pun terguncang. Tentu saja Teruko diam seperti biasanya, tapi Rei lebih pendiam dari yang kau bayangkan. Apakah dia hanya setia pada majikannya atau ini hanya kepribadian aslinya, aku tidak yakin mana yang betul.
"Gempa terjadi, lalu… kuputuskan untuk kembali ke kamarku," sambung Yayoi seolah-olah berjuang mengocok ingatannya.
"Itu benar," Iria mengangguk. "Sehabis itu, Rei dan aku terjaga sepanjang malam terus mengobrol. Kunagisa akan segera pergi, jadi kupikir kami berdikusi untuk mengadakan acara yang menyenangkan… Kamu tahu, seperti pesta perpisahan. Itulah tradisi di sini. Omong-omong, kami akhirnya tidak tidur semenit pun, jadi aku lantas datang kemari untuk sarapan."
Dengan kata lain, Iria dan Rei memiliki alibi paripurna. Yayoi, seperti Kunagisa dan aku, punya alibi hingga gempa bumi berlalu.
"Shinya dan aku juga memiliki alibi lengkap," sela Maki. "Kunagisa dan yang lainnya dapat memastikan hal itu hingga gempa dimulai, lalu Shinya dan aku saling menjamin setelahnya. Ya ampun, alkohol itu luar biasa."
Memangnya seberapa memadai kesaksian seorang pemabuk? Maki pasti tahu aku sedang memikirkan itu, sebab dia melotot ke hadapanku. Tapi tanpa sepatah kata pun terlontar, dia menoleh pada Shinya. "Bukankah itu benar?" dia bertanya.
"Ah… Ya," jawabnya hampa.
"Hmm… Hikari, sedang apa kamu selepas gempa?"
"Aku kembali ke kamar. Akari dan Teruko juga ada di sana. Setelah itu, aku pergi tidur. Aku bangun hari ini jam lima, lalu kembali bekerja…"
"Bagaimana dengan Akari dan Teruko? Akari, jawab."
"Sesudah makan malam, kami tidak memiliki pekerjaan lagi, jadi…" Akari kemudian membeku di tempat, tangan di sebelah pipinya. Kelihatannya dia sedang mencoba berpikir. "Teruko menemaniku di kamar kami sepanjang waktu. Kemudian usai gempa, Hikari kembali segera setelah itu. Saat itulah kami memutuskan pergi tidur bersama-sama."
"Kalian bertiga berbagi satu kamar?" Aku bertanya.
Mata Akari menatap ke arahku seolah-olah dia tidak pernah menyangka aku akan bicara padanya. "Ya, kami bertiga berbagi kamar. Apa ada yang salah soal itu?"
"Oh tidak, tidak apa-apa."
Hanya ingin tahu. Aku membungkuk padanya. Aku ingin bertanya apa mereka sekalian berbagi kasur yang sama, tapi kuputuskan tutup mulut.
Hmm…
Itu berarti Akari dan Teruko juga memiliki alibi kokoh hingga gempa berlangsung. Setelah itu, mereka semua pergi tidur, jadi mereka tidak bisa benar-benar menjamin satu sama lain.
Teruko mengangguk lemah kala mendengarkan kesaksian Akari, tapi akhirnya diam saja. Teruko melayangkan isyarat sederhana, tapi entah kenapa sulit dimengerti.
"Hal ini berkembang menjadi rumit." Iria menghadap satu-satunya orang yang belum ditanya, tersangka terakhir, Akane Sonoyama. "Kamu bagaimana?" dia berkata. "Apa yang kamu lakukan semalam?"
Akane, yang telah tenggelam sampai sekarang, tangan masih terlipat dan mulut tertutup, menghela napas lalu membuka hanya sebelah mata. "Menilai dari fakta tidak ada yang menyebut namaku sampai sekarang, mungkin sudah cukup jelas, tapi, ya, aku tidak bersama siapa pun semalam." Dia berbicara tanpa ragu. "Setelah makan malam, aku kembali ke kamarku dan menyalakan komputer. Aku sedang mengerjakan beberapa pemodelan, dan, yah, aku bisa saja memberimu detail membosankan. Seharusnya komputerku merekeam catatan waktuku, jadi kamu bisa memeriksanya sebagai bukti, tapi kukira hal semacam itu bisa dipalsukan. Tidak memenuhi syarat sebagai alibi."
"Aku tidak tahu banyak tentang komputer. Bagaimana menurutmu, Kunagisa?"
"Hmm?" Kepala Kunagisa kembali tegak (hebat sekali dia sempat-sempatnya melamun). "Oh. Dengan sedikit keahlian seseorang dapat dengan mudah memanipulasi hal sesederhana catatan log. Akane, seberapa banyak kamu tahu soal komputer?"
Akane menyeringai. "Mungkin tidak ada gunanya menjawab itu."
"Oh, oke," Kunagisa mengangguk. "Ya, kurasa kamu benar. Dengan alat yang tepat, bahkan seorang amatir pun dapat mengubah log. Hal itu tidak terlalu sulit. Perangkat lunak semacam itu dapat dijumpai di mana-mana."
"Apa tidak ada cara untuk melihat bukti log telah diubah?" Aku bertanya.
"Ada, tapi itu bisa dipalsukan juga. Hampir semua hal dapat dimanipulasi komputer, jadi sulit menggunakannya untuk mengonfirmasi alibi."
Tomo Kunagisa. Diundang ke pulau ini sebagai pemimpin Tim. Dia tak tertandingi di bidangnya, jadi tidak mungkin dia salah. Dalam hal ini, Akane tidak punya alibi apa-apa.
Akane menghela napas lagi. "Tapi kukira aku harus membuat pembelaan untuk diriku sendiri. Aku sangat menyayangi diriku sendiri. Jadi aku berniat blak-blakan saja: Aku tidak membunuhnya. Tentu saja aku benci artis, tapi menurutku mereka bahkan tidak layak dibunuh. Mereka sudah mati saat masih bernapas. Tidak sepadan. Kau tidak boleh menulis (pen) ini padaku."
Dia mungkin bermaksud mengatakan, "Kamu tidak bisa menyematkan (pin) ini padaku," namun bagaimanapun juga, dia tampaknya tidak menggertak atau berpura-pura tegar, dan juga tidak terkesan sedang berakting.
"Oke, semuanya tolong tunggu sebentar," pinta Iria. "Aku perlu memikirkan ini di kepalaku."
"Um, sebelum itu, tolong tunggu sebentar," kataku pada Iria. Percakapan berkembang semakin pelik. Tunggu dulu sebelum tunggu sebentar? "Um, Iria, sebenarnya kamu sedang mencoba apa?"
"Ulangi lagi?"
"Semua ini… terasa amat ganjil bagiku... Tentu, pulau dan kediaman ini milikmu, jadi aku sadar mungkin lebih baik untuk tidak mengatakan apa-apa, ditambah lagi aku bahkan bukan tamu, tapi aku akan tetap menanyakan ini. Apa sebenarnya yang coba kamu lakukan?"
"Yah, tentu saja aku coba memecahkan ini semua." Dia tersenyum lembut. "Tampak cukup jelas bagiku," sambungnya, "Ibuki dibunuh seseorang. Dan dalam kasus ini, itu berarti dia dibunuh oleh seseorang di ruangan ini. Seperti yang kamu katakan, ini pulau dan rumahku. Salah satu tamu yang kuundang di sini telah dibunuh, dan pembunuhnya berkeliaran di sini. Tentunya kamu tidak berpikir kita bisa membiarkan keadaan ini begitu saja?"
Dia tersenyum dan menatap semua orang.
Memang dia benar. Pulau ini pulau terpencil. Sebuah pulau terpencil, sunyi, seutuhnya terisolasi.
Pulau Bulu Gagak Basah.
Jika ada dua belas orang di pulau itu dan satu orang terbunuh, pembunuhnya pasti salah satu dari sebelas orang lainnya. Bahkan siswa sekolah dasar pun mustahil gagal melakukan aritmatika dasar semacam itu.
"Apa pun itu, kematian lagi," kata Iria sambil menghela napas.
Hah?
Lagi? Apa dia baru saja mengatakan "lagi"?
"Dan satu pemenggalan lainnya… Mungkinkah pulau ini berada di bawah pengaruh kutukan? Beri tahu aku, Himena, bisakah kamu memastikannya?"
"Kamu sendiri yang membawa kutukan," balas Maki tanpa ragu. "Pulau hanyalah sebuah pulau. Jika ada yang dikutuk, itu kamu."
Terhadap pernyataan mengecewakan itu, Iria menjawab sambil tertawa geli. "Mungkin begitu."
Ah, semuanya masuk akal. Terasa kurang masuk akal bagiku melihat sikapnya. Maki dapat bergaul biasa-biasa saja dengan semua orang selain aku, tapi sekarang aku mengerti. Tidak ada orang lain di pulau ini yang peduli perkataan orang di sebelahnya.
"Mmm, namun kasus ini cukup sederhana," cetus Iria. "Mungkin tidak perlu menyewa seorang detektif. Lagi pula, waktu kejadiannya sudah diatur sedemikian rupa untuk kita pecahkan."
"Benarkah?"
"Ya, kupastikan itu. Kamu melihatnya juga, kan? Semua cat itu terlempar saat gempa, dan tubuh Ibuki tergeletak di sisi lain. Menurutmu seberapa lebar sungai cat itu?"
Tidak seorang pun berani menjawab, jadi kuladeni Iria. "Sekilas, mungkin sekitar sepuluh kaki."
"Benar, bukan jarak terlampau kecil untuk dilompati. Kesimpulannya kita dapat memastikan pembunuhan itu pasti terjadi jelang gempa bumi."
Rak itu roboh akibat gempa, mengakibatkan sungai surealis itu. Apa maksudnya itu? Gempa itu pasti lebih hebat dari yang kusadari, tapi bukan itu saja.
Apa sebenarnya makna sungai itu sendiri?
"Tunggu sebentar," Akane menyela. Dia tampak agak khawatir. "Percakapan ini bukan pertanda baik bagiku. Kamu tahu alasannya?"
Sebab…
Semua orang selain Akane punya alibi sebelum gempa bumi.
Aku bersama Kunagisa sepanjang waktu. Sama dengan Hikari, Maki, dan Shinya. Akari dan Teruko pun begitu. Dan tentu saja, Iria, Rei, dan Yayoi. Setiap orang memiliki alibi dan dapat menjamin satu sama lain.
Iria benar. Tidak mungkin seseorang bisa melompati sungai cat yang disebabkan gempa kemarin. Tidak ada cara lain menyeberangi sungai tanpa menginjak cat dan meninggalkan jejak kaki.
Itu berarti…
Pembunuhan berlangsung saat gempa bumi belum lewat. Satu-satunya yang tidak memiliki alibi saat itu cuma Akane. Memang, ini sama sekali bukan pertanda baik baginya.
Dia mendecakkan lidahnya dan berkata, "Iria. Aku akan langsung bertanya. Apa menurutmu aku pelakunya?"
Terus terang sekali.
"Ya," Iria menanggapi sama singkatnya. "Maksudku, siapa lagi yang bisa?"
"…"
Akane mengalihkan matanya dan terdiam. Dia nampak tidak sanggup melawan argumen tersebut meski dikaruniai otak seorang anggota Tujuh Orang Gila. Merasa sedikit bersimpati dengannya entah bagaimana, aku ingin terjun menyelamatkannya, namun bila salah satu dari Tujuh Orang Gila tidak mampu membantah, tidak mungkin seorang yang memutuskan berhenti di tengah jalan bisa.
Kecanggungan menggantung di udara untuk sementara waktu, namun Kunagisa memecahkan atmosfir itu.
"Keliru," klaimnya. "Menurutku logika itu tidak masuk akal, Iria."
"Oh? Kenapa memangnya?" Anehnya, Iria tampak senang mendengarnya. "Ah… begitu. Kamu sedang bicara soal kemungkinan seorang kaki tangan. Kukira kemungkinan itu tidak bisa diabaikan. Tapi itu artinya alibi semua orang menjadi sedikit goyah."
"Tidak bukan itu. Bahkan bila kamu tidak memperhitungkan rekan kejahatan, kamu melewatkan sesuatu. Benar, Iichan?"
"Hah?" Aku berseru, sangat terkejut ditarik ke tengah-tengah percakapn ini. "Terlewat sesuatu?"
"Ayo, Iichan, katakan padanya. Tentang yang terjadi semalam."
"Sesuatu terjadi… tadi malam?"
"...…" Terlihat agak kesal, Kunagisa tertahan. Cukup langka baginya bersikap begitu. "...…"
"Mau bagaimana lagi? Tidak sepertimu, ingatanku buruk."
"Ya ampun, kamu benar-benar tidak ingat? Ingatanmu tidak buruk, tapi tidak ada! Apa normal seseorang melupakan sesuatu sepenting ini? Sehabis gempa. Shinya menelepon Kanami, kan?"
"…Oh." "Oh." "Oh!"
Hikari dan Shinya ikut terkejut.
Baik. Shinya menelepon Kanami setelah gempa dan menegaskan dia baik-baik saja. Mengonfirmasi tidak ada yang terjadi padanya.
Wow, itu penting sekali, persis yang dikatakan Kunagisa. Tapi lalu apa? Bagaimana sekarang?
"Dengan kata lain," dia menjelaskan, "Kanami pasti terbunuh setelah gempa bumi."
"Tunggu sebentar," kata Iria sedikit panik, tangannya diarahkan pada Kunagisa. "Tapi sungai cat itu…"
"Yah, Iria, itu pasti berarti..." Jeda singkat pun sengaja dikeluarkan. "Studio tersebut sebuah TKP terkunci rapat. Ruang tanpa celah."
Semua orang bertukar pandangan sejenak.
Sungai cat itu mustahil dilompati pastinya. Lebarnya sepuluh kaki. Bila kau seorang pelompat jauh kau mungkin mampu meraihnya, namun meskipun demikian, tidak ada ruang untuk memulai ancang-ancang. Kalau dipikir-pikir, pembunuhan itu pasti terjadi sebelum gempa bumi, seperti yang Iria bilang, tapi kemudian Shinya membantahnya. Beberapa saat sesudah gempa berlalu, Kanami belum dibunuh, apalagi dipenggal.
"Sakaki," Iria bertanya padanya, "apa betul itu suara Kanami?"
Dia tampak pucat dan bingung, tapi akhirnya dia mengangguk. "Ya, itu pasti Kanami. Tidak salah lagi. Dia bilang sedang sibuk, dan catnya telah jatuh berserakan jadi semuanya berantakan. Dia pasti masih hidup setelah gempa."
"Aku juga mendengar Sakaki bicara saat menelepon Kanami," kata Hikari pada majikannya. "Sakaki bertanya apa dia bisa menggunakan telepon rumah dan... menurutku Kanami pasti masih hidup waktu itu."
"Ya, tetap saja," Shinya meludah dengan nada mengejek dan mencengkeram kepalanya. Dia terlihat sedih. "Kalau saja aku pergi ke studio dan bukannya mengabaikan tugasku… Sialan! Aku sampah! Aku hanyalah sampah!"
"…"
Tidak banyak yang bisa dikatakan. Hanya saja pada akhirnya, bukan gempa bumi atau guntur atau api yang menakutkan.
Sepertinya ada semacam pelipur lara saat kau menyesal. Rasa sesal mungkin berfungsi sebagai pelarian dari masalah di depan matamu. Kau sejatinya menyematkan semua perbuatan mengecewakanmu pada "mantan dirimu". Jadi, bukan aksi menghukum diri sendiri.
Saat kau menyesali sesuatu, secara teknis kau bersikap baik.
Aku tidak menganggap Shinya itu monster. Orang-orang memang diciptakan seperti itu. Jika ada monster di sini, itu aku, sebab aku cuma bisa menghiraukan kekurangan orang lain.
"Keadaan mulai menjadi aneh," kata Akane, mengelus dagunya. "Menurut kesaksian Shinya, Hikari, dan Kunagisa, pembunuhan itu pasti terjadi sesudah gempa bumi. Tapi selepas gempa, sungai cat sudah terbentuk, artinya tidak ada yang bisa membunuh Kanami. Karenanya─"
"Yap, Akane," sela Kunagisa, bibirnya melengkung. Dia mengambil pose seperti itu ketika menemukan sesuatu yang menarik. "Situasinya janggal sekali."
"Jadi itu maksudmu, 'ruang terkunci'. Begitu, ya..." Iria mengangguk, tampak teryakinkan. "Hmm. Memang, bahkan sampai sekarang, cat itu belum kunjung kering. Kau tidak mungkin berjalan ke seberang, mendekati jendela, tanpa meninggalkan jejak kaki… Akari, di mana letak telepon di ruang kerja Ibuki?"
"Di samping jendela," Akari sigap menjawab.
"Hrm." Iria menyilangkan lengannya dan terkesan mempertimbangkan sesuatu. "Kunagisa, kamu menyinggung soal itu, tapi kurasa kamu belum tahu titik terangnya? Apa kamu tahu siapa pelakunya?"
"Tidak," balas Kunagisa sambil entah bagaimana merasa yakin.
Tentu saja, aku juga tidak tahu.
Tidak seorang pun tahu.
"Jendelanya bagaimana? Mungkinkah seseorang masuk melalui jendela?" Shinya bertanya.
Hikari-lah yang mengklarifikasi. "Studionya berada di lantai dua. Kupikir itu tidak mungkin. Dan aku cukup yakin jendelanya sendiri terkunci dari dalam, jadi─"
"Tidak bisa dibuka dari luar sama sekali?" Aku bertanya.
"Mungkin tidak," tambah Hikari.
Oke. Jadi jendela itu tidak mungkin disusupi, begitu pula pintunya. Tidak mungkin terjadi sebelum gempa bumi atau setelah gempa bumi, yang berarti…
Baik.
Kami benar-benar buntu.
Semua orang bungkam sekali lagi. Dan kemudian, mata mulai beralih kembali pada Akane.
"Hah?" Dia tampak sedikit terkejut. "Hei, kupikir aku dibebaskan dari kecurigaan."
"Kurasa belum," kata Iria. "Membersihkan sungai cat itu lebih mustahil lagi, kan? Jadi, pada akhirnya, kejadian itu pasti sebelum gempa."
"Bagaimana dengan yang Shinya katakan?"
"Dia bisa saja ditipu. Mungkin itu halusinasi pendengaran atau semacamnya."
Halusinasi pendengaran? Omong kosong. Itu tidak masuk akal. Aku harus mengatakan sesuatu. "Kupikir kamu cuma sedang mempercayai yang ingin kamu percayai."
"Kukira tidak," ucap Iria, tidak terpengaruh oleh opiniku. "Bahkan seandainya itu bukan halusinasi pendengaran, itu bisa juga berupa semacam kesalahpahaman lain. Tidak ada yang menyeberangi sungai cat itu, itu sudah pasti. Jadi, logis menganggap pembunuhan itu terjadi saat gempa belum datang, sehingga pelakunya tidak mungkin siapa pun kecuali Akane."
"Tidak bagus," kata Akane, tampak benar-benar khawatir meskipun tersenyum masam. "Aku tahu ini mungkin tidak akan membantu, tapi aku merasa alibi Akari dan Teruko agak samar. Maksudku, anggota keluarga saling menjamin? Pengadilan tidak akan menerimanya."
"Kita tidak sedang membicarakan pengadilan," siram Iria datar.
"Menurutku juga," kata Akane seolah mengharapkan tanggapan seperti itu. "Tetap saja, menentukan penjahat dengan proses eliminasi tidak adil bagiku. Konyol, bahkan. Dan mengabaikan kesaksian Sakaki bukanlah sebuah pemikiran logis. Itu namanya pemikiran selektif."
"Pemikiran selektif?"
Akane menatapku, seolah berkata, "Maukah kamu jelaskan?"
"Sebuah bias konfirmasi," kenangku dengan panik dari pelatihan programku. Putus asa, aku tidak mau membodohi diriku sendiri di hadapan seniorku. "Dengan kata lain, itu berarti kamu hanya mempertimbangkan kesaksian dan bukti yang sesuai dengan pendapatmu dan menghapus semua bukti yang bertentangan, menganggapnya sebatas kebetulan saja. Sebenarnya, untuk eksperimen kemampuan supranatural, itu"─mataku mengarah ke Maki─"itu acapkali disebutkan. 'Cinta gersang,' kalau tidak salah? Mereka terobsesi dengan bukti apa pun yang menunjukkan kemampuan ini ada sementara bukti apa pun yang menunjukkan kemampuan ini tidak ada mereka abaikan. Itu cara mereka mendapatkan hasil yang dikehendaki─"
"Aku tidak terlalu paham."
Aku susah payah mengingat-ingat hal ini, namun Iria justru enggan membiarkan aku menyelesaikannya. Buang-buang napas saja.
Akane menghela napas dalam-dalam.
"Kurasa Ibuki dan aku memiliki hubungan yang tidak bisa dibilang akur..."
Aku ingat pertengkaran mereka yang tidak menyenangkan saat makan malam sebelumnya. Bukan hal baru untuknya. Tentu saja bukan hanya kurangnya alibi yang membuat Iria sangat meragukan Akane, tapi hal tersebut pula.
Tentu saja, bukannya aku tidak mengerti bagaimana perasaan Iria. Jika kamu mempertimbangkan kesaksian Shinya, bahkan Akane tidak bisa menjadi tersangka.
Kejahatan yang tidak mungkin terjadi. Tanpa tersangka. Satu korban, tidak ada tersangka. Situasinya kurang masuk akal. Dan dengan demikian untuk keluar dari kebuntuan…
"Bagaimanapun juga, kesaksian Sakaki tampaknya kurang bisa dipercaya," kata Iria, menatap tepat ke arahnya. "Bahkan andai itu bukan kebohongan, itu bisa jadi semacam persepsi yang keliru atau mimpi atau semacamnya."
"Tapi aku mendengarnya berbicara di telepon," kata Hikari.
Iria menggelengkan kepalanya. "Kamu tak mendengar suara Ibuki, kan? Sakaki satu-satunya yang mendengar suaranya secara langsung, yang artinya─ "
"Ayolah, itu..." Shinya mulai memprotes, namun seolah menyadari dia tidak punya dasar untuk berdebat, dia kembali merenung.
"Hmm. Nah, jika memang begitu, kukira tidak tersisa pilihan selain mencurigaiku. Bagaimanapun, sudut pandang itu memang bisa diambil," kata Akane, hampir seolah-olah dia sedang membicarakan orang lain. Bahkan sekarang, dia sepertinya tidak berbohong atau berakting. Akane Sonoyama, Sistem ER3, Tujuh Orang Gila. Dia seolah terlalu terbiasa menghadapi kekacauan seperti ini. "Tapi tetap saja, kamu tidak punya bukti. Iria, bahkan jika kamu nyonya pulau ini dan rumah besar ini, kamu tidak akan memperlakukanku seperti penjahat tanpa bukti, bukan? Tidak seorang pun sedang diadili di sini, seperti yang kamu katakan, tapi kasus ini juga bukan novel detektif tua berdebu, bukan? Kamu tidak bisa begitu saja menganggapku pelakunya berdasarkan proses eliminasi dan pemikiran selektif yang tidak formal ini. Tidak ada yang bisa melakukan itu."
"Tapi Sonoyama, kamu juga tidak bisa membuktikan kamu bukan penjahatnya."
"Kamu tidak bisa mengatakan pada orang yang tidak bersalah untuk membuktikan mereka tidak bersalah. Membuktikan sesuatu tidak dapat dibuktikan bukan merupakan bukti. Aku tidak bersalah sampai betul-betul terbukti."
"Kamu berbicara soal hukum lagi."
Bahu Akane terkulai. "Nah, apa maksudmu, Iria? Jadikan aku tersangka utama. Baik. Benar sekali. Aku satu-satunya yang tidak memiliki alibi sebelum gempa. Tidak ada yang bisa memasuki studio seusai gempa. Tentu, aku juga ikut denganmu. Karena itu, kesaksian Sakaki menjadi mencurigakan. Masuk akal. Jadi bagaimana sekarang?"
Jadi bagaimana sekarang?
"Harus apa kita?" Iria melihat sekeliling meja, ekspresinya nampak bermasalah. Sepertinya dia tidak berpikir lebih dari itu. Sungguh antiklimaks.
"Serahkan aku pada polisi atau terserah saja sesuai keinginanmu," kata Akane, menyibakkan poni dari wajahnya.
Akane dari Tujuh Orang Gila diringkus polisi?
"Aku benci polisi..." Iria menatap langit-langit dan terlihat makin bingung. "Apa yang harus dilakukan?"
Udara sekali lagi menjadi penuh sesak.
"Hei, Tomo," bisikku pada Kunagisa.
"Ada apa, Iichan?"
"Apa tidak ada cara untuk menghentikan penyelidikan ini?"
"Ada."
"Ada?"
"Ya, tapi"─dia menatapku─"kamu harus mengatakannya, jangan aku."
"…Baiklah." Aku mengangguk, lalu mengangkat tanganku.
"Oke, bicaralah," Iria memanggilku dengan tatapan penasaran. Ah bagus. Akan menyakitkan jika dia mengabaikanku.
"Saran dariku."
"Iya?"
"Bagaimana kalau memakai kamar yang sedang kutempati? Sepertinya ruang itu cuma bisa dikunci dan dibuka dari luar. Bagaimana bila kita menahan Akane di sana sebentar?"
"Menjaga aku tetap di sana?" Akane menatapku ragu. "Maksudmu penjara?"
"Bukan penjara, tepatnya. Bukan pemenjaraan, hanya… karantina singkat. Iria, menurutku hal terbesar yang harus kita takuti sekarang adalah kemungkinan terjadinya serangkaian pembunuhan. Kanami dibunuh. Oke, itu sudah sejelas langit. Aku benci berterus terang soal itu, tapi apa yang sudah terlanjur biarlah berlalu. Tapi yang lebih penting, kita tidak bisa membiarkan orang lain mati. Cara tercepat untuk menghadapi situasi seperti ini, yaitu dengan mengarantina tersangka utama. Jika Akane benar-benar pembunuhnya, tentu saja dia tidak akan bisa melakukan pembunuhan lagi. Sebaliknya, jika orang lain menggunakan semacam tipuan dan berhasil menyelinap masuk dan membunuh Kanami setelah gempa, maka langkah orang itu pasti terhambat. Semisal si pelaku mencoba sesuatu lagi, itu akan membuktikan Akane tidak bersalah."
Aku melihat sekeliling, melihat tanggapan yang lainnya.
"Dengan kata lain, buat kondisi keseimbangan sehingga si pembunuh tidak bisa bergerak. Ini termasuk Akane, serta orang lain. Alibi kita hampa jika kita mempertimbangkan kemungkinan kaki tangan. Mungkin studio itu ruangan yang terkunci, tapi kunci dibuat agar bisa dibuka. Boleh jadi ada beberapa trik. Barangkali tidak ada. Bagaimanapun, bukan masalah. Akane mungkin melakukannya. Mungkin juga orang lain yang melakukannya. Sama seperti aku mungkin pelakunya atau mungkin bukan. Jadi menurutku hal terbaik yang harus dilakukan cuma menciptakan situasi di mana si pembunuh tidak dapat melakukan apa-apa."
"Ah, aku mengerti," kata Yayoi, sedikit membuatku terkejut. "Itu sangat masuk akal. Aku harus bilang aku setuju. Aku rasa tidak ada dasar yang kuat untuk mencurigai Sonoyama. Penalaran Iria tampaknya agak sewenang-wenang."
Iria menatap Yayoi, kebingungan.
Meskipun demikian, Yayoi melanjutkan, "Menurutku itu bukan ide buruk. Tapi kamu tidak berniat untuk mengurungnya selamanya, bukan? Pada lingkungan yang begitu mengerikan?"
Aku tidur di ruangan mengerikan itu, sialan. Dasar kalangan menengah ke atas kurang ajar.
"Ya, minimal sampai polisi datang," jelasku. "Ini mungkin pulau terpencil, tapi tidak perlu lebih dari satu atau dua hari untuk menggelar penyelidik─"
"Aku tidak akan menelepon polisi," potong Iria. Nadanya angkuh.
Hah? Maafkan aku, Mademoiselle, apa kamu baru saja mengucapkan sesuatu yang kurang waras?
"Maksudku, apa gunanya? Bahkan jika kita memanggil polisi, mereka hanya akan mengira Sonoyama penjahatnya dan semua berakhir di situ. Polisi tidak akan membantu sedikit pun."
"…?"
Bukan kata-kata Iria yang menurutku mencurigakan, tapi ekspresi wajahnya. Polisi tidak mau membantu sedikit pun? Kenapa dia mengatakan itu dengan wajah tegas?
"Tapi kita tidak bisa begitu saja. Mana mungkin tidak memanggil polisi. Jika tidak, percuma saja kita membangun keseimbangan."
"Belum tentu. Kita hanya harus menyatukan semuanya saat dia terkurung di sana. Kita akan melacak pelakunya dengan bukti dan alasan. Bukankah itu lebih baik?"
"Maukah kamu turun tangan menyelidikinya, Iria?" Sesuatu tentang caranya menalar logis tidak cocok denganku sama sekali. Tapi yang mengejutkanku, Iria menggelengkan kepalanya.
"Tidak, bukan aku, tentu saja. Apa kamu tidak ingat? Aku sudah memberitahumu kemarin, bukan? Dalam seminggu─tidak, enam hari dari sekarang─seorang manusia luar biasa nan mengagumkan akan datang ke pulau ini."
Detektif pepatah khas novel misteri. Favorit Iria.
Pahlawan Iria.
"Tentunya Aikawa akan menyelesaikan situasi ini jadi setitik pun keraguan tidak bakal tersisa."
Tidak setitik pun. Ekspresi luar biasa. Dan dia juga tidak terlihat melebih-lebihkan.
"Enam hari lagi, ya?" Akane, tadinya terdiam, berkata sinis, membiarkan tangannya jatuh di sampingnya. "Yah, terserah. Baik baik baik. Cukup adil. Aku tidak merasa patut dicurigai, tapi jika ini yang diperlukan untuk meyakinkanmu, mau bagaimana lagi? Iria, kurasa kita bisa mempercayai Aikawa ini?"
"Iya. Tentu saja." Iria mengangguk percaya diri. Kau bisa merasakan keyakinan Iria akan pahlawannya ini cuma dari tatapannya.
Akane menghela napas satu kali lagi. "Sepakat. Ayo lakukan ini."