2
Bohong jika kukatakan aku tahu banyak soal Yayasan Akagami. Mereka bukanlah organisasi yang paling banyak terekspos dunia luar. Ditambah lagi, berhubung kebanyakan beroperasi di luar wilayah Kanto, seseorang sepertiku yang lahir di Kobe, dibesarkan di Houston, dan tinggal di Kyoto tidak akan tahu banyak tentang mereka.
Sederhananya, Akagami adalah zaibatsu bertingkat, klan raja bisnis. Mungkin mereka terlibat dalam perdagangan, mungkin mereka berada dalam sistem di mana uang mengalir begitu saja. Aku tak yakin mereka sebenarnya mengerjakan apa, namun apa pun itu, satu hal pasti: Yayasan Akagami itu 'gemuk'.
Menguasai real estat tidak hanya di Jepang tapi juga di seluruh dunia, Yayasan Akagami juga memiliki Pulau Bulu Gagak Basah. Dan pemilik rumah bergaya barat di tengah pulau itu tidak lain adalah Iria Akagami.
Cucu dari ketua Yayasan Akagami saat ini, seperti namanya. Seorang putri yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga itu, keluarga yang dapat dipuji tanpa kesan berlebihan. Seorang calon pewaris kekayaan melimpah ruah dan kekuasaan luar biasa untuk memerintah banyak bawahan.
Namun, kepala yayasan itu sendiri tak mengakui dia. Jadi semua itu paling tepat diekspresikan dalam bentuk lampau.
Diasingkan.
Aku tidak tahu telah melakukan apa dia sampai pantas mendapat perlakuan itu, namun apa pun itu pasti bukan kasus sepele. Dia resmi dikeluarkan secara permanen dari keluarga utama lima tahun lalu, pada usia enam belas tahun. Pada waktu itu, kepala keluarga Akagami menyisihkan pesangon kecil (yang mungkin berjumlah lebih dari bayangan rakyat jelata sepertiku) dan pulau kecil ini, berlokasi mengambang di sekitar Laut Jepang.
Singkat cerita, dia itu terdampar.
Dewasa ini, pemandangan itu kelihatannya mungkin sudah kuno. Namun tak pantas pula bagiku untuk mencampuri cara orang lain melakukan sesuatu. Apalagi buat orang-orang yayasan itu. Bagiku, mereka itu penghuni dunia lain.
Apa pun itu, Iria telah menghabiskan lima tahun terakhir di sini ditemani empat pembantunya, tak sekali pun menginjakkan kaki selain di pulau itu. Lima tahun di pulau terkutuk antah berantah ini, tanpa hiburan, tanpa apa-apa. Dalam artian tertentu, dapat dibilang hidup di sana bagaikan di neraka, meskipun aku berspekulasi tinggal di sana juga bagaikan hidup di surga. Namun, Iria sendiri sebaliknya tak merasa kesepian atau bosan.
Memang, bisa dibilang untuk mencegah kebosanannya Kunagisa pun diundang ke pulau itu. Tentu saja, bukan hanya Kunagisa. Tidak berlebihan untuk mengatakan Akane, Maki, Yayoi, dan Kanami semuanya dibawa ke sini agar Iria tak merasa jemu.
"Yah, oke, itu sedikit dilebih-lebihkan..."
Bagaimanapun.
Dilarang meninggalkan pulau, Iria berkata, "Baiklah, kalau begitu," dan dia pun lantas mengundang, sebagai tamunya, tokoh-tokoh paling terkemuka di dunia. Sekarang, jika "tokoh tersohor" terdengar sedikit aneh, izinkan aku mencoba menjelaskannya melalui cara lain. Iria telah memutuskan untuk mengundang "jenius" ke rumahnya. Formulanya sangat sederhana: jika dia tidak bisa mendatangi mereka, maka sebaliknya mereka diajak untuk mendatangi dia.
Terkenal atau kurang dikenal, mereka yang berbakat dan berketerampilan asli dipanggil oleh Iria, satu demi satu. Tentu, semua biaya, termasuk akomodasi, ditanggung. Faktanya, pengunjung pulau itu sering diberi uang, jadi kita sedang membicarakan kemurahan hati tingkat luar biasa.
Bagiku, sepertinya Iria sedang merekayasa citra salon Yunani kuno, tempatmu mengumpulkan semua seniman dan jenius ini dan bercengkerama bersama mereka─dan dengan demikian menjalani kehidupan penuh manfaat. Yang pasti, itu bukan ide paling umum, tapi ya, ada sesuatu yang luar biasa soal itu.
Pulau terpencil itu tidak memiliki apa-apa selain rumah besar, perbukitan, dan hutan─namun mungkin itu sempurna untuk pria dan wanita berbakat, yang letih akan kesenangan duniawi sehingga perlu mengistirahatkan tubuh dan pikiran, dan rencana Iria telah sukses luar biasa.
Sekarang.
Aku sedang berjalan-jalan tanpa arah di pulau kosong ini, berjemur sambil mengarungi aroma hutan, sebelum bertemu Shinya di dekat pohon sakura cukup jauh dari mansion.
"Ah… atau mungkin, hai," dia menyapaku, mengangkat salah satu tangan. "Kamu seperti ayam berkokok, eh… siapa namamu lagi? Maaf, ingatanku sedikit lemah."
Dia berpostur empat inci lebih tinggi dibandingkan aku, dan pakaian desainernya jauh lebih baik dariku. Ekspresinya santun, cara berbicara juga santun. Mengesampingkan pakaian dan tinggi badan, apakah Shinya benar-benar berwatak lembut atau tidak, aku tak bisa mengatakannya. Aku tidak memiliki keterampilan menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan mereka, dan aku tidak begitu tak kompeten untuk mengambil kesimpulan setelah mengenal seseorang sesingkat beberapa hari.
"Aku mungin belum pernah memberitahumu," jawabku sambil mengangkat bahu. "Aku cuma sahabat karib Tomo Kunagisa. Tidak perlu memiliki nama, benar kan?"
"Kamu rendah hati. Bukan hal mengherankan, berada di pulau ini. Omong-omong soal sahabat karib, kurasa aku satu perahu denganmu," kata Shinya, lalu dia pun menyeringai.
Ya, Shinya dan aku berperan tak lebih dari pendamping. Mungkin sudah tidak perlu dikatakan lagi pada saat ini, tapi aku tidak berada di sini berkeliaran di pulau ini karena aku memang seorang jenius. Tomo Kunagisa-lah si "jenius" di sini, dan aku tidak lebih dari pelayannya. Jika dia tidak berkata padaku, "Iichan, ternyata aku mau pergi ke suatu pulau, jadi ikutlah bersamaku, oke?" saat ini aku pasti berada di kamar berukuran empat setengah tatami di Kyoto, bersiap-siap untuk mengikuti kuliah.
Tidak perlu dipertanyakan lagi: Kunagisa itu tamu kehormatan, bukan aku.
Tomo. Mari kita perjelas baik-baik.
Nah, untuk siapa yang Shinya temani, yah, dia sedang berada tepat di bawah pohon sakura. Bermata bijaksana namun kurang perhatian, dia menatap kelopak bunga sakura yang bertebaran.
Dia bermata biru, berambut emas. Berwarna pucat, gaunnya akan cocok dikenakan boneka seluloida Prancis. Berhiaskan permata mempesona pula. Kalung atau gelang, satu saja mungkin sudah lebih berharga dari organ hatiku. Bahkan jika aku menjual setiap bagian tubuhku, tetap tidak akan setara.
Kanami Ibuki. Salah satu jenius.
Akibat menderita penyakit pada kakinya sejak lahir, dia harus menggunakan kursi roda. Dan oleh sebab itu, Shinya, sebagai pengurusnya, ikut serta dalam perjalanan itu. Selain itu, sampai beberapa tahun lalu, kudengar dia juga buta total. Mata birunya bukanlah pertanda dia itu berdarah asing.
Kanami adalah seorang pelukis.
Bahkan aku, tanpa pengetahuan sedikit pun soal bidang itu, pernah mendengar dia. Dia meraih reputasi sebagai pelukis yang tidak memiliki gaya. Aku belum pernah benar-benar melihat lukisan Kanami, namun kupikir mungkin dia sedang memandangi bunga sakura untuk nanti menggambar di atas kanvas.
"Dia sedang apa?"
"Seperti kamu lihat, dia sedang mengamati bunga sakura. Tak akan lama sebelum kelopaknya jatuh. Dia menyukai 'momen sebelum kematian', hal-hal fana dalam hidup."
Sebagian besar pohon di pulau itu tergolong jenis pohon hijau abadi, namun entah kenapa, hanya ada satu pohon sakura. Kelihatannya pun cukup tua, dan bukanlah hal ganjil hanya ada satu di seluruh pelosok pulau. Kemungkinan besar, Iria telah mencangkok pohon itu di tempat ini.
"Pepatah bilang mayat dikubur di bawah pohon sakura," kataku.
"Usang sekali itu."
Aduh.
Aku hanya mencoba untuk membuka percakapan, namun dia memotongku. Tentu saja, mengungkit cerita pendek itu cukup usang.
"Cuma bercanda," Shinya tertawa. "Secara pribadi, kupikir akan lebih masuk akal jika legenda itu tentang pohon prem… Namun kurasa itu bukan legenda, melainkan mitos? Hahaha. Omong-omong, anak muda, apa kamu sudah terbiasa tinggal di pulau ini? Ini hari ketigamu di sini, kan? Um, berapa lama kamu berencana untuk tinggal?"
"Seminggu. Masih beberapa hari lagi."
"Mmm, sayang sekali," katanya bernada misterius.
"Ada hal buruk?"
"Oh, begini, kudengar orang kesukaan Iria akan datang ke sini seminggu lagi. Tapi bila tubin kamu sudah pergi, kamu tak akan bertemu satu sama lain, bukan? Patut disayangkan."
"Ah, begitu."
Aku mengangguk dan berpikir sejenak.
"Kesukaan" Iria.
Dengan kata lain, semacam jenius lagi.
"Seorang koki, peramal, cendekiawan, seniman, dan ahli teknologi. Apa selanjutnya?" Aku bertanya.
"Yah, aku sendiri belum pernah mendengar spesifik, namun tampaknya orang ini mampu melakukan apa saja. Bukan 'spesialis', melainkan 'generalis'. Hikari memberitahuku orang ini setajam paku dan bergelimang pengetahuan, dan memiliki refleks kilat."
Hmm. Benar-benar orang luar biasa. Mari kita asumsikan itu hanya rumor berlebihan. Kenyataan rumor semacam itu bahkan ada menunjukkan jenius satu ini bukanlah sembarang orang. Aku akan berbohong bila kubilang aku tidak tertarik.
"Tak ada ruginya bertemu orang ini, setuju? Bagaimana, mau memperpanjang kunjunganmu? Aku yakin Iria bakal lebih dari menyambutmu."
"Kedengarannya bagus, tapi..." Aku mungkin terlihat kurang bergairah. "Sejujurnya, pulau ini sedikit terasa sesak. Untuk orang biasa-biasa saja sepertiku, maksudnya."
Shinya tertawa terbahak-bahak. "Ayolah, ayolah. Ayo, ayo, ayo, ayo, ayo, Nak. Begitukah? Kanami dan Akane dan mereka semua belum membuatmu susah, bukan?"
Rasa rendah diri. Bahkan seandainya itu bukan sesuatu yang bisa kau katakan blak-blakan, aku yakin perasaanku itu serupa. Shinya memberiku beberapa tepukan di pundakku.
"Tidak ada alasan untuk merasa rendah diri saat berdiri di samping kelompok itu. Oke? Berjuanglah! Baik itu Kanami…" Kanami mendongak dari bawah pohon sakura. "Baik itu Akane, Yayoi, atau bahkan Kunagisa, jika mereka bermain gunting kertas batu melawan kita, mereka hanya akan menang satu dari tiga kali. Kurasa Maki pengecualian di sana, tapi apa pun itu."
"Sederhana sekali kamu mengibaratkannya."
Belum lagi Shinya baru saja menyebut majikannya sendiri sebagai bagian dari "kelompok itu". Aku tidak mengatakan mereka saling memusuhi atau semacamnya, tapi mungkin saja Shinya dan Kanami bukanlah teman dekat.
"Bakat bukanlah masalah besar. Faktanya, aku, untuk satu ini, senang tidak punya bakat. Hal itu tak berharga buatku. "
"Kenapa begitu?"
"Jika berbakat, kamu harus mengerahkan upaya. Menjadi biasa-biasa saja sangat mudah. 'Tidak punya keterampilan apa-apa' adalah keuntungan, jika kamu tanya aku," kata Shinya sambil mengangkat bahu, bersikap sinis. "Aku pikir kita keluar dari rel… Apa pun, menurutku, aku kira tidak ada salahnya memperpanjang masa menginapmu. Dan hei, mungkin saja 'generalis' ini akan mengalahkan kita pada permainan gunting-batu-kertas tiga kali berturut-turut."
"Baiklah, aku akan diskusi dulu bersama Kunagisa..." Tidaklah tepat bagiku untuk memutuskan sesuatu seperti ini sepihak saja.
"Kuharap begitu," ujar Shinya. "Kamu begitu mirip aku," tambahnya sambil memandang mataku.
Tatapannya amat membingungkan. Membuatku kurang nyaman seperti sedang diperiksa luar dalam.
"Aku dan kamu? Sama? Apanya? Pakai cara apa?"
"Jangan terdengar tak terlalu bahagia. Dalam hal tertentu, kamu praktis identik, berpandangan kamu sendiri tak lebih dari sebuah alat untuk dunia ini."
Tampak tak berniat memaparkan, dia mengalihkan pandangan dan kembali menatap Kanami. Bisa ditebak, Kanami masih menatap bunga sakura, konsentrasi belum pecah sama sekali. Dia dikelilingi oleh semacam transendensi, seolah-olah hanya satu tempat itu terisolasi dari seluruh dunia. Dia punya semacam atmosfir sukar didekati, bahkan terlihat sakral.
"Jadi Kanami sudah melukis bahkan sejak datang ke sini?"
"Yah, sejatinya dia datang ke pulau ini untuk melukis. Hanya itu kemampuannya. Kukira kamu bisa bilang dia hidup demi melukis. Kamu percaya itu?"
Dia berbicara seolah dibarengi frustrasi, namun bila kau menerima kata-katanya begitu saja, itu terdengar seperti keberadaan yang sangat membuatmu iri; kehidupan di mana apa yang ingin kau lakukan dan apa yang harus kau lakukan berkaitan langsung. Cara hidup itu tak terjangkau buatku. Aku, yang belum bisa menemukan apa keinginanku atau apa kewajibanku.
"…"
Kuperhatikan Shinya menyorotku sambil tersenyum jahat, seperti dia baru saja mengingat sebuah aksi jahil. Aku pun mundur sedikit. Aku mendapat perasaan kurang enak, sebuah firasat menghampiriku. Dan kemudian Shinya, raut wajahnya seolah berkata, "Aku baru saja mendapat wahyu dari Tuhan," sengaja bertepuk tangan.
"Betul sekali! Ini kesempatan bagus, jadi coba kamu jadi model?" Dia mengesampingkan aku selagi aku kehabisan kata-kata, tidak sanggup memahaminya, lalu dia menghadap Kanami. "Hei!" dia memanggil. "Kanami! Temanku ini bilang dia ingin menjadi modelmu!"
"Tunggu, Shinya!" Akhirnya memahami situasi tersebut, aku berputar di depannya. "Aku tidak bisa, maksudku, jangan menjahiliku!"
"Nah, sekarang, kenapa kamu malu-malu? Hampir tak sesuai karaktermu."
"Jangan permasalahkan karakterku…"
Aku menolak keras hal semacam ini. Meminta Kanami untuk melukis diriku? Itu terlalu mengintimidasi. Namun Shinya menepis protesku dengan gampangnya, "Ayo, ayo, jangan sungkan," dan menunggu jawaban dari Kanami.
Kanami menyesuaikan arah kursi rodanya dan menatapku melalui mata birunya. Dia mengamatiku dari atas ke bawah, dari ujung kepala sampai ujung kaki, memeriksaku, menilaiku, dan berkata, "Jadi, kau ingin aku lukis?"
Dia terdengar betul-betul jengkel.
Sulit menjawab pertanyaan ini. Bagi seseorang seberbakat Kanami, tindakan ragu-ragu saja dapat berubah menjadi tidak sopan. Aku lemah dalam situasi ini. Benar-benar lembek aku ini. Seorang anak berusia sembilan belas tahun yang menghabiskan hidupnya mengikuti arus tidak akan memiliki kekuatan untuk mengubah aliran sebuah cerita.
"Ya, tentu saja, jika kamu tak keberatan," balasku.
Kanami terlihat tidak tertarik. "Baiklah kalau begitu. Datanglah ke studio siang ini," ajak Kanami sambil memutar kursi rodanya kembali ke arah bunga sakura. Dia bicara apatis, tapi setidaknya dia menerima tawaran itu.
"Nah, sudah diputuskan. Kamu bebas siang ini?" Kata Shinya, anehnya gembira.
Aku mengatakan padanya aku bisa datang, dan memutuskan untuk pergi sebelum kembali mendapat masalah.