"Maaf lama menunggu!"
Seolah bertepatan waktu, Hikari muncul sambil membawa dorongan. Di atasnya tersaji sarapanku. Dengan tangan cekatan, dia meletakkan makanan di depanku, diikuti pisau dan garpu di kedua sisinya. "Silakan menikmati," katanya sambil menundukkan kepala dan senyum berseri, lalu pergi ke tempat lain sekali lagi. Kelihatannya dia masih harus mengurus pekerjaan lain.
Sembilan buah bola risotto goreng di atas selada. Sup ikan, salad, dan sandwich dibuat dari roti Italia. Ditambah kopi.
"Sashirono itu keren sekali, ya?" Akane bergumam, mengamati makananku.
Yayoi Sashirono.
Dia mengelola dapur mansion, tapi bukan seorang karyawan. Memang, dia diundang ke pulau itu sebagai salah satu jenius. Telah berada di sini selama lebih dari setahun, pada momen ini dia itu tamu terlama. Sudah pasti banyak pengunjung elit datang ke pulau itu sembari berharap mencoba masakannya.
Secara resmi, dia ahli masakan Barat, tapi dia pun sama terampilnya memasak jenis lain, baik itu masakan Cina, Jepang, atau apa saja. Dia seorang jagoan memasak, dikenal baik oleh siapa pun di dunia kuliner─atau begitulah cerita tentangnya. Secara pribadi, aku bahkan lebih tidak peduli soal memasak daripada soal seni dan akademis, jadi sayangnya aku bahkan belum pernah mendengar tentang Yayoi sampai mengunjungi pulau itu, namun kebagian mencoba hidangannya tiga kali sehari ditambah makanan ringan di sela-sela waktu makan, aku akhirnya mengakui kehebatan kulinernya yang luar biasa.
Citra khas seseorang bernama depan seperti "Yayoi" itu biasanya seorang gadis sok tahu atau bertubuh pendek namun gagah, tapi Yayoi ini tak cocok deskripsi mana pun, malah terkesan angin segar, seorang wanita bermartabat berambut pendek. Bersikap santun, dia bukan tipe congkak, meski dipanggil jenius. Dia mungkin orang paling rendah hati di seluruh pulau selain aku. Demikian juga, dia orang kedua paling ramah. Kebetulan, Hikari menduduki posisi pertama. Lagi-lagi aku berceletuk tak keruan.
Kabarnya Yayoi memiliki kekuatan yang membuatnya bisa membuat makanan lebih baik dibanding juru masak lain, tapi apa itu? Aku ingin tahu, namun belum berkesempatan untuk bertanya langsung. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur (bukankah itu namanya tipe penyendiri?) jadi jarang aku mendapat kesempatan untuk berbicara padanya.
Kuperhatikan Akane mengincar bola risotto-ku, seolah lapar. Setelah beberapa saat aku diam saja, dia mengalihkan pandangannya padaku. Sesuatu tentang matanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Seperti karnivora berburu mangsa.
"Pernah dengar orang-orang awalnya tidak mengenali angka lebih dari tujuh?"
"… Sebenarnya, pernah."
Rupanya, semua angka setelah tujuh hanya dianggap sebagai "banyak". Aku juga mendengar pada pelatihan di programku ini alasan mendasar mengapa Orang Gila dibatasi hanya tujuh orang.
"Ya, melihat hal-hal secara objektif, jika sembilan bola risotto-mu berkurang menjadi delapan, kupikir itu bukan kerugian besar."
"Dan?"
"Kamu bebal, ya? Bagaimana mungkin kamu bisa akrab dengan Kunagisa?"
"Tak seperti itu di antara kami."
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu meminta salah satu dari Tujuh Orang Gila menundukkan kepalanya, bukan? Baik. Bola risotto Sashirono itu enak, jadi beri aku satu. Senang?"
"…"
Aku menyerahkan piringku padanya tanpa mengatakan apa-apa.
Akane dengan gembira mulai melahap bola risotto, satu demi satu. Belum lama berselang, semua telah lenyap. Rupanya yang dimaksud "satu" itu "satu piring".
Yah, lagi pula aku tidak pernah makan kenyang di pagi hari. Aku seharusnya makan untuk Kunagisa juga, tapi itu salah Kunagisa sendiri karena menyerahkannya padaku.
Aku kemudian beralih dari sandwich menuju salad. Berusaha lebih spesifik, rasanya sangat enak. Bila ini satu-satunya jenis makanan yang disajikan di pulau itu (dan semuanya gratis), tak seorang pun akan menolak, jenius atau bukan. Anehnya, ternyata Akane pun sependapat denganku.
"Nah, kembali ke topik yang kamu hindari dengan licik," katanya bersikap tak adil, menyeka mulut memakai serbet, "bila 'tak seperti itu' di antara kalian berdua, apa hubungan kalian? Jika hanya berteman, kamu tidak akan datang ke pulau ini bersama-sama. Kamu masih harus berkuliah."
Memang, datang ke pulau itu berarti aku telah melewatkan kelas setiap hari sejak upacara masuk perguruan tinggi. Kebetulan, aku juga ketinggalan upacara itu. Dengan kata lain, ya.
"Aku bertemu dengannya sebelum mengikuti program ER3. Jadi kira-kira lima tahun lalu."
"Mmm, dan ketika kamu kembali dia ternyata seorang cyberterrorist, hah? Kisah kecil kurang mengenakkan."
Memang.
Aku sudah menduga ini terjadi bahkan ketika kami berusia tiga belas tahun. Bertemu kembali dengannya setelah lima tahun belajar di luar negeri, aku benar-benar kaget melihat betapa tak berubahnya dia dibanding dulu. Siapa pun akan terkejut jika seorang gadis masih terlihat sama dengan masa remajanya. Tentu saja, begitulah kelihatannya. Pada kenyataannya, dia telah menjadi, jika bukan dewasa, lebih manusiawi dalam hal kepribadian.
Hubungan kami.
Ditanya langsung, pertanyaan itu sulit untuk dijawab. Kunagisa membutuhkanku─sampai situ aku tahu. Namun, tidak harus aku. Rumit menjelaskan keadaan tersebut. Untuk memaparkannya, aku harus menjelaskan banyak hal soal Kunagisa sendiri, dan aku tak mau melakukan itu.
"Hmm," Akane mengangguk. "Aku belum banyak bicara dengan Kunagisa, tapi menurutku dia memiliki terlalu banyak kekurangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari… Uh, kurasa aku tidak boleh mengatakan kekurangan. Bukannya dia cacat. Tapi fokusnya kurang lurus. Hal itu mengingatkan aku pada temanku, anaknya seorang savant idiot."
Savant─dalam bahasa Prancis, artinya orang yang memiliki kebijaksanaan. Aku sadar Kunagisa juga dulu digambarkan secara tepat dalam istilah-istilah itu. Aku menyadari itu betul.
"Jadi dia mungkin benar-benar butuh pengasuh, teman sepertimu. Tak perlu diragukan lagi. Sementara, bagaimana perasaanmu?"
Aku tak punya jawaban.
"Kiranya hubungan kalian hampir saling ketergantungan," lanjut Akane.
"Ketergantungan?"
Dia memiringkan kepalanya. "Belum pernah dengar? Sejenis kecanduan yang memengaruhi hubungan antarindividu. Misalnya, seorang pecandu alkohol sedang memulihkan diri bersama pengasuh di sisinya. Dia butuh pengasuh itu, dan pengasuh itu setia menjaganya. Sedangkan bila pengabdian itu menjadi ekstrem, muncul tanda-tanda ketergantungan. Mereka mabuk, ingin saling melayani. Kasus ringan bahkan dapat dijumpai pada pasangan romantis. Bukan hal baik. Kalian akhirnya akan saling merusak. Aku tidak bilang kalian berdua begitu, tapi kalian mungkin ingin berhati-hati."
"Tentu."
"Beberapa hal seperti mempertahankan hubungan gagal lebih baik ditinggalkan saja. Kembali lagi soal Kunagisa, tetap saja aku sangat mengagumi bakatnya. Bahkan di ER3 kami menggunakan perangkat lunak buatan dia. Eh, buatan 'mereka', lebih tepatnya. Namun yang pasti aku tidak pernah membayangkan akan bertemu dia di tempat seperti ini."
"Kenapa kamu ada di pulau ini?"
Tujuh Orang Gila tak mungkin bebas meluangkan waktu begitu saja.
"Tak ada alasan penting," katanya setelah beberapa saat terdiam. Tanggapan itu anehnya hambar, dan aku masih penasaran. "Lebih penting lagi, meski kamu bukan paling jago, setidaknya kamu tahu aturan shogi dan catur, kan? Mari kita main sambil mengenang lebih banyak tentang ER3?"
"Ah…" Tantangan shogi melawan salah satu dari Tujuh Orang Gila. Kedengarannya menarik. "Tapi jangan buta. Ingatanku terkenal buruk." Bukan reputasi terbaikku, kalau boleh jujur. "Jika kita berpindah lokasi, aku ikut."
"Aku punya papan di kamarku. Itu barang pertama yang kubeli ketika kembali ke Jepang. Hmm, sebenarnya aku mesti mengerjakan sesuatu pagi ini. Bagaimana bila digeser ke sore ini?"
"Kedengarannya bagus… Tunggu, aku tidak bisa. Aku sudah punya janji."
"Oh? Bertemu Kunagisa atau semacamnya? Nah, jika itu masalahnya, mau bagaimana lagi. "
"Tidak, dengan Kanami."
Duarrr.
Ekspresi Akane berubah tidak ramah.
Sial, aku lupa. Saat pertama kali tiba di pulau itu, Hikari telah berbaik hati memberitahuku Akane dan Kanami saling tak suka satu sama lain, tapi gara-gara ingatanku terkenal buruk, aku lupa.
"Hmph. Kita itu teman, jadi akan kuberi sedikit nasihat. Jangan bergaul dengan seseorang berprofesi sevulgar itu. Rasanya bodoh merendahkan dirimu sendiri seperti itu, tahu? "
"Akane, kamu benar-benar membenci Kanami, bukan?"
"Tidak. Tak ada alasan bagiku untuk menerima perasaan suka atau tak suka terhadap wanita itu. Tapi seniman benar-benar ras tercela. Hmph, yang benar saja!" Dia membantingkan tangannya ke atas meja. "Aku paling benci seorang pelukis. Mereka itu ras paling rendah. Dibanding mereka, pencuri picik dan pemerkosa berantai terlihat bagaikan Yesus. Yang mereka lakukan hanyalah mengoleskan sedikit cat pada sebuah permukaan, kuas menyapu sedikit-sedikit dan mereka pikir mereka begitu hebat. Sebercak merah, segaris biru, dan kegiatan itu dihitung sehari kerja? Hah! Siapapun bisa melakukannya!"
Seolah-olah dia telah berubah menjadi orang lain. Mendadak bertransformasi, hampir membuatmu bertanya-tanya apakah seorang pelukis pernah mencuri bahan penelitiannya.
"Ah, maaf," katanya, kembali ke dirinya yang normal setelah menyadari ekspresi kagetku. "Kurasa aku terbawa suasana. Bukannya akan kutarik kembali semua itu, tapi aku tahu tak menyenangkan mendengar keluhan seseorang soal orang lain. Aku mau pergi menenangkan diri dulu."
Kata-katanya mengebut, dia menyapu bersih sisa kopiku dan kemudian berjalan menuju pintu seolah dia tergesa-gesa kabur. Sepertinya dia menyesali kehilangan kendali begitu. Bahkan kalaupun dia tidak menariknya kembali...
"Fiuh," aku mendesah begitu sendirian.
Sobat, aku gugup. Aku sendiri tidak terbiasa terlibat pada percakapan dengan orang-orang, apalagi kalau lawan bicaraku Akane Sonoyama dari Tujuh Orang Gila ER3. Perkara sepele, bukan?
Nah, selain blunder di bagian akhir, kami sebetulnya mampu mengobrol jauh lebih alami dari bayanganku, jadi kurasa aku seharusnya bahagia. Dan mungkin, suatu saat dalam empat hari ke depan, aku akan bermain shogi dengannya. Aku akan minta dia bermain tanpa benteng, uskup, dan jenderal.
Aku menghela napas lagi, tapi tak ada waktu berleha-leha. Setelah selesai sarapan, kuputuskan berkunjung lagi ke kamar Kunagisa, namun belum sedetik kemudian, Maki muncul ke hadapanku sambil menguap. Berpakaian lengkap untuk kegiatan luar ruangan, lengkap dengan kuncir kuda, dia seolah datang ke pulau ini berniat untuk berlibur.
"Poppapa pop pop ♪ Poppa poppah─" dia bersenandung riang saat berjalan mendekat dan duduk di sampingku. "Selamat pagi."
"…Halo."
"Tut tut… Kamu harus menyapa seseorang 'selamat pagi' di pagi hari. Ah, tunggu, kurasa aku telat bangun? Kamu sudah bangun sejak pukul enam, wow… Sedangkan aku, biasanya tekanan darahku sangat rendah, sehingga aku tak sanggup jadi sepertimu," ucapnya sambil menguap hebat lagi.
Aku mengangguk seperti biasa dan diikuti "yap". Tak ada gunanya bertanya bagaimana dia tahu kapan aku bangun.
Aku sekali lagi gugup, kali ini dalam nuansa berbeda dibanding sebelumnya, saat aku bersama Akane.
Maki Himena.
Tentu saja dia tidak hanya ke sini untuk berselancar. Ada alasan kuat mengapa dia berada di pulau ini.
Maki seorang peramal. Sama seperti Kanami seorang jenius melukis dan Akane seorang jenius akademis, Maki juga dikenal sebagai seorang jenius dalam dunia meramal.
Nah, bakat yang nyata, bukan?
Di samping itu, aku merasa canggung di hadapan Maki.
Kami memiliki kesan pertama yang buruk satu sama lain.
"Kamu seorang peramal? Aku belum pernah bertemu salah satu dari mereka sebelumnya. Jadi bagaimana peruntunganku?"
Aku tak benar-benar peduli soal keberuntunganku. Aku baru saja membayangkan hal itu pantas dikatakan secara sosial mengingat dia itu seorang tukang ramal. Siapa pun akan senang jika percakapan beralih pada bidang keahliannya. Seperti Churchill bilang, "Aku ingin berbicara soal apa yang kuketahui, tapi orang-orang hanya bertanya padaku apa yang tidak kuketahui." Aku tidak ingin menjadi salah satu dari orang-orang itu.
Itu cuma alasan.
Menanggapiku, Maki menyeringai dan berkata, "Baiklah, beri aku tahun, bulan, dan tanggal lahirmu; golongan darahmu; dan nama aktor film favoritmu." Kujawab, bertanya-tanya apa hubungannya aktor favorit dan keberuntunganku. Faktanya, aku telah melupakan golongan darahku sendiri, dan aku tak begitu mengenal banyak aktor film, sehingga dalam hal ini, dua jawabanku omong kosong.
Setelah mendengarku, mata tertutup, Maki berkata, "Oke, aku mengerti. Lalu, ambil ini." Dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menyerahkannya padaku. Lalu, dia pun pergi.
Asumsi ini ramalan kertas, aku membuka dan melihatnya. Tanggal lahirku, bersama golongan darah dan aktor yang baru saja kusebutkan, tertera di atasnya, huruf terketik.
"Ini pasti semacam tipuan…"
Kemudian, kutanyakan hal itu pada Kunagisa, dia berkomentar, "Kupikir itu trik usang di mana kamu menyembunyikan secarik kertas bernomor acak di sekujur tubuhmu."
"Mmm." Kunagisa pun geleng kepala. "Tidak mungkin. Itu mungkin berhasil untuk permain kartu, tapi untuk sesuatu seperti ini, jumlahnya terlalu banyak. Ditambah lagi, dia tak bisa memeriksamu sebelumnya. Dia tak bisa menebakmu berbohong soal golongan darah dan aktor favoritmu."
Kunagisa memberiku kuliah Maki Himena. Tampaknya meskipun orang kurang berpendidikan sepertiku belum pernah mendengar soal dia, Maki sebenarnya cukup dikenal di dunia peramal. Dia tidak menampilkan pertunjukan "membaca dingin/kaku", horoskop yang menenangkan seperti ditemukan di majalah-majalah, namun menggunakan keahliannya untuk menawarkan usulan terutama pada politisi besar dan klien perusahaan, bak seorang guru spiritual, acuh tak acuh berada di luar pusat perhatian.
Maki Himena, peramal jenius.
"Juga dikenal sebagai medium," kata Kunagisa penuh makna.
Slogannya: kekuatan mengetahui masa lalu, masa depan, manusia, dunia, dan semua di dalamnya.
"Sebuah kekuatan?" Aku tanya.
"Dia memiliki kekuatan super. Extrasensory perception," kata Kunagisa acuh tak acuh, menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris.
"Hah?"
"ESP. Kekuatan super dibagi menjadi dua kategori, ESP dan PK. Yang dimiliki Maki adalah ESP. Retrokognisi, prekognisi, dan telepati, kira-kira begitu. Retrokognisi berarti dia melihat masa lalu. Prekognisi berarti dia tahu masa depan. Telepati artinya dia bisa membaca jiwamu."
"Tunggu sebentar, aku tidak paham. Turunkan rpm-mu… Tomo, dia seorang peramal, bukan?"
"Secara profesi, ya. Menggunakan kemampuan khusus. Itu saja. Bisa berlari cepat bukanlah pekerjaan, bukan? Tapi seorang atlet itu pekerjaan. Mahir memakai tanganmu bukanlah pekerjaan, bukan? Tapi menjadi teknisi itu pekerjaan. Kemampuan khusus itu kemampuan, meramal itu tindakan, tapi peramal itu pekerjaan."
"Ah…" aku mengangguk. "Jadi Maki…"
"Ya. Dia membaca pikiranmu sebelumnya, termasuk fakta kamu akan bertanya padanya," kata Kunagisa tersenyum cerah.
"─Kekuatan," gumamku pelan agar tak didengar oleh Maki, yang sekarang duduk di sampingku di ruang makan. Aku teringat percakapanku dengan Kunagisa, memang agak meyakinkan, tapi...
Melihat wanita bermata mengantuk dan lalai ini, sangat sulit untuk memikirkannya seperti itu. Dia hanyalah seorang wanita aneh bertensi rendah yang merasa mengangut.
"Kiranya kamu bermasalah denganku, seorang peramal," katanya, tiba-tiba mengalihkan pandangan ke arahku. Entah kenapa, dia seakan berhasrat ingin menggangguku sejak kami pertama bertemu. "Mungkin kamu ingin melihatku bertudung hitam dan menjinjing bola kristal. Haruskah aku mengoceh istilah samar soal malapetaka yang akan menerjang? Kamu hanya menerima semuanya begitu saja, bukan?"
"Menurutku, bukan itu masalahnya."
"Ya, aku berani bertaruh. Aku tahu semua tentang itu," balasnya sambil menggelengkan kepalanya. "Yah, terserah. Lagi pula kamu tak penting."
"Tidak penting?"
"Ya. Kamu perwakilan Jepang untuk hal-hal tidak penting."
Dengan kata lain, pria paling tidak penting di Jepang. Hal mengerikan untuk didengar.
"Tapi akan kuberi satu anjuran sebagai bentuk kebaikan hatiku. Kesanmu tentangku cukup menyimpang. Dan itu belum semua. Anggapanmu soal penduduk pulau ini semuanya juga menyimpang. Termasuk Kunagisa. Lebih penting lagi, sepertinya kamu sengaja menyesuaikan semua keyakinanmu saat berbicara pada orang lain. Cara hidup yang tak menyusahkan, tapi aku tak akan menyebutnya bijaksana. Nanti, lama-lama kamu akan tersakiti," dia mengoceh padaku sebelum menguap lagi layaknya kucing.
Selama dua hari terakhir, aku memperoleh keluhan sama setiap kali kami bertemu. Dan aku juga tidak bisa bilang dia terlalu jauh dari sasaran. Ucapannya akurat sekali, aku penasaran apakah dia benar-benar menggunakan telepati.
Jujur saja: menurutku dia sangat menyeramkan.
"Oh, maaf telah menakut-nakutimu…"
Sambil bergumam, dia berjalan ke arah dapur, mungkin untuk mengambil sarapan.