Chereads / GIVE ME LOVE / Chapter 6 - Kasih sayang yang tersembunyi

Chapter 6 - Kasih sayang yang tersembunyi

Jam menunjukkan pukul 00:00, tepat tengah malam dan keadaan di dalam rumah sangat hening. Nadia belum tidur, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya karena rasa panas dan pedih di tangannya yang sudah terbungkus perban itu.

Gadis itu beranjak turun dari ranjangnya. Berjalan keluar dari kamarnya dan melangkahkan kakinya secara perlahan beberapa langkah hingga berhenti di depan pintu kamar adiknya. Gadis itu menatap pegangan pintu kamar Bianca, lalu menghela nafas sejenak.

"Dia sudah tidur atau belum ya?" gumam Nadia.

Dengan sangat perlahan, Nadia membuka pintu kamar Bianca dan masuk ke kamar adiknya itu. Di dalam, terlihat Bianca sudah terlelap dalam tidurnya. Gadis cantik itu tersenyum tipis memandang sang adik yang pulas dalam tidurnya.

Nadia lalu duduk berjongkok melihat Bianca yang tertidur sangat pulas. Manik cantik nya itu beralih pada tangan Bianca yang terbungkus perban. Hanya sedikit, jauh dengan tangan Nadia sendiri yang lebih parah.

"Pasti sakit, maaf kan kakak karena melukai mu Bianca. Harusnya, kakak lebih berhati-hati dan lebih cepat memperingatkan mu. Cepat sembuh, dan jangan lakukan hal ceroboh lagi. Jangan terluka, karena itu akan membuat Mama dan Papa khawatir padamu," ucap Nadia dengan suara yang sangat pelan. Takut Bianca itu terbangun karena suaranya.

Nadia mengelus puncak kepala Bianca lembut dan sayang, kemudian gadis cantik itu tersenyum tipis karena ia sudah tau bagaimana keadaan adik tiri kesayangannya itu.

"Aku yakin, suatu saat kau akan kembali seperti dulu, Aca ..." lirih Nadia.

Setelah selesai melihat keadaan adiknya itu, Nadia segera keluar dari kamar Bianca. Menutup pintu kamar adiknya itu secara perlahan karena takut menimbulkan suara.

Pintu itu tertutup. Lalu, Bianca membuka matanya perlahan. Gadis dengan rambut cokelat itu memandang ke arah pintu yang baru saja tertutup dengan tatapan datar, namun beberapa saat kemudian ada buliran bening yang menggenang di pelupuk mata cantik gadis itu.

"Aku tidak membenci mu, kak. Hanya saja ini yang bisa aku lakukan untuk melindungi mu dari Mama. Jika aku tidak melakukan ini, mama pasti sudah mengusir mu sejak dulu. Dan aku sama sekali tidak mau itu terjadi," batin Bianca, lalu buliran bening itu menetes membasahi pipi mulusnya.

Bianca memang tidak tidur. Dan ini juga bukan kali pertama ia mengetahui bahwa Nadia diam-diam masuk ke kamarnya tiap malam. Sebenarnya Bianca tidak sejahat apa yang orang lain lihat, ada banyak hal yang harus Bianca sembunyikan di balik sifat egoisnya itu dari kakak tirinya.

Jika kalian bertanya apakah Bianca menyayangi Nadia? Jawabannya adalah iya. Bianca sangat sayang pada Nadia, bahkan hingga gadis cantik itu tidak tau harus melakukan apa untuk melindungi kakak tirinya sendiri dari beberapa orang jahat yang ingin memanfaatkannya.

Itulah alasan kenapa Bianca selalu membatasi pertemanan Nadia dengan orang baru, namun tidak berusaha untuk memisahkan hubungan pertemanan antara Yeri dengan Nadia.

***

Hari masih sangat pagi, tetapi Nadia sudah berada di dalam kelas. Duduk manis di bangku Bianca. Ingatkan kalau kemarin Bianca meminta dia dan Yeri berpindah tempat? Maka tidak ada alasan lain yang bisa di katakan oleh Nadia jika ia masih tetap duduk di bangku awalnya.

Gadis itu duduk sendiri sambil membaca buku pelajaran yang akan di ajarkan nanti. Tidak lama kemudian, siswa yang baru masuk kemarin itu datang.

Rafa tersenyum melihat Nadia yang sibuk memperhatikan buku-buku pelajarannya. Gadis cantik itu sama sekali tidak perduli dengan kehadiran Rafandra si murid baru yang langsung famous itu.

"Kenapa duduknya pindah di situ?" tanya Rafa refleks, sebab ia tau pasti kalau itu bukan tempat duduk Nadia.

"Ah, hanya ingin. Di kelas sudah biasa duduk secara acak setiap hari," jawab Nadia beralasan.

"Ini baru pukul 06:20, dan kamu udah ada di sini? Pukul berapa kamu berangkat?" Rafa terus memancing pembicaraan dengan Nadia.

"06:10," jawab Nadia singkat.

"Hei, apa kamu berniat jadi penjaga gerbang? Kenapa pagi banget?" celetuk Rafa.

"Tidak sepagi itu, aku berangkat jalan kaki. Rumah ku tidak jauh, hanya 8 menit. Jadi, aku sampai di sini beberapa menit yang lalu," jelas Nadia.

"Aku pikir kamu seniat itu untuk sekolah, sampai harus berangkat pagi sekali," sahut Rafa terkekeh kecil.

Nadia hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Ia juga bingung dengan pola pikir siswa baru ini. Daripada ia terus menanggapi Rafa, lebih baik ia acuhkan saja. Sebab Nadia sendiri tidak mau jika harus berhadapan dengan adik tirinya nanti.

Sedangkan Rafa yang tadinya duduk di bangku asalnya tiba-tiba berdiri dan duduk di sebelah Nadia.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Nadia bingung.

"Pindah bangku. Memang apa lagi?" sahut Rafa santai.

"K-kenapa di sini? Bagaimana jika nanti Yeri datang?" Nadia langsung panik, bukan karena takut temannya nanti marah. Nadia lebih takut jika adiknya itu tau bagaimana sikap Rafa padanya. Bianca pasti akan salah paham.

"Kamu bilang udah biasa ganti tempat duduk, biar dia cari bangku kosong yang lain..." Rafa tidak perduli dengan ocehan Nadia. Remaja tampan itu menyiapkan buku-bukunya di atas meja.

Nadia semakin panik. Apa yang akan Bianca lakukan padanya jika tau Rafa duduk di samping nya. Apa Bianca akan menjambak rambutnya, mengunci nya dalam toilet hingga malam, atau bahkan lebih kejam lagi? Nadia hanya bisa diam. Tidak ada alasan untuk menghindari Rafa.

"Tangan kamu kenapa? Kok, di perban?" tanya Rafa penasaran.

"Ah... Ini... Terkena air panas sewaktu menyeduh kopi," sahut Nadia gugup. Semoga saja Rafa percaya, itu harapannya.

"Separah itu?" Rafa memandang Nadia dengan heran, karena ia sedikit ragu dengan jawaban Nadia.

"Ku mohon... Jangan lakukan ini padaku, Rafa, aku tidak mau adikku marah lagi padaku.." batin Nadia tak karuan.

"Boleh aku lihat?" Rafa menarik tangan Nadia yang terbalut perban itu secara hati-hati.

Nadia hanya pasrah, pasrah karena ia tak tau harus berbuat apa lagi.

"Ini parah sekali... Bagaimana bisa?" ucap Rafa sambil terus mengamati tangan Nadia.

Tidak ada tanggapan dari Nadia. Gadis itu hanya menatap Rafa yang masih memegangi tangannya itu. Kemudian, ia tersadar.

"Ah, ini tidak separah yang kamu bayangkan. Ini sudah jauh lebih baik," Nadia menarik tangannya sebelum ada yang melihat mereka.

Tidak lama kemudian, Bianca dan geng-nya datang. Ketiga gadis itu berdiri mematung melihat Nadia dan Rafa yang duduk berdampingan.

"Oh my god, kenapa mereka kelihatan cocok banget..." ucap Yuna spontan.

Lia menginjak kaki Yuna dan memberi kode. Apa Yuna ingin di bantai Bianca hingga dia berani berucap seperti itu?

"Aishh sakit!!" ringis Yuna pada Lia.

Mata Lia memicing tajam menatap Yuna. Gadis bermata sipit itu langsung mengerucutkan bibirnya kesal.

"Lo udah pengen berangkat ke pemakaman sekarang ya?" ancam Lia.

Yuna langsung terdiam membeku menyadari raut wajah Bianca yang berubah menjadi horor. Atmosfer kelas itu seakan-akan menjadi panas. Sepertinya ada yang terbakar amarah.

Bianca berjalan mendekati Nadia dan Rafa. Tangan gadis itu sudah mengepal kuat.

"Woi, ngapain kamu di sini?!"

Itu bukan Bianca. Melainkan suara nyaring Yeri yang tiba tiba muncul entah dari mana.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Rafa kikuk.

"Berdiri! Ini tempat duduk ku. Minggir!" Yeri menarik lengan Rafa kasar, membuat anak laki-laki itu berdiri dari duduknya.

"Kenapa kamu ngusir aku? Aku yang duduk di sini dalu sama Nadia. Kamu ini kenapa?" decak Rafa tak suka dengan perilaku Yeri.

"Aku nggak perduli. Nadia itu pasangan aku, kamu nggak boleh ada di sini. Pergi, cari saja tempat lain!" usir Yeri sambil membereskan buku-buku milik Rafa.

Yang benar saja. Ini masih pagi dan Rafa sudah terkena semprotan dari Yeri. Ah, sial. Lebih baik dia mendengarkan ucapan Nadia tadi agar tidak terlibat masalah dengan gadis gembul yang sangat cerewet ini.

Dengan ogah-ogahan, Rafa kembali ke bangku asalnya dan membanting tas sekolahnya di atas meja. Ia mendengus kasar. Baru saja dia berusaha untuk dekat dengan Renjun, tapi ternyata tidak semudah itu.

Sedangkan Bianca yang dari tadi masih berdiri itu pun mulai mengacuhkan Nadia. Kini ia berjalan menuju bangkunya, atau lebih tepatnya di depan Rafa.

"Terimakasih atas bantuan mu, Yeri ..." lirih Nadia.

Yeri tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. *Tink

.