Rafa mengernyit bingung ketika membaca pesan itu. Beberapa detik kemudian, ia mengingat sesuatu. Tidak ada orang lain yang tahu bahwa Rafa memiliki janji dengan seseorang kecuali Bianca. Jadi, kemungkinan besar orang yang telah mengirim pesan itu pastinya adalah Bianca.
"Ah, ini pasti Bianca," Ucap nya ketika ia mengingat kejadian tadi pagi yang beralasan ketika di ajak pergi oleh Bianca.
Sebenarnya Rafa merasa tidak enak hati karena Bianca tau dia hanya beralasan saja supaya tidak jadi keluar bersama gadis itu. Namun mau bagaimana lagi? Rafa memang tidak menyukai sosok Bianca dari awal. Rafa justru lebih tertarik pada Nadia yang terlihat lemah lembut dan baik hati.
"Aku harus bilang apa sama Bianca? Dia salah paham atau enggak ya? Kalau dia salahin Nadia karena aku yang udah nolak permintaan dia buat iku ke toko sepatu gimana? Kan nanti jadi masalah sama Nadia nya kasihan," monolog raga sambil memandangi layar ponselnya yang menampilkan chat dari Bianca.
Rafa hanya takut jika kesalahpahaman dari Bianca menyeret Nadia juga, sebab sebenarnya Rafa sendiri sudah sedikit tau kalau sebenarnya hubungan antara Bianca dan Nadia itu tidak cukup baik. Meskipun Rafa masih belum tau apa alasannya, tapi yang jelas bisa Rafa lihat kalau memang Bianca tidak terlalu menyukai Nadia.
"Lebih baik aku jelasin dulu ke Bianca daripada semuanya jadi kacau. Kasihan Nadia," putus Rafa lalu mulai mengetikkan sesuatu di layar benda pipih itu.
Ketika ia hendak membalas pesan Bianca, tiba-tiba ponselnya mati. Baterainya habis. Alhasil, Rafa tidak bisa membalas pesan yang dikirim oleh Bianca itu, dan mungkin saja Bianca yang saat ini di seberang sana merasa di abaikan oleh Rafandra.
"Ck, lupa charger lagi..." Gerutu Rafa.
Dengan ogah-ogahan, Rafa mengecas ponselnya lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hingga entah karena terlalu lelah atau bagaimana akhirnya, Rafa terlupa untuk membalas pesan Bianca, dan justru tertidur.
***
Di sisi lain, Bianca merengut sambil memandangi ponselnya. "Cuma di baca aja? Ck, menyebalkan sekali. Apa dia pikir, dia setampan dan sepopuler itu sampai kau berani mengabaikan pesanku? Dasar!" umpat Bianca lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Gadis cantik itu kemudian keluar dari kamarnya sambil merengut kesal.
Sementara Nadia yang baru sampai rumah, langsung masuk ke kamarnya untuk istirahat dan juga membersihkan diri. Seharian bekerja membuat tubuhnya lengket. Setelah mandi, Nadia keluar dari kamar mandi dengan rambut nya yang masih basah terbalut handuk. Manik cantiknya itu menangkap sesosok gadis yang duduk di tempat tidurnya.
"Kamu lupa sama apa yang udah aku peringatkan sama kamu waktu itu?" Bianca membuka suara. Pandangan gadis itu seperti hendak menerkam Nadia saat itu juga.
Nadia sudah tau apa yang di maksud oleh Bianca saat ini, sudah tentu Bianca tau kalau tadi sore ia bersama dengan Rafa di kedai camilan. Meski hanya sebentar, jika Bianca sudah tau Nadia bersama dengan Raka, maka Bianca tidak akan pernah perduli ataupun mau tau berapa lama mereka bersama.
"Jangan salah paham, Bianca..." lirih Nadia, gadis cantik itu berjalan mendekati adiknya.
"Tidak, aku tidak pernah salah paham padamu. Aku memang sudah mengenal sifat mu, Nadia Arsa Wijaya!" sahut Bianca ketus dengan senyum smirk nya.
"A-apa maksudmu?" Nadia tidak paham, yang Nadia tau Bianca saat ini sudah jelas sangat marah dan kecewa padanya.
"Apa kamu tidak sadar diri selama ini? Kamu selalu merebut setiap hal yang aku inginkan, Nadia!" Kini nada bicara Bianca naik beberapa oktaf, membuat manik cantik Nadia berbinar seketika karena menahan tangis.
Nadia memekik terkejut. Gadis itu memejamkan matanya ketakutan. Sementara Bianca beranjak dari duduknya, dan berjalan perlahan mendekati Nadia.
"A-aku? Aku merebut apa? Apa yang kamu inginkan?" tanya Nadia dengan tatapan sendu bercampur dengan rasa gugup luar biasa.
"Segalanya... Kamu merebut segalanya dari aku. Termasuk kebahagiaan ku," jawab Bianca dengan nada gemetar.
Tidak seperti biasanya ketika Bianca marah pada Nadia, jika Bianca marah maka Nadia sudah tau persis adiknya itu akan membentaknya ataupun memukulnya. Tapi kali ini, Bianca terlihat menahan tangis. Ada apa dengan Bianca sebenarnya?
"Bianca... Katakan, apa yang aku rebut. Jangan seperti ini, aku benar-benar tidak mengerti maksud mu, Bianca..." Nadia berusaha meraih pergelangan tangan Bianca.
"Jangan sentuh aku!" Dengan kasar, Bianca menepis tangan Nadia.
"Kamu tau apa yang membuat aku sangat-sangat tidak menyukai mu?" tanya Bianca pada kakak tirinya.
Nadia diam, ia tidak tau harus menjawab bagaimana. Bahkan untuk menatap mata sang adik saja ia tidak sanggup. Saat ini Bianca benar-benar terlihat sangat marah padanya, namun kemarahan Bianca kali ini sangat berbeda dari kemarahan Bianca sebelum-sebelumnya. Gadis itu tidak menampar atau memukul kakaknya seperti yang biasa ia lakukan, Bianca justru diam dan hanya menatap Nadia yang tidak berani menatap dirinya.
"Jika kamu ingin tau, maka jawabannya adalah wajahmu. Wajah cantik mu itu," lanjut Bianca dengan nada tegas dan begitu menusuk di dada Nadia.
Nadia mematung mendengar pernyataan dari Bianca. Bagaimana mungkin Bianca yang terkenal dengan pesona dan kecantikan nya itu mengatakan hal seperti ini? Padahal juga tidak banyak orang mengatakan kalau Bianca itu lebih sempurna dari Nadia, Bianca bahkan juga tidak kalah pandai dengan Nadia sendiri.
"K-kenapa kamu berkata seperti itu, Bianca? Apa yang salah dengan mu? K-kamu bahkan lebih cantik dari aku," ucap Nadia tergagap.
Kini Bianca tak sanggup menahan tangis nya. Air mata gadis itu menetes perlahan. Nadia begitu terkejut melihat Bianca meneteskan air matanya. Ini adalah kali pertama Bianca melihat itu.
"Tapi, daripada itu semua... Aku lebih membenci sifatmu!" pungkas Bianca.
Gadis itu pergi begitu saja dari kamar Nadia sambil mengusap kasar air mata yang jatuh di kedua pipinya. Berjalan cepat dan membanting pintu kamar Nadia. Sementara Nadia tidak mengerti dengan maksud Bianca. Dengan tak berdaya, Nadia jatuh terduduk di atas kasurnya. Air matanya pun tidak bisa ia tahan. Ini kali pertama ia melihat Bianca yang marah hingga menangis.
"Apa salah ku, Ca? Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini padaku? Kenapa kamu berubah? Aku merindukan Aca ku yang dulu..." ucap Nadia dengan suara parau nya.
Nadia memandang pintu kamarnya yang tertutup. Gadis itu kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya. Namun air mata itu terus keluar dari pelupuk mata cantiknya. Hingga mungkin karena terlalu lelah dan juga beban pikirannya yang tidak karuan, tanpa sadar Nadia tertidur.
Namun lain hal di kamar Bianca saat ini. Gadis cantik berambut cokelat itu menangis sesenggukan di samping ranjangnya. Sebenarnya ia tidak tega mengucapkan kata-kata kasar seperti tadi pada kakaknya, namun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat kakaknya itu menjadi wanita yang kuat dan hebat.
Bianca melakukan ini supaya kakaknya menjadi orang yang tidak mudah di tindas oleh orang lain. Namun, sudah hampir 10 tahun Bianca melakukan ini kakaknya itu masih saja menjadi orang yang mengalah dan baik hati. Bianca tidak mau itu terjadi karena suatu saat mamanya pasti akan menjatuhkan Nadia.
Sementara Bianca sendiri memiliki janji untuk ia tepati pada Bunda kandung Nadia sebelum wanita itu meninggalkan putri kandungnya.
"Bunda, Bianca sudah berusaha. Tapi, Kak Nadia tetap tidak berubah. Dia tetap jadi kakak Bianca yang baik hati. Bagaimana cara Bianca mengatakan pada Kak Nadia kalau dia harus berusaha melawan? Sebentar lagi Kak Nadia akan berusia 18 tahun. Mama pasti akan melakukan sesuatu untuk melenyapkan Kak Nadia. Bianca harus bagaimana, Bunda?" lirih gadis itu sambil terus menangis dan menenggelamkan wajahnya di antara keduanya lututnya.
Dan ya, janji Bianca itu hanya untuk membuat Nadia merubah sifatnya lebih tegas dan tidak selalu mengalah. Entah karena itu sifat asli Nadia atau bagaimana, tetapi yang jelas semakin lama Bianca sendiri sudah semakin tidak tahan jika harus terus menerus berpura-pura jahat pada kakaknya.
Jujur saja, Bianca sudah lelah untuk menutupi segala kasih sayangnya pada sang kakak dengan perbuatan kasarnya. Bianca rindu akan kebersamaan antara dirinya dan sang kakak.
"Apa aku harus jujur sama dia tentang semuanya?" gumam Bianca yang sudah frustasi.
.