0
Kau selalu bisa naik lebih tinggi, tapi di puncak, kau hanya bisa turun.
1
Pemandangan itu mengerikan.
Jika aku membandingkannya dengan sesuatu, mari kita lihat, ya, oke. Lukisan Gruber Norbert The River. Sungai menyeramkan bak marmer mengalir pada lantai kayu, hampir menutupi setengah dari studio Kanami.
Kemungkinan akibat gempa semalam, kaleng-kaleng cat berserakan di tengah ruangan, dan rak besi sederhana tak luput ikut roboh. Gempa bumi menyebabkan rak berguling, menumpahkan kaleng ke mana-mana, cairan cat terbuang ke lantai, dan akibatnya The River pun terbentuk. Teori meyakinkan, dan tidak diragukan lagi hal itu mungkin memang terjadi.
Namun meski gambaran itu cukup aneh, masalah sebenarnya terletak di seberang tepi sungai. Berada di luar imajinasi atau spekulasi, kelihatannya yang satu ini tidak mungkin diakibatkan gempa bumi. Gempa yang mampu sebabkan itu tidak ada.
Tubuh seseorang terbaring telungkup di lantai, kekosongan terlihat dari leher ke atas.
Jasad tanpa kepala.
Sebuah mayat terpenggal.
Tidak masalah apa pun deskripsinya; itu apa adanya.
"…"
Tubuh tak berkepala itu dibalut gaun yang sama dengan yang Kanami kenakan kemarin. Gaun indah kebanggaan Kanami seharusnya tidak akan pernah kotor saat dia melukis. Gaun itu kini dinodai merah tua darah. Terlihat tidak layak pakai lagi.
Terlebih lagi, tidak ada lagi orang yang memakainya.
Atau mari lebih spesifik.
Pemakainya sudah tidak hidup lagi.
"Ini… aneh," kataku refleks. Sudah pasti kata-kata itu keluar begitu saja.
Ruangan itu beraroma pengencer cat.
Di samping tubuh Kanami yang jatuh ada kursi roda menghadap acak dan sebuah kanvas. Tidak yakin sebab jaraknya cukup jauh, lukisan itu tampak seperti potretku.
Sebuah mahakarya elok. Bahkan dari jarak sejauh itu, dipisahkan oleh sungai, aku tahu saja. Aku merasakan syok pada tubuhku, bukan pikiranku. Dalam beberapa hal, memandangi lukisan itu terasa lebih mengganggu daripada melihat mayat terpenggal.
Aku teringat apa yang Kanami katakan pada hari sebelumnya.
Bukan seni jika kau memilih siapa penikmatnya.
Dimengerti... Ini dia.
Tanpa ragu, Kanami Ibuki seorang jenius.
Sampai-sampai membuatku gemetar.
Dan ini membuat kematiannya semakin mengena. Sudah lama sekali aku tidak merasa hancur akibat apa pun, tapi aku benar-benar hancur karenanya.
Akibat kematian Kanami.
Akibat kematian Kanami Ibuki.
"Mengapa?"
Ya, Kanami Ibuki sudah mati.
Maksudku, siapa yang bisa tetap hidup setelah kepalanya dipenggal? Bahkan Rasputin tidak bisa selamat dari pemenggalan kepala. Dan Kanami manusia normal secara fisik.
"Yah, seharusnya tidak kita tinggalkan begitu saja," kataku, memecah kesunyian semua orang.
Aku memandang Kunagisa. Dengan menjulurkan bibir bawahnya, dia memandangi ragu-ragu tubuh Kanami. Apa dia skeptis soal sesuatu? Tapi sekarang mungkin bukan waktunya memikirkan hal-hal seperti itu. Jika aku harus mencari tahu alasan di balik setiap tindakan Kunagisa, aku akan menghabiskan seluruh hidupku tidak melakukan apa-apa.
Saat mencoba melangkah, dia menarik lenganku.
"Iichan, tunggu sebentar."
"Hah? Kenapa?"
"Catnya belum kering."
"Hmm? Oh ya." Meringkuk dan memeriksa dengan ujung jariku, ternyata dia benar. Jari tengahku berubah warna. "Tapi sekarang bukan waktunya mengkhawatirkan hal-hal seperti itu," bantahku. Ada mayat terpancung tepat di depan kami. Urusan sepele namanya bila kau khawatir mengotori sepatumu pada saat begini.
"Hei, kubilang tunggu." Sebelum aku tahu apa maksudnya, Kunagisa melepas mantel hitamnya dan melemparkannya ke tengah sungai cat. Sekarang mantel itu tampak seperti batu loncatan di atas aliran sungai.
"Bukankah itu mantel berhargamu?"
"Keadaannya memaksa."
Tadinya ingin kukatakan Kunagisa mudah sekali membuang ingatannya seolah itu bukan apa-apa, tapi komentarnya bukan omong kosong, ada masalah yang lebih besar saat ini. Selain itu, apa yang terjadi telah terjadi. Diiringi sedikit berjalan, aku melompati mantel ke sisi lain sungai.
"…"
Aku mengerang.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku melihat tubuh tanpa kepala dari dekat. Aku melepas sweterku dan kemudian membungkus tubuh bagian atas Kanami.
Aku melihat kembali ke pintu, di mana semua orang berdiri, dan perlahan menggelengkan kepalaku.
Aku tidak perlu membuka mulut.
"Semuanya," akhirnya Iria angkat bicara, "bisakah aku minta kita semua berkumpul di ruang makan? Kupikir kita perlu mendiskusikan apa yang akan kita lakukan mulai sekarang."
Iria pun berjalan kembali ke aula. Keempat pelayan, Rei, Akari, Hikari, dan Teruko, sigap mengikuti dari belakang. Akhirnya, tamu-tamu lain satu per satu mulai keluar dari studio.
Yang terakhir tetap berada di ruangan itu Kunagisa, aku─dan Shinya.
Dia menatap tubuh Kanami, wajahnya pucat dan hampa.
"Shinya..." Menginjak kembali mantel, aku kembali menuju sisi pintu masuk. "Ayo pergi, tidak ada…"
Tidak ada gunanya berdiam di sana, tapi aku tidak berani bilang begitu.
"Oh ya. Baik."
Pikirannya melenceng entah ke mana. Terlepas tanggapannya, dia tidak berusaha untuk bergerak. Dia berdiri kaku seutuhnya, pikirannya tidak dapat memahami, menolak memahami pemandangan di depan mata.
Aku mengerti bagaimana perasaannya.
Jika hal serupa terjadi pada Kunagisa, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Tidak, itu tidak benar. Aku mungkin akan hancur dan lekas berteriak. Aku tahu itu sulit dibayangkan untuk pria sepertiku, yang menurut Maki, "tidak suka menunjukkan emosiku," tapi mungkin itulah yang akan terjadi.
Dibandingkan aku, Shinya benar-benar mengagumkan.
Dia tidak terlihat baik-baik saja, tapi setidaknya dia tidak menangis tersedu-sedu. Dan dia bahkan bisa berbicara. Kemampuan mentalnya tetap utuh, meski nyaris tidak ada.
Inilah yang memisahkan dia dariku.
Aku masih labil.
Shinya sudah dewasa.
Aku tidak tahu ada hubungan apa antara Shinya dan Kanami, mungkin dia hanya pengasuhnya, atau lebih, atau kurang dari itu.
Namun.
Mengingat tatapan sedih di matanya kemarin malam…
Dan melihatnya sekarang, entah bagaimana aku mengerti.
"Iichan, ayo pergi." Kunagisa menarik lenganku, kali ini mendesakku bergerak.
"Ya."
Dan demikian kehidupan tenang kami di pulau itu akhirnya pupus.
Tiba saatnya untuk babak baru.