Saat ini, Rafa dan Bianca sudah berada di kantin yang cukup ramai itu. Bianca tersenyum tipis sambil melirik ke arah Rafa, sementara Rafa justru terlihat sangat canggung ketika dirinya berada di tempat ramai seperti itu.
"Mau duduk di mana?" tanya Rafa pada Bianca karena siswi itu tak kunjung mengajaknya untuk mencari tempat duduk.
"Emmm..." Bianca mengedarkan pandangannya melihat sekeliling. Hingga ia menemukan kedua temannya sedang duduk berdampingan. "Di sana, mereka teman-teman aku.." sahutnya dengan antusias sambil menunjuk ke arah Yuna dan Lia.
"Ah, baiklah..." Rafa tersenyum lagi dan mengekor di belakang Bianca yang kini sedang berjalan menghampiri kedua temannya itu.
Mereka berdua menghampiri Yuna dan Lia yang terlihat sibuk makan siang sambil mengobrol dengan santai. Mereka berdua memang sudah pergi lebih dulu dan meninggalkan Bianca karena ia sendiri yang memintanya.
Bianca dan Rafa duduk berdampingan di depan Yuna dan Lia.
"Wah, lihat siapa yang datang," Yuna membuka suara dengan nada sedikit menggoda Bianca.
"Apaan?" sahut Bianca sedikit ketus.
"Enggak, nggak apa-apa," Yuna langsung menurunkan nada bicaranya.
"Ekhem, kenapa kalian berdua bisa barengan ke sini? Udah sedekat itu yah?" kini Lia yang menggoda mereka.
"Kalian berdua bisa diam nggak sih? Seneng banget ikut campur urusan orang lain. Makan tuh makanan lo. Apa perlu gue suapin biar diem tuh mulut?" sarkas Bianca tidak santai.
"Aish, kenapa sih lo kayak lagi sensitif banget? Gue kan bercanda," gerutu Lia.
Rafa hanya tersenyum canggung. Hal seperti ini cukup asing bagi Rafa yang dulunya homeschooling. Ia memang tidak pernah bersosialisasi dengan orang lain karena sejak kecil mamanya tidak mengizinkan Rafa untuk sekolah umum. Hingga saat usia Rafa sudah menginjak 18 tahun ini, mamanya baru mengizinkan Rafa untuk mengenal dunia luar.
Dan karena kebetulan mereka pindah ke Jakarta, jadi Rafa meminta pada mamanya untuk sekolah di SMA umum saja daripada harus homeschooling lagi.
"Nggak usah dengerin apa kata mereka. Mereka memang aneh," bisik Bianca pada Rafa yang kini sedang memandang kedua teman Bianca itu dengan tatapan aneh.
Rafa mengangguk mengerti. Yuna dan Lia saling bertukar pandang, seakan mengerti kalau teman mereka itu gerak cepat dalam urusan mengejar apa yang ia inginkan. Bianca adalah gadis yang ambisius, ia bahkan rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Emm, sebelumnya... Kita belum berkenalan," Rafa membuka suara di tengah mereka yang masih berbincang tenang sambil menunggu pesanan makanan Bianca dan miliknya datang.
"Ah, kamu benar.." sahut Bianca. Gadis itu tersenyum manis dan terlihat sangat antusias untuk berkenalan dengan Rafa ini.
"Aku Bianca," sambung Bianca memperkenalkan diri pada Rafa.
"Aku Yuna,"
"Dan aku Lia,"
"Senang berkenalan dengan kalian," Rafa lagi-lagi tersenyum menampilkan eyesmile-nya.
Mereka pun kembali fokus pada hidangan makan siang mereka masing-masing yang baru datang dan suasana menjadi hening sesaat. Hingga tiba-tiba Rafa membuka suara lagi.
"Emm, kalau dua siswi yang tadi di kelas. Namanya siapa?" tanya Rafa pada Bianca.
Bianca menghentikan kunyahan di mulutnya. Air mukanya berubah seketika. Ia tidak suka. Bianca tau dengan jelas dan pasti bahwa yang di maksud dengan Rafa adalah Nadia, kakak tirinya.
"A-aah, yang duduk di depan lo tadi?" sahut Yuna ketika melihat ekspresi Bianca yang berubah.
Rafa mengangguk mengiyakan.
"Namanya Yeri , dan yang duduk di sampingnya itu Nadia, namanya Nada Arsa Wijaya," jelas Yuna.
"Ah, Nadia. Namanya bagus," sahut Rafa sambil tersenyum tulus.
Bianca tiba-tiba berdiri dari duduknya. Dan sontak saja membuat ketiga remaja itu mengarahkan pandangannya pada Bianca.
"Kamu mau kemana?" tanya Rafa.
Sementara Yuna dan Lia sudah tau jawabannya.
"Ah, aku sedang diet. Aku tidak makan banyak, jadi aku akan kembali ke kelas lebih dulu. Lanjutkan saja makan siang mu," sahut Bianca bohong.
"Baiklah," pungkas Rafa dengan polosnya. Ia tidak mengenal Bianca, jadi ia percaya saja dengan apa yang di katakan oleh gadis itu. Namun, tidak untuk Yuna dan Lia.
Gadis berambut cokelat itu pergi meninggalkan Rafa yang masih makan bersama kedua temannya itu. Tangannya mengepal kuat. Apapun yang berhubungan dengan kakaknya itu, Bianca selalu tak suka. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Bianca selalu takut jika suatu saat kakaknya itu akan merebut apa yang selama ini ia miliki.
Meski Bianca sudah mendapatkan segalanya, tapi sepertinya Jaemin itu benar-benar tidak rela jika melihat kakaknya itu lebih bahagia darinya.
Bianca masuk ke dalam kelas. Ia melihat Nadia dan Yeri bercanda ria. Gadis itu menggertakkan gigi nya. Lalu berjalan menghampiri Renjun. Membuat Yeri dan Nadia langsung terfokus pada Bianca.
"Gue mau peringat in sesuatu sama lo," suara dingin dari mulut Bianca keluar begitu saja di tengah keheningan kelas.
Yeri dan Nadia menatap Bianca tak paham. Kenapa Bianca datang dengan tiba-tiba lalu terlihat seperti sedang marah? Ada apa dengannya?
"Apa lagi kali ini?" sahut Yeri tak suka.
"Gue lagi nggak ngomong sama lo," ketus Bianca.
Yeri sedikit tersulut emosi. Jika tidak mengingat bahwa Bianca adalah adik Nadia, mungkin gadis berkulit tan itu sudah menyeret Bianca dan membenturkan kepalanya ke dinding. Sadis memang pemikiran Yeri ini. Tapi, itu hanya sekedar pemikirannya belaka.
"Kamu mau ngomong apa?" Nadia berusaha tenang, meski dia tau adiknya terlihat marah padanya.
"Gue mau lo jangan sampai suka sama Rafandra!" ucap Bianca to the point.
"Apa apaan sih kamu? Kenapa menghakimi perasaan seseorang?" kesal Yeri yang merasa tidak terima temannya di perlakukan seperti itu.
Yeri hendak berdiri dari duduknya, tapi Nadia menahannya. Nadia tidak mau kalau adik dan sahabatnya itu terlibat perkelahian. Ia tidak mau kedua orang yang ia sayang mendapatkan masalah di sekolah. Belum lagi, kedua orang tuanya pasti akan menyalahkan dirinya jika Bianca mendapatkan masalah.
"Kamu suka sama anak baru itu?" tanya Nadia masih dengan perasaan tenang.
"Gue cuma bilang supaya lo jangan suka sama tuh cowok. Kenapa lo malah tanya-tanya tentang privasi gue?" jawab Bianca dengan nada bicaranya yang naik beberapa oktaf.
Ya tuhan, ada apa dengan gadis ini? Dia melarang kakaknya tanpa alasan, dan dia juga tidak ingin privasinya di senggol. Apa gadis ini masih memiliki jiwa kesadaran?
"Ya sudah. Aku akan apa yang kamu mau. Aku nggak akan suka sama anak baru itu. Kamu tenang aja. Lagipula, aku juga nggak kenal sama dia, ca..." sahut Nadia tersenyum kecut.
"Terserah. Kalau pun lo nggak kenal sama dia, itu lebih baik bagi gue..." Bianca tersenyum menyeringai.
Sementara Nadia benar-benar terlihat pasrah saja ketika adiknya itu memaksakan kehendaknya sendiri. Ia tau bahwa Bianca itu memiliki sifat kasar, tetapi yang jelas Nadia tidak bisa marah akan hal ini. Ia terlalu sayang pada adik satu-satunya ini. Nadia terlalu menyayangi Bianca bagaimanapun sifat adiknya itu.
"Dan lagi..." Gadis berambut cokelat itu menggantung perkataannya.
"Apa?!" ketus Yeri yang sudah muak dengan semua ini.
"Besok lo sama temen lo yang gendut ini pergi dari bangku ini. Gue nggak mau kalau lo duduk dekat sama Rafa. Ngerti kan maksud gue?" lanjut Bianca, lalu gadis itu berjalan menuju bangkunya.
Yeri sudah tak tahan, ia berdiri hendak menghampiri Bianca dan ingin menghajarnya saat itu juga. Nadia menarik tangan Yeri kuat-kuat.
"Jangan tahan aku... Jangan tahan aku..." ucap Yeri dengan kesal.
"Duduk!!" perintah Nadia dengan tegas.
"Dia harus di beri pelajaran!" geram Yeri.
Nadia menggelengkan kepalanya dan menatap Yeri dengan tatapan memohon. Ia benar-benar tidak ingin Yero memberi pelajaran pada adiknya itu. Bisa-bisa Yeri akan menghabisi Bianca detik itu juga.
Hingga tidak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Dan satu persatu penghuni kelas masuk ke dalam kelas 3-1 itu.
"Sudah bel masuk. Dia akan di beri pelajaran sama guru. Jadi, duduk dan tenangkan dirimu" tutur Nadia pada Yeri.
Yeri mendengus kasar. Matanya memicing tajam kearah Bianca. Sedangkan Bianca sama sekali tidak perduli dan hanya tersenyum menyeringai penuh kemenangan.
Nadia tersenyum kecut sambil menatap buku pelajaran di depannya.
"Aku bahkan tidak di beri hak untuk menyukai seseorang."
"Bagaimana aku bisa sebahagia ini? Terus tersenyum di tengah goresan luka yang tak bisa di lihat oleh orang lain."
"Apa aku sudah cukup kuat? Aku tidak tau. Mungkin iya, tapi aku tidak tau ini akan bertahan hingga kapan."
"Atau, akhirnya aku akan menyerah dengan semua luka ini..."
Monolog Nadia dalam hatinya.
Menangis pun seakan Nadia tidak berhak. Yang Nadia inginkan hanya sedikit di hargai oleh keluarganya sendiri, jika ia terus menerus seperti ini. Nadia sendiri bahkan tidak yakin bahwa dirinya akan sanggup.
..